Support Me on SociaBuzz

Support Me on SociaBuzz
Dukung Blog Ini

Novel The Secret of Room 403 [PROLOG DAN SINOPSIS]

Novel The Secret of Room 403

Hai....hai....udah tahu belum kalau novel terbaru saya lagi buka pre-order nih di Penerbit Indiva? :) Setelah sebelumnya saya bercerita tentang behind the scene dari novel The Secret of Room 403 ini, pada tulisan kali ini saya mau kasih sedikit bocoran untuk Sinopsis dan Prolog novel ini. Yuk diintip  :D :

------------------------------------------------

"Saya suka baca karya Riawani Elyta sejak pertama kali baca bukunya, Jasmine. Menaikkan adrenalin. Menyulut rasa ingin tahu. Juga buku yang satu ini. Beda!" (Sinta Yudisia-Penulis)

Sinopsis :
Aliff larut dalam kesibukannya menulis skenario sinetron. Kala dia berencana untuk rehat sejenak, Goerge datang menawarkan sebuah proyek. Proyek yang menariknya menuju sebuah titik pencerahan. Proyek yang juga menariknya pada pusaran tragedi masa lalu.

Berbekal sebuah bundel misterius, Aliff dititahkan menulis novel biografis tentang sosok dari kalangan militer, ayah dari salah satu bakal calon presiden yang akan berlaga di pilpres mendatang. Kejanggalan demi kejanggalan dia temukan. Naluri dan nuraninya terhenyak. 

Terlebih saat Revi, gadis sederhana yang dia kenal di tengah liburan, menunjukkan sebuah buku catatan dengan tulisan tangan yang persis sama dengan tulisan dalam bundel itu.

Judul : The Secret of Room 403
Penulis : Riawani Elyta
ISBN : 978-602-1614-51-8
Harga : 55K

Dapatkan di toko buku terdekat seperti Gramedia, Togamas, dan lainnya.
Atau beli ke penerbit via SMS/WA ke 0819 0471 5588

----------------------------------------------------------



Prolog

“Allahu akbar!”
Takbir pertama berkumandang. Lirih diikuti para jamaah Isya’ yang bershaf di belakang sang imam. Jumlah mereka tidak sampai empat puluh orang. Dan dengan jumlah itu, mereka hanya perlu membentuk dua shaf di belakang imam. Tak terlihat makmum perempuan. Tabir dari kain hijau yang biasanya menjadi pembatas, hari ini dibiarkan tersampir begitu saja pada tali yang dipaku di kedua sisi dinding mushola.

Sejak beberapa bulan terakhir, mushola itu memang hanya terlihat ramai saat ada pengajian rutin, ataupun ketika anak-anak belajar mengaji. Jadi, sememangnya tak ada yang terlihat ganjil malam ini. Para jamaah itu juga bukanlah siapa-siapa. Hanya sekelompok pria yang jiwanya masih terpanggil untuk menunaikan shalat berjamaah. Para pria  yang tak ingin mengotori pikiran dengan prasangka apapun. Termasuk prasangka atas peristiwa yang terjadi beberapa hari lalu di mushola.

Ketika itu, sholat ashar berjamaah baru saja usai saat dua orang pria berseragam datang. Tanpa ba-bi-bu langsung menyuruh jamaah untuk melepas pamflet yang tertempel di dinding luar mushola. Tak sekadar memerintah, tetapi juga membentak, memaki dan mengumpat. Andai saja mereka bukan “aparat”, detik itu juga mereka pasti sudah diusir.

Keduanya kembali datang keesokan harinya. Lalu menatap penuh amarah seraya mengumpat-umpat di depan pamflet-pamflet  yang masih tertempel di dinding. Tak seorangpun peduli pada apa yang mereka perintahkan. Bagi para jamaah, mushola adalah tempat untuk menjalankan perintah sang Maha Kuasa. Bukan tempat untuk mematuhi orang-orang yang datang dengan sikap arogan juga tanpa etika.

Cetek! Lampu mushola mendadak padam. Tiba-tiba saja ....
Dor! Dor! Dor!
Dor! Dor! Dor!
Dor! Dor! Dor!

Runtut bunyi tembakan memecah gulita. Susul menyusul dalam kecepatan per mili detik. Pertanda bahwa senjata yang memuntahkan puluhan peluru itu, jumlahnya tak hanya satu.

Suara sang imam sesaat lenyap, berganti rintih. Lalu terdengar suara mengaduh, menyebut nama Tuhan. Dalam kegelapan, tak seorang pun tahu persis apa yang baru saja terjadi. Sebagian berusaha merangkak keluar, mencari pertolongan. Sebagian memilih untuk bertahan. Membasahi bibir dengan dzikir lirih “Allah, Allah.” Bukan karena jiwa mereka telah pasrah, tetapi dalam setiap detik yang bergerak, bagian tubuh mereka yang tertembus peluru tak henti-hentinya mengucurkan darah, seiring denyut jantung dan detak nadi mereka yang kian melemah.

Namun, tak seorang pun tahu, bahwa ini bukan akhir.

Ini hanyalah segelintir, dari serentetan peristiwa tragis yang kelak akan membangkitkan kenangan getir.

Juga tak seorang pun tahu, bahwa dalam beberapa jam ke depan, situasi di tempat ini telah kembali normal. Tidak ada jejak kematian. Tidak ada selongsong peluru. Tidak ada korban tertinggal. 

Juga tak pernah ada ... keadilan.

5 comments

  1. Selamat ya...sukses terus untuk mba
    lyta

    ReplyDelete
  2. Seblumnya slamat utk pluncuran novelnya ya mbak..

    Penasaran sma klanjutannya nih hhee

    ReplyDelete
  3. Selamat mba... senangnya mendengar kabar2 ttg peluncuran novel baru... saya kapan ya.. #eh

    ReplyDelete
  4. novelnya menariklah, senang bisa kunjung ke blognya setelah lihat goodreads. Salam kenal ^^

    ReplyDelete