Kisah sebelumnya bisa dibaca di sini
“Belum
tidur?”
Saya
tidak perlu menoleh untuk memastikan sang pemilik suara. Tiga tahun ternyata terlalu
singkat untuk menghapus ingatan saya akan suara bass-nya yang sedikit berat
itu.
“Belum.
Aku mau menyelesaikan tulisan sebelum pulang,” jawab saya dengan mata tetap
tertuju pada laptop.
Saya
menggunakan ruang depan untuk menulis. Jendela saya biarkan terbuka. Saya ingin
merasakan kondisi udara di taman nasional pasca pembakaran hutan agar bisa
mendeskripsikan dengan tepat bagaimana situasi sesungguhnya saat ini. Namun, saya
juga tidak menduga kalau Rahadi masih terjaga di tengah malam dan melintasi
bagian depan bangunan ini.
“Percuma
saja menulis tentang gajah dan perambahan. Sudah berapa banyak berita tentang
korban jiwa manusia akibat kabut asap, tetapi apa tindakan yang mereka ambil?
Dan tentang perambahan hutan, asal kau tahu, rekan-rekan kami termasuk aku
sendiri, harus mempertaruhkan nyawa saat kami berusaha membekuk pelakunya.”
Saya
berhenti mengetik. Akhirnya memutuskan untuk menoleh. Rahadi tengah berdiri
seraya menumpukan sebelah tangannya pada jendela besar yang tak berteralis.
Wajahnya tampak mengeras. Dan matanya menatap saya tajam.
“Aku
ingin lebih banyak orang tahu bahwa dampak pembakaran membuat situasi bertambah
sulit. Hutan terbakar. Gajah liar menyerbu pemukiman penduduk. Konflik pun tak
terhindarkan. Sementara di saat yang sama, warga desa juga harus bertahan di
tengah udara yang tercemar asap. Lalu, mengapa kalian sampai harus bertaruh
nyawa? Apa para perambah itu dijaga preman-preman?”
“Bukan preman. Tetapi warga desa. Mereka semua
kompak melindungi perambah. Bisnis kelapa sawit terlalu menggiurkan. Lagipula,
mereka juga tahu, semua aturan dan aparat setempat akan bertekuk lutut pada
orang-orang yang ada dibalik perluasan lahan dan pembakaran hutan. Aku tidak
mengajakmu untuk pesimis. Tetapi apa yang kau lakukan itu, tidak akan banyak
berguna untuk menghentikan masalah ini.”
Sesuatu
yang panas merambati dada saya saat mendengar kalimat terakhir Rahadi.
“Jadi
kau pikir apa yang kulakukan tidak akan berdampak apapun, begitu? Dengar! Akan
kubuktikan padamu kalau tulisanku bisa mengubah keadaan meski dalam kontribusi terkecil
sekalipun!” Saya benar-benar geram kali ini. Saya merasa tidak seperti
menghadapi Rahadi yang dulu pernah membuat dawai hati saya bergetar.
“Tenang,
tahan dulu suaramu, Retni. Gajah-gajahku bisa terbangun nanti. Kasihan, mereka
sudah bekerja sangat keras hari ini.”
Di
depan saya, Rahadi tersenyum separuh bibir. “Aku tidak meremehkan pekerjaanmu. Aku
hanya tidak yakin kalau semua yang kau tulis dapat mengubah keadaan. Ini sudah
masuk bulan kedua. Tetapi kondisi udara justru bertambah parah. Dan perambahan
terus saja terjadi. Lebih baik kau mengambil cuti dan cepat-cepat meninggalkan
kota ini sebelum kesehatanmu memburuk. Bulan depan, kau akan lamaran, bukan?”
Saya
ternganga. Jadi, Rahadi sudah tahu?
“Pak
Salim yang bilang padamu?” Saya memicingkan mata. Rahadi mengangguk. “Kuucapkan
selamat. Akhirnya, kau berhasil mendahuluiku.”
Rasa
panas dalam dada saya kini menjalar pelan hingga mencapai ubun-ubun. Ucapan
Rahadi terdengar begitu sinis. Apakah dia kecewa? Atau marah? Tetapi.........
“Bukankah
kau sudah bertunangan? Kupikir, tahun ini kau akan menikah.”
