Support Me on SociaBuzz

Support Me on SociaBuzz
Dukung Blog Ini

PENULIS SENIOR, JUNIOR (PEMULA), OR SUJU (SUPER JUNIOR *JUST A TITLE

Bismillahirrahmanirrahim.
Pasti gak asing dengan sebutan2 di judul ini 'kan? Buat yang terakhir, kali ini bukan mengacu ke grup nyanyi, tapi masih sekufu dengan sebutan2 sebelumnya :)
 Terus terang, saya masih ngerasa rancu dengan penyebutan2 ini, karena ternyata dalam pengkategoriannya pun masih belum benar2 fix, setidaknya di benak saya yang emang nggak pernah mengecap pendidikan literasi n sastra secara formil. (Kali2 aja di lembaga akademis pernah diajarin definisi dari sebutan2 ini :D).
 Saya kasih contoh bbrp kasus : Penulis A udah mulai nulis cerpen n puisi sejak dia masih kelas 4 SD, tapi belum berani mempublikasikan karyanya, begitu duduk di bangku kuliah, novel perdananya terbit, dan sejak itu dia kian aktif menulis. Kalo dilihat dari kurun waktu dia menulis, tentu itungannya udah mencapai 10 tahunan kali ya? Secara, dia udah berani nulis cerpen sejak masih SD? Tapi, mengingat novel perdananya muncul ketika ia kuliah, katakanlah usianya 20 tahun, maka orang yang nggak tahu latar belakangnya akan menyebutnya sebagai penulis pemula or junior.

Penulis B baru mulai menulis saat usianya udah nggak lagi bisa dibilang muda, biar gampangnya saya ambil contoh ttg sya aja deh, saya baru mulai nulis saat anak saya udah 2 orang, udah lama ninggalin bangku kuliah, dan novel perdana baru nongol saat usia saya udah kepala 3. Kalo diitung dari kurun waktu saya mulai nulis, jelas kategorinya masih balita, krn belom lebih dari 5 tahunan, seharusnya saya bisa dunk masuk ke kategori penulis Suju? :) tapi berhubung udah cukup 'tua', maka orang2 akan dengan mudah melabeli Penulis senior, padahal, hmm, sebutan ini bikin saya pengen nyungsepin kepala ke pasir kek burung onta, mending kalo saya emang dah nulis sejak kecil, or minimal buku solo (yg terbit, gak termasuk yg ditolak :D) udah belasan, ini mah baru seuprit :)
 Penulis C, adalah penulis yang emang profesinya menulis, ya mereka yang menjadi wartawan, jurnalis, ghost writer, penulis artikel lepas, dsb. Mereka2 ini mungkin saja belum ngelahirin karya yang dibukukan, or karya dalam bentuk buku masih kalah banyak dibandingkan mrk yang emang penulis buku, tapi kalo diitung2, dari kapasitas berapa milyar huruf yang mereka tulis, tentu, nggak ada salahnya 'kan menyebut mereka, gak peduli mereka muda or tua, sbg penulis senior?

