1. 'Meremehkan' logika anak
Antara lain dengan menampilkancerita dan penokohan yang kelewat baik bak malaikat atau bidadari. Biarpun cerita anak, ya tetap juga harus mengacu ke realita
2. Opening yang klise
Misalnya nih : Matahari bersinar cerah. Pagi yang indah, bla bla bla...rasanya udah gak keitung deh cerita anak yang narasinya diawali kalimat begini
3. Menggurui
Selalu ada tokoh dewasa yang jadi penasehat, mungkin juga ortunya sendiri, dengan dialog yang panjang lebar kek orang lagi ceramah, anak sekarang udah pada kritis2 lagi, penyampaian pesan model begini mah udah out-of date
4. Repetisi dialog yang maknanya sama
Mungkin, karena menganggap segmen pembaca (anak) kurang menguasai kosakata yang luas, makanya keterbatasan pemilihan kata jadi bikin dialog yang sama berulang-ulang
5. Deskripsi tokoh yang hitam putih
Udah kadung familiar yak sama penokohan model begini : Si kaya = angkuh, sombong, suka pamer, si miskin = lugu, pinter en baik hati. Sesekali dibikin ketuker ataupun karakternya sedikit abu-abu nggak ada salahnya tho? Misalnya biarpun pinter tapi dia ceroboh naroh barang-barang, si kaya yang rendah hati tapi bisa dimanfaatin temen, dll.
6. Ending yang ketebak
Nggak ada salahnya juga 'kan bikin cerita anak yang lebih variatif dengan tidak mengabaikan logika anak?
Segini dulu deh, berhubung saya juga masih dalam tahap belajar menulis cerita anak....semoga hasil diskusi ini bisa jadi 'bekal' yang bermanfaat. Amin.

No comments