Rahadi
menggelengkan kepalanya. “Seperti yang kau lihat, aku masih di sini, melatih
gajah-gajah asuhanku untuk mengusir gajah liar sampai konflik gajah benar-benar
berhenti.”
“Boleh
aku tahu, kenapa pertunanganmu batal?” Saya menurunkan nada suara. Menatapnya
sungguh-sungguh. Kami masih berbicara di posisi yang sama. Saya di dalam gedung
dan Rahadi di sisi jendela.
“Kau
mau tahu kenapa? Karena aku lebih mencintai Momon daripada Ayu! Aku rela menua
bersama Momon daripada hidup tersiksa di sisi perempuan yang tidak kucintai.”
Rahadi
tertawa. Keras sekali hingga bahunya terguncang. Saya terbelalak. “Hey! Jangan
main-main dong! Tidak mungkin kau mau melepaskan Ayu hanya demi seekor gajah!”
Rahadi
tak menjawab. Ia berlalu dari jendela bersama sisa-sisa tawanya. Mendadak,
tubuh saya menggigil. Suara tawa itu begitu kentara, terdengar bagai nada-nada
pedih yang mencoba berlindung dibalik alunan musik yang ceria.
************
“Kondisi
udara bertambah buruk. Sebaiknya kau tunda kepulanganmu beberapa jam lagi,”
Rahadi menatap langit sedikit cemas saat keesokan paginya saya bersiap-siap
meninggalkan Tesso Nilo. Entah apa yang berkelindan dalam benak lelaki ini.
Setelah tadi malam dia bersikap demikian, pagi ini dia justru tampak
mengkhawatirkan saya seakan-akan saya akan berangkat ke medan perang. Dia juga
bersikeras menemani saya dengan sepeda motor, melalui jalan yang kemarin saya
lewati bersama Pak Tungkat hingga tiba di tempat mobil saya terparkir.
Saya
menggeleng. “Aku mendapat kabar kalau pagi ini giliran hutan Rokan yang
membara. Sepertinya, hanya dalam tempo beberapa jam saja kadar polutan akan
terus naik. Lebih baik aku pulang sekarang.”
“Perlu
aku temani?”
“Tidak.
Terima kasih. Aku sudah pernah menyupir lebih jauh dari ini. Doakan saja aku
selamat. Oke?”
Rahadi
menatap saya seakan-akan ada miliknya yang sangat berharga, ia titipkan pada
saya. “Hati-hati. Jangan mengemudi laju-laju. Nomor ponselku masih sama. Kabari
aku begitu kau sampai.”
Roda
mobil saya baru bergerak beberapa meter saat mata saya tak tahan lagi untuk
tidak melihat spion. Rahadi masih berdiri di ujung jalan. Menatap kepergian
saya dengan tubuh seakan dirantai. Diam seperti patung.
****************
Sebuah
paket seukuran kotak sepatu tergeletak di depan pintu kost-kostan saya. Membuat
dahi saya mengernyit. Selama ini, petugas pos tidak pernah meninggalkan barang
kiriman begitu saja jika tidak ada orang di rumah. Dan saya juga tidak mendapat
telepon dari kurir manapun yang bermaksud mengantar kiriman.
Saya
menunduk. Memperhatikan tulisan pada kertas pembungkusnya. Nama dan alamat
lengkap saya tertera di sana. Saya menendang kotak itu pelan-pelan dengan ujung
kaki. Siapa tahu saja, ada seperangkat bom rakitan didalamnya yang akan meledak
begitu picunya tersentuh.
Saya
tidak mengada-ada. Beberapa jurnalis Mercusuar pernah mendapat teror dan
intimidasi dalam berbagai bentuknya. Mulai dari gertak sambal via SMS hingga
yang mengancam nyawa.
Tidak
ada nama pengirimnya saat kotak itu saya balikkan. Saya memutuskan untuk mengangkatnya
pelan-pelan. Terasa berat. Sepertinya, isi paket ini bobotnya lebih dari satu
kilogram.
Saya
berjalan menuju bak pembuangan sampah yang berjarak kira-kira lima belas meter,
membuangnya di sana tanpa berpikir lagi.
****************
Pagi
baru saja menyapa saat pintu kost-kostan saya diketuk cukup keras. Saat saya membuka
pintu, ternyata Pak Sudi sang ketua RT bersama tiga orang pria yang saya kenali
sebagai warga sekitar kost-kostan.