Nah, khusus yang untuk kategori C ini, sy pernah terlibat debat 'halus' dgn satu penerbit indie di FB, menurut penerbit itu, seorang penulis baru sah n diakui eksistensinya sbg penulis kalo udah menghasilkan buku (dfinisi ini juga pernah saya temukan didalam tulisan seorang wartawan di koran), lalu saya ketengahkan contoh mereka2 yang bergelut dialam dunia menulis, ya mereka2 yang penulis C itu, apakah para wartawan/jurnalis dsb belum dianggap sah eksistensinya sbg penulis sepanjang mereka belum menghasilkan buku? Si penerbit lalu berkilah, bahwa opini mereka adalah dalam konteks penerbitan buku, bukan tulisan di media.
 Seiring dengan banyaknya produk antologi, maka penulis yang udah terlibat dalam puluhan antologi namun belum nelorin satu buku solo pun, ke kategori mana mereka harusnya dimasukin? Saya pernah menemukan note sentilan yang cukup 'hangat' dari pak Bambang Trim tentang topik yang satu ini, a.l. menyebut definisi oleh seorang pakar penulisan yg saya lupa namanya, bahwa antology, kump. tulisan, bunga rampai dan sejenisnya belum bisa dikatakan satu buku 'utuh' karena satu buku utuh idealnya merepresentasikan sebuah 'proses' mulai dari prolog, isi sampai kesimpulan. Berhubung saya bukan ahli literasi, so, no commentlah tentang ini, biar pakar2nya aja yg ngebahas :)
 Sebenernya, penyebutan2 ini bukanlah orientasi utama dari note ini, karena saya yakin banyak penulis yang nggak merasa nyaman jika dirinya dilabeli sebutan2 tertentu. Apa yang sesungguhnya ingin saya ungkapkan adalah, nggak peduli seberapa lama seseorang menggeluti dunia menulis, yang lebih penting adalah bagaimana ia memelihara passion-nya dalam dunia ini, dunianya para pejuang, makanya lalu muncul lagi sebutan 'pejuang pena'. Sebutan yang harusnya sangat membanggakan, bukan? Karena 'pejuang' mengacu pada sebuah proses yang berliku, meski didera kesulitan dan hambatan tapi tak lantas menjadi alasan untuk berhenti juga mengacu pada sebuah kerja keras tanpa mengharap pamrih yang sepadan (really? :D). Nggak banyak loh, profesi yang bisa disematkan istilah 'pejuang' ini. Kalo saya dikaruniai panjang umur dan kesehatan hingga bisa kerja sampe pensiun, yakin deh nggak bakal ada yang nyebut saya sebagai pejuang birokrat :)
 Lantas, bagaimana seseorang bisa mempertahankan passion-nya didalam dunia yang penuh lika-liku ini? Nurut saya, ada banyak cara yang bisa ditempuh :
Pertama, dengan tetap mempertahankan produktivitas menulis, tak peduli tulisan itu untuk kepentingan komersil ataupun sekedar untuk ditulis di blog2 dan note2 pribadi.
Kedua, dengan bereksperimentasi di banyak jenis penulisan, kalo tadinya hanya spesialis di cerpen dan puisi, nggak ada salahnya terus belajar dan bereksperimen di bidang lainnya, seperti artikel, non fiksi atau novel.
Ketiga, dengan terus meng-upgrade kualitas tulisan, menjadi lebih berbobot dan mencerahkan tanpa kehilangan unsur menghibur.
keempat, dengan nggak pelit membagi ilmu atau sekecil apapun ilmu yang dimiliki kepada orang lain, bahkan mengcopas ilmu orang lain dengan tetap menyebut sumbernya pun sudah bisa dianggap membagi ilmu/pengetahuan.
Kelima, dengan tetap mengondisikan diri berada di lingkungan yang terus memacu semangat menulis
Keenam, dengan banyak membaca, membaca dan terus membaca, karena membaca adalah BBM paling vital untuk seseorang yang ingin tetap produktif menulis.
Ketujuh dst, tolong tambahin lagi dunk ^_^
 Dengan begitu berwarnanya lika-liku dunia yang sesungguhnya sangat mengasyikkan ini, saya sama sekali nggak keberatan dengan munculnya istilah pejuang pena, apalagi, profesi ini juga termasuk profesi yang rawan ditipu dalam berbagai bentuknya, mulai dari royalti yang macet, honor yang nggak dibayar, isi tulisan yang ditiru tanpa nyebutin sumbernya, dsb. Dan sejauh ini, saya belum pernah dengar ada penulis yang memperkarakan penipuan2 ini sampai ke meja hijau, mungkin, a.l. karena payung hukum untuk melindungi nasib penulis masih tergolong lemah, secara, penulis murni juga rata2 masih lemah kondisi keuangannya untuk menyewa pengacara mahal kalo nggak lincah2 nyambi profesi lain :D.

Tapi, boleh percaya boleh tidak, biarpun ada jutaan hambatan menghalang, profesi ini adalah profesi yang paling sulit ditinggalkan saat seseorang telah jatuh cinta kepadanya. Jatuh cinta membuat aktivitas menulis lantas menjadi bagian penting dari rutinitas yang telah mendarah daging, hingga akhirnya ada yang terasa kurang kalo sehari saja nggak menulis walau hanya sekedar mengupdate status di fesbuk :)
 So, harapan saya untuk semua kita2 yang udah kudu jatuh cinta sama dunia ini, yuk tetap memertahankan besarnya passion kita untuk eksis disini, pelan2 mulai meluruskan niat dan usaha untuk berproses menghasilkan tulisan2 yang mencerahkan, tanpa peduli apapun sebutan yang berseliweran di sekitar kita, juga tanpa mengharap pamrih yang sepadan (kecuali kalo menulis emang jadi profesi, untuk menghidupi keluarga, mau nggak mau masalah materi juga tetap harus dijadiin motivasi :)) karena pejuang tangguh n sejati toh nggak butuh pelabelan, ....soal popularitas, materi, penghargaan, yang insya Allah mudah2an akan jadi milik kita juga suatu hari yang entah kapan, minjem komentar bunda HTR, anggap aja semua itu sebagai bonus sebuah kerja keras. Bukankah tak ada bonus yang lebih berharga selain kasih sayang dan keridhaanNya untuk sebuah kerja tulus, investasi berguna sekaligus amal jariah disaat kita2 semua kelak akan berpindah jua menuju alam keabadian?

 
kesalahan bukan pada mata anda, emang gambarnya
kurang nyambung ama topik tulisan :)

DIPUJI OR DIKRITIK, KAMU PILIH MANA?

