Kisah pertama tentang behind the scene novel
ini sudah pernah saya tulis tak lama setelah terbit, (kalian boleh baca di sini), tetapi, rasanya masih ada curhat yang ingin saya sampaikan tentang novel ini.
Ide untuk menulis novel ini sebenarnya telah muncul jauh
sebelum LMNI 2014 digelar oleh Indiva. Waktu itu, saya baru belajar menulis
novel, dan saya mencoba-coba menulis novel berlatar sejarah. Namun, seiring
waktu, saya sadar, kapasitas saya belum cukup untuk menulis novel di genre ini.
Dan seiring itu pula, ide-ide lain terus bermunculan. Masing-masing terus
mendesak saya untuk dituliskan. Namun, saat pengumuman LMNI digelar, saya mulai
berpikir untuk mengangkat sesuatu yang up-to-date.
Kebetulan, waktu itu (tahun 2014) adalah masa euforia jelang
pilpres. Satu ide terbetik dalam benak untuk mengangkat kisah tentang pilpres. Di
saat yang sama, keinginan untuk menceritakan tentang kegelisahan saya terhadap dunia
kepenulisan juga terus menghebat. Saya pun sampai pada satu kesimpulan :
mengapa tidak saya gabungkan saja kedua ide ini, kalau perlu sekalian dengan latar
historis, untuk merealisasikan impian lama saya yang belum terwujud?
Maka, saya pun mulai mereka-reka cara mengombinasikan ketiga
ide ini menjadi sebuah cerita utuh dan saling berkesinambungan. Saya mulai
mengumpulkan referensi, memilah-milah sejarah mana yang mau saya angkat, unsur apa
terkait pilpres yang mau saya ketengahkan, dan novel-novel apa yang cocok
sebagai pendamping. Sampai akhirnya, rangkaian plot ini pun muncul dalam benak
saya : penulis yang diminta menulis novel biografis seorang calon presiden,
penulis yang harus menghadapi dilema sebagai seorang workaholic, latar sejarah
tragedi Priok, dan apa hubungannya dengan sosok sang calon pilpres.
Di saat yang sama, saya juga berpikir untuk mengangkat
setting daerah tempat saya tinggal, meski proporsinya tidak seratus persen. Juga
yang tak kalah penting, amanat apa yang bisa saya sisipkan di dalam cerita ini.
Terkesan kompleks ya? Begitulah, hehe. Tetapi, dalam
prosesnya, boleh percaya boleh tidak, saya tidak pernah menuangkan semua ide
itu ke atas kertas. Semuanya saya biarkan bermain-main di dalam benak,
membentuk alurnya sendiri dan mendorong saya untuk langsung menuliskannya dalam
sebuah cerita.
Jadi, boleh dibilang, “kompas” saya saat menulis cerita ini,
adalah dari apa yang terus berputar-putar dalam pikiran. Tentu saja, kuasa
Allah-lah yang membuat semua perputaran itu kemudian bisa tertuang di dalam rangkaian
kata.
Tetapi, meski tanpa panduan tertulis, saya memberi perhatian
ekstra saat menyunting. Meski banyak teori menyarankan untuk melakukan
penyuntingan di akhir proses, saya tetap melakukannya sepanjang penulisan. Mengingat
novel ini, nggak hanya kompleks alurnya, tetapi juga ditulis dengan alur maju
mundur dalam rentang waktu yang cukup jauh serta dua pov yang saling bergantian.
Jadi, penting sekali untuk menjaga pergantian demi pergantian ini tetap
sinkron, berkesinambungan, logis dan tidak membingungkan pembaca.
Saya juga
memberi perhatian pada sisi-sisi yang “layak sensor”...ups, bukan untuk
adegan-adegan xxx ya. Jangankan yang begituan, yang bikin deg-deg serr juga
minim kok, karena novel ini memang bukan novel romance. Kalaupun ada kisah
romantisnya, baru sebatas jatuh cinta, belum sampe ngapa-ngapain.
Kembali pada muatan yang “layak sensor”, mengingat novel ini
juga mengangkat muatan politis terkait pilpres, saya benar-benar membatasi hanya
pada hal-hal yang pantas diumbar, dalam proporsi secukupnya. Karena saya tidak
ingin novel ini menjelma novel politik.
Lalu, kenapa mengangkat kehidupan penulis?
Karena ini adalah
aktivitas yang saya lakoni sehari-hari. Yang setiap kesulitannya menyatu dalam
peluh, yang setiap kenikmatannya melebur dalam denyut nadi. Karena ada kegelisahan
yang hendak saya sampaikan tentang hal-hal negatif seputar kehidupan seorang
penulis, mulai dari desakan kreativitas yang menepikan rasa peduli terhadap
kesehatan, terjebak dalam dilema idealistis dan materialistis, kesibukan yang terus
melalap waktu, hingga perang batin saat berhadapan dengan kepentingan diri
sendiri maupun orang lain. Semua kegelisahan ini, saya “titip”kan pada sosok
Aliff, tokoh utama dalam cerita ini yang memainkan karakter real guy, not
really bad, but not really nice too. (I hope you like him
:D).
Lalu, kenapa tragedi Priok yang saya pilih?
Saya termasuk generasi yang lahir pada orde “bungkam”. Tak semua
berita mengemuka, tak semua kabar sampai ke telinga dalam ujud yang seutuhnya,
dan tragedi Priok, adalah satu diantara tragedi sejarah yang ketika itu disensor
dengan ketat. Tragedi yang ketika itu menimbulkan banyak pertanyaan di kepala
saya. Tak juga mau pergi meski sekian belas tahun berlalu.
Orde berganti, kabar demi kabar terus mengalir, fakta pun
kian terkuak, hingga akhirnya saya mulai menemukan titik terang dari kisah
dibalik tragedi tersebut. Inilah yang kemudian menginspirasi saya untuk menulisnya
di dalam cerita ini. Kalian bisa membaca cuplikan prolog novel ini yang
merupakan gambaran semi fiktif dari tragedi Priok di sini.
Terakhir, apa amanat yang ingin saya sampaikan?
Dengan kerendahan hati, saya berharap para pembacalah yang akan
menemukannya sendiri usai menuntaskan novel ini. Karena buat saya, penyampaian amanat cerita tergolong
berhasil jika pembaca sendirilah yang berhasil menemukannya. Dan lebih berhasil
lagi jika pembaca dapat memetik hikmahnya untuk menjadi inspirasi hidup.
Demikianlah sekelumit cerita dibalik layar The Secret of
Room 403. Selamat menelusuri rahasia didalamnya. Semoga anda menyukainya :)
P.S.
Buat kalian yang ingin belajar menulis novel dan mendapatkan novel ini gratis bonus tanda tangan, silakan klik sini untuk info lengkapnya ya.
P.S.
Buat kalian yang ingin belajar menulis novel dan mendapatkan novel ini gratis bonus tanda tangan, silakan klik sini untuk info lengkapnya ya.
No comments