“Maaf,
pagi-pagi membangunkan dik Retni. Warga melapor kalau ada bau tak sedap di
tempat pembuangan sampah. Barusan ada yang membuka sebuah paket yang dicurigai
sebagai sumber bau. Ternyata isinya bangkai kucing. Dan pada kotak itu, ada
nama dik Retni.”
Saya
terenyak. Kecurigaan saya ternyata benar. Paket itu ternyata memang berisi
sesuatu untuk menakut-nakuti saya.
“Saya
menerima paket itu kemarin sore, Pak. Tetapi, karena tidak ada nama
pengirimnya, juga karena tidak ada yang menelpon dari kantor pos, saya lalu membuangnya.”
Pak
Sudi mengernyit. “Apa kamu punya musuh, dan musuh kamu itu bermaksud mengancam
dengan mengirim bangkai itu?”
Saya
menggeleng. “Saya tidak punya musuh, Pak. Itu sudah risiko pekerjaan saya.
Menyampaikan fakta dan kebenaran terkadang menimbulkan ancaman pada pihak
tertentu. Jadi barangkali saja, daripada merasa terancam, mereka memilih untuk
balik mengancam.”
Di
depan saya, Pak Sudi menghela napas panjang. “Saya hanya bisa bilang hati-hati
kalau begitu. Jika ada apa-apa, jangan sungkan menghubungi saya. Kami permisi.”
Saya
mengangguk dan menutup pintu setelah Pak Sudi dan rombongannya berlalu. Mereka
pikir, menakut-nakuti saya seperti itu akan membuat saya berhenti? Saya tersenyum
separuh bibir. Justru saya sedang mempersiapkan pemberitaan lain yang tak kalah
menarik. Tunggu saja tanggal mainnya.
*******************
Organisasi Perlindungan Satwa
Internasional hari ini melayangkan kecaman keras kepada para pelaku pembakaran
hutan yang telah mengancam kelangsungan hidup satwa langka khususnya gajah liar
yang berada di wilayah Riau.....
Lelaki
itu berhenti sejenak. Tertawa pelan dengan ekspresi meledek. Namun reaksi itu hanya
berlangsung sekejap, karena baris penutup dari berita itu spontan menghentikan tawanya.
Seperti
juga kemarin-kemarin, tindakan pertamanya adalah meraih ponselnya yang
tergeletak di atas meja dan menghubungi nomor yang sudah dia tandai dengan
angka khusus. Ia nyaris tidak pernah menggunakan jalur komunikasi yang lain.
Tidak via SMS, email, WA, BBM ataupun Line. Baginya, semua kemudahan itu sama bodohnya
dengan memasang jerat di halaman rumah. Hanya dalam hitungan menit, lawan
bicaramu akan melakukan screenshot
atas komunikasi yang terpampang di layar lalu mengirimkannya pada pihak yang
membutuhkan. Jadi, wajar saja jika lelaki itu hanya mempercayai pembicaraan
langsung via ponselnya yang sudah dilengkapi piranti anti sadap.
“Kau
sudah baca berita hari ini?”
“Berita
yang mana, Pak?”
“Tentang
kecaman dari organisasi satwa internasional. Bagaimana bisa organisasi itu bersuara?
Bahkan sampai menjual nama PBB segala?”
“Mereka
tidak menjual nama PBB, tetapi mereka memang mitra PBB dalam hal perlindungan
hewan. Jadi, suara mereka bahkan lebih didengar dari tuntutan LSM dan media
nasional manapun, Pak.”
Lelaki
itu mendengus geram. Belum cukup ancaman datang dari dalam, kini pihak luar pun
ikut-ikutan menyerang.
“Jalur
A kita masih aman, bukan?”
Ada
jeda yang membuatnya mengernyit sebelum lawan bicaranya menjawab. “Tidak
benar-benar aman, Pak. Dalam waktu dekat, nama perusahaan yang diduga terlibat akan
dipublikasi di media cetak juga di media-media online.”
“Lantas,
apa yang sudah kalian lakukan?”
“Dari
sisi publikasi, tak banyak yang bisa kami lakukan. Tetapi dari sisi hukum,
aman. Pihak berwajib hanya akan mengurusi para eksekutor di lapangan.”