Kalo pertanyaan ini dilontarkan pada orang2 yang bergelut pada pembuatan sbh karya, entah buku, lukisan, lagu, dll, tentu, seneng2 aja dikasih keduanya, itu tandanya kalo karyanya ada yang merhatiin, ngerespon lalu diapresiasi, meski....ada juga segelintir yang langsung melambung2 oleh pujian namun bisa langsung down bahkan terpuruk oleh segepok kritikan.

 Melihat or membaca kritik konsumen terhadap karya yang baru aja ia nikmatin, udah biasa kali ya? khusus untuk karya dlm bentuk buku, seseorang nggak perlu jadi kritikus sastra dulu utk bisa ngelakuin resensi, review, ato sekedar urun komentar thd buku yg baru ia baca. Nah, sekarang bgm kalo kritik itu justru dirangkum ama penulisnya sendiri lalu di-publish? Ada yg langsung comment kali ya : si mpok lagi sotoy eh? gak takut bukunya gak laku apa, kritik aja pake dicurhatin segala :D

 Jwb sy : Emank, lg kumat neh sotoynya :) berhubung belakangan ini status FB saya lbh byk diisi komentar positif thd novel sy dalam rangka promosi :D, jadi gak ada salahnya juga tho, kali ini sy hadirkan kritikan sbg penyeimbang. Dan saya percaya bahwa seberapa sering sbh karya dikritik or dipuji bukanlah satu2nya faktor yg bisa bikin karya tsb makin laris ato sebaliknya, sy percaya bahwa disamping ketentuanNya menjadi faktor utama, ada miracle (keajaiban) yang terpendam, Ia anugerahkan pd bbrp karya seni. Ada miracle didalam sbh buku yg telah ratusan kali ditolak penerbit namun di kemudian hari menjadi slh 1 buku terlaris n diterjemahkan ke beragam bhs (kasusnya buku Chicken Soup for the Soul), miracle didalam tayangan sekian menit di youtube yg kemudian mendongkrak sang pelakunya menjadi superstar (nih ttg Justin Bieber), or miracle didalam sbh buku yg awalnya didedikasikan utk sang guru, nyaris masuk tong sampah namun kemudian menjadi tetralogi terlaris tanah air n mendulang sukses yg sama saat diangkat ke layar lebar (dah pd tahu deh, kalo ini kshnya Laskar Pelangi :)).

 Sejenak kita beralih dari pembicaraan seputar miracle, sy mau nulisin dl kritik n masukan yg ditujukan utk novel remaja sy Izmi & Lila, dtgnya dr seorang penulis senior yg novelnya udah bejibun, berhubung blom minta ijin dulu neh jd sy gak usah sebutin namanya la yaa, *kalo kebetulan ngebaca, sorii ya Teh :)*
"Sebenernya gak byk saranku bwt Izmi n Lila, hanya soal rasa bhs yg kataku sedikit krg remaja. I mean mungkin sedikit terlalu serius. Trus kurang byk dialog yg ngalir ala remaja. Kalo soal bhs Inggris, krn settingnya Spore, nurutku kurang singlish ya, malah terkesan serius euy. Yg kukagum bener, itu setting Sporenya ok banget ya, detail nuff. Ini cerita bisa kasih insight tentang kemandirian pd usia remaja. Keren kok, bener."


Sejenak sy teringat saran kritiknya mbak Hetih Rusli (editor GPU) saat 2 thn lalu naskah novel ini sy ajuin di genre teenlit, kira2 komentarnya (via telp) spt ini : "Naskah ini mah gak cocok bwt remaja, bhsnya lbh cocok di romance, tp kalo mau direvisi ntar makan waktu lama, jd hayo krm naskah lain yg temanya romance, langsung dialamatkan ke sy aja (2 thn berlalu, nyatanya sy blom jg ngirim naskah yg dimaksud kesono lg :D).
 So, introspeksi yg bs sy ambil adalah, kalo next time sy berniat pengen nulis novel remaja lg, sy kudu lbh banyak gaul dgn remaja n bc novel2 remaja biar soulnya bs lebih dapet, jgn bc Linda Howard mulu, mpok :D
 Kembali ke judul topik diatas, sebenernya puji dan kritik adalah faktor eksternal yg bisa kita jadiin poros penyeimbang. Krn, pd hakikatnya semua pujian adalah milik Allah, sebagaimana yg sering bergaung didlm majelis ta'lim, bahwa segala yg benar datangnya dr Allah, yg salah n khilaf adalah dr manusianya sendiri.
Saat kita memuji sbh karya, maka sesungguhnya pujian itu kita tujukan adalah kpdNya, dan fungsi karya disini adlh sbg media or sarana utk kita lebih bersyukur dan mengagumi kebesaranNya. Ketika kita menggerakkan jemari utk menulis, adakalanya kt bs menulis dgn lancar, adakalanya jg macet, nah, Dzat apa yg ada dibalik proses itu kalau bukan bermuara dr kehendakNya? Diantara trilyunan kalimat yg tercetak didlm buku, lantas segelintir kalimat2 yg kita goreskan ternyata mampu meninggalkan kesan mendalam di hati pembc sementara yg lainnya tidak, Dzat mana lg yg ada dibalik miracle ini kalo bukan atas kuasaNya?

Sementara kelemahan n kekurangan yg ada, itulah sesungguhnya hakikat kita sbg manusia yg selamanya nggak akan bs mencapai level perfecto, sempurna, 100%, selalu ada celah utk kita belajar n memperbaiki diri, menyadari keterbatasan kt sbg manusia. So, andai kedua hakikat ini udah kita pahami n maknai bener2, insya Allah setinggi apapun pujian nggak akan buat kita melambung dan lupa diri, begitu juga seburuk apapun kritik yg diberikan, insya Allah nggak akan bikin kita tenggelam.
 Jika dianalogikan dgn permainan jungkat-jungkit, maka ketika si A n B memiliki bobot seimbang, permainan akan berlangsung lama dan seru, sebaliknya jika bobot salah satunya berlebih, permainan mungkin hny akan berlangsung sekejap krn slh 1 terus2an terlambung ke atas sementara yg satunya tetap berpijak di tanah. So, kita tentu nggak mau proses kreatif kita hny berlangsung sekejap krn gak berhasil memaknai faktor eksternal ini secara berimbang.



Tapi, kalo kritikannya hny mencari2 kesalahan n kekurangan kita, gimana dunk? itu mah namanya bukan ngeritik, tp lg cari bahan gossip :D, sebaliknya jika kritik itu datangnya dr pihak yg kompeten n memiliki kapabilitas memadai pd bidangnya, kritiknya justru bs jadi bekal berharga bwt proses kreatif kita. Mungkin, tanpa pernah ngobrol dgn mbak Hetih 2 thn lalu, sy gak akan berani nulis fiksi yg beraroma romance lalu 'melahirkan' Hati Memilih :)

 Lantas, kalo sampai hari ini karya2 sy jarang2 banget dapet respon, boro2 pujian n kritik, sekedar di-comment juga jarang, gmn sy bs tahu karya sy bagus or enggak? ngapain jg donk sy nulis terus? eit, jgn lantas kepikiran utk mandeg dlm berproses, krn sesungguhnya kt juga punya faktor internal yg gak kalah 'kuat', yaitu MENGAPA dan atas TUJUAN apa kita berkarya. Gak perlu mikir yg ribet2, sy lg kepengen nulis krn pengen curhat (ini termasuk Mengapa, bukan?), mudah2an yg bc curhat saya ntar bisa kasih solusi berharga (ini udah jadi Tujuan kita menulis, kan?).

 Semakin kuat faktor insternal yang kita bangun, maka insya Allah proses kita dlm berkarya juga akan berlangsung stabil dan bertahan utk jangka panjang meski ketiadaan faktor2 eksternal yg mendukung.
Wah, sptnya note ini udah kepanjangan ya, cukup sampai sini dulu deh, kpn2 dilanjut lagi, smoga bermanfaat...

SEMESTA VS QALBU

Kebosanan menghadapi facebook belakangan ini mendorong saya iseng nyinggahin rumah yang udah lamaaa banget nggak dikunjungin, bahkan sejak pertama kali buka akunnya saya juga ogah buka lagi. Alesan sederhana, karena tingkat responsivitasnya yang terlalu cepet, walau jumlah follower n following saya sedikit banget, tapi dalam semenit new tweet yang masuk bisa sampe belasan kali, kalo terlalu diikutin ntar gak bisa kerja yang lain donk ^_^.