“Kau
yakin itu?”
“Yakin,
Pak. Tetapi, ada satu hal perlu Bapak ketahui. Bahwa api yang memicu asap protes
dari organisasi satwa itu, juga berasal dari orang yang sama.”
Lelaki
itu terperangah. “Maksudmu, si jurnalis amatiran itu?”
“Benar,
Pak.”
“Apa
kalian belum memperingatkannya?”
“Sudah,
Pak. Tetapi, sepertinya dia sudah kebal dengan ancaman.”
Lelaki
itu mendengus. Ucapannya yang terlontar kemudian tak ubahnya anjing yang
menyalak. “Bagaimana mungkin anak ayam berani bermain-main dengan serigala? Kau
urus saja dulu para kunyuk-kunyuk yang sok suci itu! Jangan sampai mereka
terpengaruh lalu beralih memihak kekuatan viral media.”
“Siap,
Pak.”
Lelaki
itu segera mematikan ponselnya. Dalam benaknya melintas satu pertanyaan yang
tak urung membuat giginya bergemeletuk. Siapa gerangan jurnalis berinisial RB
itu? Siapa pula yang ada di belakangnya sehingga ia berani menulis sedemikian frontal?
Sebuah
pesan masuk menggetarkan ponselnya sesaat sebelum ia melemparnya ke tempat
semula.
Pa. Jangan lupa minggu ketiga bulan depan.
Ia
hanya membalas singkat. Ya. Namun
batinnya justru berkata sebaliknya. Saya
tidak janji.
*******************
Jakarta,
September 2015
Kabut
asap yang menyelimuti Pekanbaru bertambah pekat hari ini. ISPU telah memasuki
angka 700. Saya terpaksa mengambil jadwal penerbangan melalui Padang untuk berangkat
ke Jakarta. Delapan jam melalui perjalanan darat Pekanbaru – Padang, berlanjut
dengan lima puluh menit penerbangan dari Bandara Internasional Minangkabau menuju
Soekarno Hatta, membuat pinggang saya lumayan pegal.
Upaya
pemadaman terhadap titik-titik api, sejauh ini belum menunjukkan hasil yang
menggembirakan. Padahal, biaya yang dihabiskan untuk water bombing, konon telah mencapai angka milyaran rupiah. Sungguh,
terlalu mahal harga harus ditebus untuk “membayar” perbuatan manusia merusak
paru-paru dunia.
Di
lain sisi, saya merasa bersyukur. Artikel saya tentang meningkatnya konflik
gajah dan gajah liar yang menjadi korban pembakaran serta perambahan hutan di
sekitar Tesso Nilo, telah memantik kegeraman WWF. Pengalaman saya meliput
tentang Tesso Nilo tiga tahun lalu, adalah yang pertama kali membuka jalan
untuk saya berinteraksi dengan organisasi satwa internasional itu. Tak heran,
liputan saya kali inipun dengan cepat memancing reaksi WWF, tak lama setelah
saya mengirim surel berisi tautan artikel yang telah dimuat di Mercusuar.
Apalagi, peristiwa terparah dari pembakaran hutan tahun inipun turut menjadi
sorotan tajam media internasional.
Cuaca
cerah dan teriknya sinar matahari menyambut kedatangan saya di bandara Soekarno
Hatta. Sesuatu yang sudah dua bulan ini nyaris tak pernah saya rasakan lagi.
Arul
menjemput saya di bandara. Rambut ikalnya ia biarkan panjang dan terkuncir di
belakang. Sekilas, ia tampak seperti seorang seniman ketimbang blogger.
“Tambah
kucel kamu Ret. Kuantar facial dulu
ya?” tawar Arul saat kami melangkah menuju parkiran.
“Apa
sekadar untuk acara lamaran, aku juga harus tampil maksimal?”
“Buatku
sih nggak masalah kamu mau tampil tanpa makeup
sekalipun. Tapi, para orang-orang tua itu, khususnya mama dan tante-tanteku,
apa kata mereka kalau lihat kamu hitam dan jerawatan begini?”
“Apa
semua tantemu akan datang?”
“Ya.
Mereka akan datang. Sekaligus mewakili papaku. Ada acara penting yang harus
dihadirinya dan tidak bisa diwakilkan pada siapapun. Dan dia...dia minta maaf.”