 Kebetulan hari ini saya sempet nyimak timeline Dee tentang proses kreatif menulis fiksi yang dia sebut sebagai semesta. Ini menarik nurut saya, karena Dee nggak hny bicara tentang pentingnya riset n tehnik dalam menulis, tapi apa yang lebih penting adalah menciptakan 'ruh' dari tulisan. 

Untuk bisa menciptakan 'ruh' ini, seseorang harus bisa masuk bahkan ia sebut sbg 'kerasukan' pada cerita yang dibuat penulisnya sendiri. Dan untuk bisa mencapai tahap ini, seorang (penulis) harus mampu memandang dunia dari sudut pandang si tokoh rekaannya dan benar2 memosisikan dirinya berada didalam dunia cerita yang ia tulis. Saking totalnya seorang Dee, ia mengaku pernah sampe rela disetrum listrik oleh terapis listrik ketika menyelesaikan Elektra. Hmm...

 Hal positif dari tehnik 'semesta' ini, menurut saya, tentu saja bisa bikin cerita yang kita tulis benar-benar hidup, punya emosi, seakan ada 'ruh'nya, nggak terasa hambar, seperti yang kita temukan dalam novel-novel bernas karya Dee. Namun sisi negatifnya, masih versi Dee, bahwa penulis bisa menjadi profesi rentan gila bahkan bunuh diri saking kerasukannya...loh?? Selain itu, (yang ini nurut saya), kita tentu butuh waktu khusus dan benar2 fokus untuk bisa sampai mencapai tahap menyatu dengan cerita, nggak bisa disambi-sambi kalo emang mau total.
  
So, pendapat saya, ada baiknya kita ambil jalan tengah saja. Yang nggak sampe merepotkan diri sendiri namun hasilnya tetap bisa bagus. Kita dikaruniai Allah elemen paling sensitif bernama hati, atau qolbu, maka inilah yang harus kita libatkan semaksimal mungkin pada saat menulis. 

Tidak hanya sekedar mengoordinasikan pikiran dengan pengetahuan juga imajinasi, tapi juga melibatkan hati. Agar tulisan mengandung pesan kebaikan, maka hati juga harus sering-sering disirami masukan yang baik-baik dan diisi pengetahuan yang baik-baik, sehingga walaupun tulisan bercerita tentang realita kehidupan dan diperkaya dengan berbagai setting dan penokohan yang tentunya melibatkan si antagonis - protagonis - abu-abu, tetap sisi kebaikanlah yang akan tersampaikan pada pembaca.
  
Ada juga yang menggunakan tehnik berwudhu atau membaca kitab suci terlebih dulu. Untuk yang membaca kitab suci sudah sering saya praktekkan, dan alhamdulillah manfaatnya terasa, karena bagi saya Al-Quran adalah sumber inspirasi terindah dan terlengkap juga membantu kita untuk tetap meluruskan niat sebelum menulis. Insya Allah kalo dalam kreativitas menulis pun tetap bersandar pada aturanNya, proses kreativitas kita akan tetap terjaga dalam nuansa kebaikan dan jangan takut bakal gila apalagi bunuh diri. (^_^)
  
Sekian dulu hasil jalan2 dan perenungan aye hari ini...semoga bermanfaat ye >_<

15 April 2011

NULIS NOVEL ANAK ITU NGGAK GAMPANG

Hasil mampir ke blog temen (mbak Sapto Rini), baru tahu kalo ternyata untuk menghasilkan novel anak yang oke itu nggak segampang saat membacanya. Dari hasil diskusi seru di blog yang saya singgahi itu, Ini nih hal-hal yang selalu bikin novel anak jadi 'minus' ataupun di diskusi itu dianggap bikin bete dimata yang baca, saya coba simpulkan dengan bahasa saya sendiri :

1. 'Meremehkan' logika anak
Antara lain dengan menampilkancerita dan penokohan yang kelewat baik bak malaikat atau bidadari. Biarpun cerita anak, ya tetap juga harus mengacu ke realita

2. Opening yang klise
Misalnya nih : Matahari bersinar cerah. Pagi yang indah, bla bla bla...rasanya udah gak keitung deh cerita anak yang narasinya diawali kalimat begini

3. Menggurui
Selalu ada tokoh dewasa yang jadi penasehat, mungkin juga ortunya sendiri, dengan dialog yang panjang lebar kek orang lagi ceramah, anak sekarang udah pada kritis2 lagi, penyampaian pesan model begini mah udah out-of date

4. Repetisi dialog yang maknanya sama
Mungkin, karena menganggap segmen pembaca (anak) kurang menguasai kosakata yang luas, makanya keterbatasan pemilihan kata jadi bikin dialog yang sama berulang-ulang

5. Deskripsi tokoh yang hitam putih
Udah kadung familiar yak sama penokohan model begini : Si kaya = angkuh, sombong, suka pamer, si miskin = lugu, pinter en baik hati. Sesekali dibikin ketuker ataupun karakternya sedikit abu-abu nggak ada salahnya tho? Misalnya biarpun pinter tapi dia ceroboh naroh barang-barang, si kaya yang rendah hati tapi bisa dimanfaatin temen, dll.

6. Ending yang ketebak
Nggak ada salahnya juga 'kan bikin cerita anak yang lebih variatif dengan tidak mengabaikan logika anak?

Segini dulu deh, berhubung saya juga masih dalam tahap belajar menulis cerita anak....semoga hasil diskusi ini bisa jadi 'bekal' yang bermanfaat. Amin.

KALI INI, MARI BICARA TENTANG NASKAH NOVEL YANG DITOLAK (Part 2)

Sampai dimana kemaren? Oh ya, sampe poin ke 4  tentang setting cerita, sekarang lanjuut !

5. Plot dijalin rapi dan menuruti logika pembaca
Yg namanya plot sah2 aja mau dibikin maju mundur atau lurus lancar ampe cerita berakhir, yang penting susunannya rapi, gak lompat2 geje atau malah membingungkan pembaca. Truss, jangan lupa, harus logis. Logis dalam kapasitas diluar konteks novel yang mengangkat tema science fiction ato fantasi dimana imajinasi boleh dibawa terbang berkelana sejauh mungkin, juga sesuai logika pembaca yang bakal jadi segmentasi. Jadi kalo novelnya untuk anak, ya plotnya harus yang sesuai jangkauan pemikiran anak-anak dunk

6. Konflik dan solusi yang masuk akal, ending yang memuaskan/fokus/utuh
Pernah ketemu 'kan, novel yang solusinya terasa gampang banget padahal konflik udah dipermainkan serumit mungkin? atau sebaliknya, konflik yang terasa biasa, atau datar-datar saja, justru solusinya dilebih-lebihkan hingga terasa lebay? So, ada baiknya pada bab yang mulai memainkan konflik kita cermati baik-baik agar memenuhi unsur logika dan proporsional antara konflik yang diangkat dengan solusi yang dipaparkan nantinya.
Trus, kalo untuk ending, gak jarang juga ada novel yang endingnya menggantung, gak masalah sih, yang penting endingnya fokus dan berhubungan dengan keseluruhan konsep cerita.

7. Porsi deskripsi dan narasi yang baik, tidak bertele-tele, gaya penulisan/diksi
Lebih nyaman baca novel yang padat berisi ketimbang yang terlalu panjang lebar mengurai sesuatu bahkan termasuk hal2 yang nggak perlu2 banget 'kan? yang jelas, harus seimbang deh, antara dialog dan deskripsi, kebanyakan dialog juga ntar ceritanya terasa kurang, kurang berisi dan menyentuh.
Kalo untuk diksi, masing2 orang pasti punya kekhasan tersendiri, namun untuk bisa mencapai kekhasan ini, diperlukan latihan yang kontinyu sampai menemukan ciri diksi tersendiri dan nggak lagi mengekor pada penulis favoritnya

8. EYD
Nggak perlu dibahas panjang lebar deh kalo yang satu ini yak? Berhubung udah syarat wajib untuk penulisan jenis apapun, dan jujur aja, sampai hari ini EYD saya juga masih belum baik bener 

9. Memiliki nilai tambah bagi pembaca (informasi/inspirasi)
So, biarpun karya fiksi, alangkah baiknya kalau cerita nggak hanya berisi cerita saja, tapi juga memiliki muatan yang bermanfaat, ataupun nilai inspirasi, karena sebuah karya insya Allah akan lebih diingat dan menyentuh hati pembaca disaat mampu menyertakan muatan yang bermanfaat ini.