Ekspresi
Arul tampak menyesal saat mengatakan itu. Saya hanya menanggapinya dengan
senyum maklum. Entah mengapa, saya tidak terlalu antusias menghadapi acara
lamaran yang akan digelar dua hari lagi. Seharusnya saya sudah menjejakkan kaki
di Jakarta seminggu lalu. Tetapi, jadwal penerbangan yang sedikit membingungkan
membuat saya terpaksa menunda kepulangan. Selain tentu saja, karena saya telah
berkomitmen untuk menyelesaikan semua tugas-tugas peliputan saya sebelum
meninggalkan Pekanbaru.
Ponsel
saya membunyikan notifikasi dari jalur Whatssap. Saya mengintip sebentar. Pesan
dari Bim Bim. Maaf, Ret. Tapi kurasa kau
perlu tahu ini. Buka link ini.
Saya
mengernyit. Jari saya spontan menekan tautan yang diberikan Bim Bim. Tautan
yang mengantarkan saya pada situs sebuah media nasional. Tautan dengan berita
yang berhasil menahan kedua mata saya dari berkedip. Inilah berita penting yang
selama ini dinanti-nantikan banyak pihak, apalagi kalau bukan nama-nama
perusahaan raksasa yang ada dibalik pembakaran hutan.
Perhatian
saya sesaat teralih pada seraut wajah pria dan nama yang menyertai fotonya.
Pria yang disinyalir sebagai pemilik salah satu perusahaan. Wajah dan nama itu
.....begitu familier. Saya hanya perlu menoleh untuk melihat wajah ini dalam
versi tiga puluh tahun lebih muda.
“Jadi,
kita mau kemana dulu nih?” Arul telah duduk di belakang setir dan menghidupkan
mesin mobilnya.
Saya
meneguk ludah. Terasa pahit saat kemudian berkata, “Aku mau bicara sesuatu.
Kita cari tempat nongkrong yang enak. Oke?”
*****************
Dua
hari kemudian,
Baju
kebaya modern berwarna broken white
itu masih tergantung di dinding, terbungkus dalam plastik transparan. Saya baru
saja bermaksud melipatnya saat ponsel saya berbunyi. Lelaki itu? Saya
mengernyit melihat nama Rahadi di layar. Ada apa malam-malam begini dia
menelpon?
“Halo....”
“Halo
Ret. Maaf, mengganggumu malam-malam. Jaringan telepon mengalami gangguan
beberapa hari ini. Aku menelponmu siang tadi tetapi gagal. Aku hanya mau
mengucap selamat untuk artikelmu. Aku mengikuti semua tulisanmu di koran dan juga
perkembangannya. Kau tahu? Sejak kemarin, ada ratusan tentara diturunkan untuk
mengawal pemadaman api di hutan-hutan di Pelalawan. Aku tidak pernah melihat
jumlah sebanyak itu sebelumnya. Tadi pagi, dua orang perwakilan WWF Indonesia
datang ke Tesso Nilo. Mereka ingin mendapatkan fakta yang lebih detail tentang
apa yang sesungguhnya terjadi di sini. Aku minta maaf, Ret, waktu itu telah
meremehkanmu. Aku juga minta maaf, tidak pernah berterus terang padamu tentang
perasaanku. Karena aku tahu, cepat atau lambat, kau pasti akan meninggalkan
Pekanbaru. Sementara aku...aku sudah bersumpah tidak akan meninggalkan Tesso
Nilo dan gajah-gajah latihku selama aku masih hidup. Oh ya, omong-omong, kapan
hari lamaranmu? Retni, kau masih dengar aku ‘kan?”
“Masih.”
Saya menjawab pelan. Entah Rahadi mendengarnya atau tidak. Kata-kata Rahadi
seakan berputar ulang di telinga saya. Selamat
untuk artikelmu.... Aku mengikuti semua tulisanmu..... Aku minta maaf....
Saya
mematikan ponsel. Terlalu banyak yang ingin saya ceritakan pada Rahadi. Tetapi,
tidak sekarang. Ini sudah terlalu larut.
*******************
Singapura,
September 2015
Pukul
tiga dini hari waktu setempat. Itu berarti, waktu di Jakarta saat ini
menunjukkan pukul dua malam. Lantas, kenapa anak lelakinya menelponnya tengah
malam begini?