Sampe sini dulu ya, bagi yang mau ngasih tambahan info dan tips dengan senang hati diterima dan didiskusiin sama2, let's keep learning - mari terus belajar dan berproses, untuk menghasilkan karya yang lebih baik dan menjadi semakin baik

KALI INI, MARI BICARA TENTANG NASKAH NOVEL YANG DITOLAK (Part 1)

 “Kok yang nongol namanya itu-itu aja sih?”
“Kok selalu menang sih?”
Uwaah...kate siape gak pernah kalah? Sering malah. Berhubung dah kebal aje makanya gak inget lagi berapa rekor kekalahan udah dicetak.
Naskah ditolak? Gak kalah sering juga tuh.
Singkat cerita...one day aye dapet surat cinta dari penerbit, tapi bukan surat cinta yang ngabarin kalo naskah aye diterima, melainkan sebaliknya, belum layak terbit, alias DITOLAK!
Kecewa?
Kok enggak ya? *sambil pegang kening, mudah-mudahan masih normal*, berhubung didalam surat cinta itu diselipin poin2 apa yang bikin naskah novel aye belum berhasil bikin penerbit jatuh hati.
Tanpa perlu nyebutin nama penerbitnya, aye mau berbagi poin2 tsb, poin yang biasanya jadi standar penerbit saat membaca sebuah naskah novel, meski setiap penerbit punya standar dan segmen yang berbeda-beda. Mudah-mudahan aja bisa berguna buat siape aje yang berniat pengen ngirim naskah (novel) ke penerbit label
1.      Tema menarik / baru / sesuai target
Tak dipungkiri, masih banyak tema-tema yang itu2 saja mewarnai peredaran novel tanah air, namun harus diakui pula kalau kapasitas dan jam terbang penulis sangat berperan dalam memetamorfosa tema yang kadung ‘biasa’ ini menjadi sesuatu yang menarik. Jadi kalau masih dalam kapasitas pemula kaya’ aye nih, mau gak mau ya kudu nampilin something new untuk terlihat berbeda dan pd tahap awal setidaknya dilirik dulu deh ama yang nerima naskah .

2.      Bab awal yang menarik
Ayo, bikin start yang semenarik mungkin! Hindari opening yang lambat dan bertele-tele, menurut Sefryana Khairil, bahwa bab pertama harus sudah mencerminkan konflik, dengan begitu pembaca akan tertarik untuk terus membuka lembar demi lembar. Kebayang ‘kan apa jadinya kalau naskahmu baru ‘bergerak’ setelah masuk lembar kesepuluh sementara baru di lembar kelima yang baca naskah udah bosen? Jadi gak kebaaaca deh sisanya yang kali aja sebenarnya jauh lebih bagus

3.      Karakterisasi kuat
Jangan pernah nyepelein karakter tokoh, gitu deh kira-kira. Pernah ketemu ‘kan novel yang karakter tokohnya inkonsisten? Walhasil yang baca juga bingung dan ngerasa ada sesuatu yang kurang sreg meski cerita udah dikembangkan dengan baik. Penokohan yang kuat bisa digambarkan melalui deskripsi dan dialog, jadinya emang alangkah baiknya kalau sebelum memulai nulis, karakter tokohnya udah disetting terlebih dulu

4.      Setting cerita hidup dan mendukung
Setting waktu dan tempat emang kudu harmonis ama cerita, selain juga kudu detail dan masuk akal. Penggambaran setting juga bisa nambah poin plus dari keindahan sebuah novel sepanjang dikembangkan dengan baik dan proporsional. Umumnya setting bisa lebih hidup kalau sang penulis emang pernah ngerasain ‘ada’ didalam setting tsb, kaya’nya AAC-nya kang Abik tuh, berhubung yang nulis emang pernah ngerasain hidup di Mesir, jadinya ya klop banget ama ceritanya yang emang setting dan alur ceritanya sebagian besar mencerminkan pengalaman hidupnya selama di Mesir. Namun meski temans nggak berada di setting tempat dan waktu yang diinginkan untuk ditulis, masih bisa disiasati dengan ngumpulin info sebanyak2nya baik melalui buku2 referensi maupun dari internet, tinggal lagi bagaimana menyusunnya supaya terkesan smooth dan nggak terkesan seperti reportase

Bersambung

Me - from another mirror


Riawani Elyta.

Saya lahir dan menetap di Tanjungpinang, Prov. Kepulauan Riau. Saya seorang cappucino lover, penikmat novel-novel bergenre romance, penyuka warna abu-abu, biru donker, merah jambu dan ungu. Meski jejak-jejak yang saya goreskan di dunia kata ini masih dini, saya tak ingin melewatkan setiap berkah yang Dia berikan tanpa rasa syukur. 

Move On (part 2)

Apa yang biasanya dilakukan orang-orang saat pindah? Berbenah? Ngepak barang-barang untuk kemudian mengaturnya kembali di rumah baru? Khusus untuk kepindahan yang ini, saya memutuskan untuk tidak mengangkut barang-barang saya yang masih ada di rumah lama, kecuali hanya beberapa saja yang saya anggap penting, foto-foto cover buku misalnya. Kenapa? jujur, saya emang rada gaptek, jadi kalaupun nantinya akan ada fasilitasi untuk memindahkan semua barang-barang di rumah lama dengan mudah, jika tutorialnya tidak lengkap, saya pun malas menggunakannya. Pindah manual? Wah, maaf saja, waktu saya terbatas untuk itu. Untungnya, semua barang-barang di rumah lama, rata-rata punya salinan di PC file ataupun catatan fesbuk. Entahlah kalau nanti kedua "rumah" ini pun hilang lenyap, wallahu alam :)

Mengawali langkah di rumah baru, saya memilih untuk membuka lembar yang baru meninggalkan jejak yang baru pula. Dan saya ngeblog kali ini juga bukan sekadar asal ikut-ikutan atau trend-trendan. Saya ingin rumah yang sekarang sekaligus bisa merepresentasikan diri saya, mudah-mudahan juga bisa membentuk a good brand buat saya dan saya bisa menjadi tuan rumah yang baik, yang nggak sekadar mengajak teman-teman untuk mampir dan menyuguhkan cemilan ringan tetapi juga memberi mereka oleh-oleh yang bermanfaat.

Maka, berbeda dengan ketika memasuki rumah yang lama saat pertama kali, saya hanya asal beri nama, asal pasang foto, karena waktu itu niatnya ngeblog emang hanya karena mau ikut lomba, walaupun kemudian cukup banyak juga yang saya lakukan di sana, nulis resep kue dan tips-tips nulis simpel ala saya, juga promo-promo buku. Kali ini, untuk memilih label blog pun saya berpikir sampai semalaman, mulai dari memikirkan kalimat yang panjang lebar, yang bombastis, sampai akhirnya pada menit-menit menjelang masuk rumah baru, saya memutuskan untuk menggunakan label yang cukup singkat : H.A.L.T.E.
Label ini pun saya edit dua kali, dengan memberi titik-titik sebagai pemisah antar huruf, karena biar cuma titik, ternyata efeknya cukup besar untuk memaku sejenak visual kita pada makna yang tersirat dibalik sepotong kata itu, dibandingkan hanya sekadar memajang kata 'halte' yang pastinya akan dibaca sekali lewat saja.


Tak hanya terinspirasi karena tiap hari saya harus nunggu bis di halte, tetapi juga karena kata Halte akan selalu mengingatkan saya pada tagline yang saya cantumkan di bawahnya, bahwa hidup itu hanya sebuah persinggahan, jadi saya nggak boleh ngoyo, nggak boleh berorientasi poll pada dunia yang notabene hanya jadi tempat singgah, seperti juga halte yang saban hari saya singgahi, menanti bis yang akan membawa saya ke kantor. Tak ada penunggu permanen di halte itu, termasuk para ojekers yang ngetem sekalipun, semua orang mampir di sana silih berganti. Begitu pulalah hidup kita, yang tetap akan berakhir di satu titik bernama kematian. Kita hanya menunggu giliran, siapa yang lebih dulu dibawa dan siapa yang lebih lama tinggal. Semoga kita bisa tetap meluruskan niat agar menjadikan setiap detik dalam hidup kita berharga dan berorientasi pada ridho Allah swt. Amin.


Move On

Pada akhirnya saya sampai pada keputusan untuk move on, meninggalkan blog saya yang lama untuk kemudian mengambil satu kavlingan baru di sini. Bukannya tanpa alasan, mengingat kavlingan "rumah" saya yang lama itu konon akan berubah fungsi menjadi olshop, dan kononnya lagi, semua data yang tersimpan di sana akan terhapus terhitung sejak Desember.

Terlepas benar tidaknya kabar tersebut, atau hoax semata, saya tetap pada keputusan untuk pindah, apalagi, sebagian besar teman dalam komunitas online saya, memang telah lama berdomisili di sini.

Satu hal yang dapat kita petik dari sini, simpel sebenarnya, bahwa nyatanya tak ada yang abadi dalam hidup ini, segalanya bisa hilang lenyap, mengalami perubahan atau dinamika, dan kita sebagai bagian dari kehidupan itu, mau tak mau harus terus beradaptasi dengan semua perubahan, termasuk juga....kehilangan.

Renungan sesaat ini jugalah yang akhirnya membawa saya pada pilihan baru untuk melabeli rumah saya di sini, yaitu hidup itu tak lebih dari sebuah persinggahan, label yang telah saya pikirkan semalam suntuk. Satu harapan saya, bahwa setiap kali saya mampir ke sini, atau siapapun juga yang berkenan mampir, akan selalu mengingat akhir dari perjalanan kita, dan dunia yang kita tempati sekarang ini, tak lain hanyalah sebuah persinggahan.