“Bagaimana
tadi? Semua lancar ‘kan? Saya sudah titip pesan pada Budi dan Rendra agar
mengurusi semuanya. Tetapi, kenapa mereka belum memberi kabar, ya? Oh, saya
lupa. Seharusnya saya yang menelpon. Jadi, bagaimana tadi? Semua lancar ‘kan?”
Lelaki
itu tak dapat menyembunyikan kegugupannya. Tak sadar kalau pertanyaan yang ia
lontarkan sama persis bunyinya dengan kalimat pembukanya. Mungkin, karena
komunikasinya dengan anak lelakinya selama ini memang terlalu minim. Saking
minimnya hingga ia nyaris tak pernah tahu semua aktivitas anak lelakinya
begitupun sebaliknya. Ia yakin, anak lelakinya juga tak tahu persis sudah
sejauh apa sepak terjang bisnisnya selama ini. Atau mungkin juga, rasa bersalah
atas ketidakacuhannya pada hari penting anak lelakinya, sedikit banyak telah
mengusik kekerasan hatinya yang selama ini tak tergoyahkan.
“Semua
lancar, Pa. Seperti mobil yang melaju di jalan tol sendirian. Terima kasih,
sudah memadamkan api kebahagiaanku sebelum api itu berkobar. Sementara di
belahan bumi yang lain, api yang Papa sulut masih terus berkobar dengan hebatnya.
Pantas saja Papa lebih betah di sana. Sungguh, aku benar-benar tidak menyangka
kalau Papa adalah orang yang ada dibalik semua kekacauan.”
Klik.
Lelaki itu terenyak. Ia belum lagi sempat merespon, belum juga sempat menarik
napas saat pembicaraan mereka tahu-tahu saja telah terputus. Anak lelakinya
memang suka bermetafora. Mentang-mentang dia penulis. Sesuatu yang sama sekali
tak relevan dengan dunia lelaki itu hingga selama ini komunikasi mereka lebih
sering berakhir dengan kebuntuan. Namun berbeda dari sebelum-sebelumnya, kali
ini ucapan anak lelakinya justru menohoknya tepat di pusat kesadaran.
The number you’re calling is not active. Hanya
suara mesin penjawab yang merespons saat ia menghubungi kembali. Lelaki itu
menekan nomor tujuan yang sama. Lagi dan lagi. Hingga pada hitungan ke sebelas,
ia mengempaskan ponselnya yang hanya memperdengarkan suara mesin penjawab. Tubuhnya
seketika merosot. Menggelosor ke lantai.
Dahinya
mengernyit oleh reaksi tubuhnya yang tak biasa. Tiba-tiba saja ia merasa lemas dan
sulit menarik napas. Lelaki itu spontan mendongak, menatap pendingin ruangan
kamar hotel yang berada tepat di atas kepalanya. Air conditioner itu masih menyala. Ia lalu menatap sekeliling. Pada
pintu dan jendela kamar hotel yang tertutup rapat. Tetapi kenapa gumpalan asap
tebal seakan baru saja masuk dan mengekspansi kamar ini hingga memenuhi
paru-parunya?
SEKIAN
1) Indeks
Standar Pencemaran Udara
2) Asosiasi
Pengusaha Sawit Indonesia
3) Proses
perkenalan pria dan wanita yang ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih serius.
Bagian dari tradisi lama masyarakat Betawi
4) Benar-benar
5) tim
gajah latih
6) pawang
gajah
7) kandang
gajah
ehmmm tidak bisa komen apa- apa selain bagus kak .
ReplyDeleteSaya banyak belajar ni dari ulisan cerbung Mbak Ria... Renyah....
ReplyDeleteEndingnya smart! Semoga tahun ini ga ada pembakaran hutan lagi, ya Kak!
ReplyDeleteEndingnya warbiyasak! Sukaaa!
ReplyDeleteHow can it goes end? Kurang panjannnngggg...
ReplyDeleteKeren kak
ReplyDeleteKapan lah bisa nulis cerita kyk gini hihi..
Keren kak
ReplyDeleteKapan lah bisa nulis cerita kyk gini hihi..
Pesan ceritanya sangat kuat!
ReplyDeleteCerita yg menarik.
ReplyDeleteDitunggu sambungannya.