Support Me on SociaBuzz

Support Me on SociaBuzz
Dukung Blog Ini

Serepih Luka di Tesso Nilo (Cerber Femina Part-2)

Untuk membaca Part-1 silakan klik sini.
Keponakan Pak Amrialis masuk dengan membawa nampan berisi tiga cangkir teh. Sinar curiga sudah berlalu dari kedua matanya. Ia mempersilakan kami minum lalu duduk di lantai tak jauh dari ruang tamu. Agaknya, perempuan yang sepertinya seusia saya itu juga penasaran dengan apa yang kami perbincangkan.
“Tentang lahan yang dulu itu, bagaimana kelanjutannya, Pak? Saya minta maaf, waktu itu tidak ikut mendampingi sampai selesai.” Ucap saya sedikit menyesal.

Ndak ado kelanjutan yang menggembirakan, nak. Masyarakat terpaksa merelakan lahannyo dengan ganti rugi sangat kecil. Siapo berani melawan, kalau tiap hari yang datang itu preman-preman? Alasannyo untuk menjaga keamanan. Tetapi, yang mereka lakukan adalah intimidasi sampai kami menyerah.”
Pak Amrialis menarik napas dalam-dalam. Menatap kejauhan dengan sorot mata layu.
“Kalau begitu, lahan yang sekarang menjadi sumber titik api itu sebenarnya adalah milik perusahaan, dan masyarakat yang membakar juga adalah atas perintah perusahaan.” Saya berkonklusi.
Pak Amrialis mengangguk. “Begitulah, nak. Ayo diminum dulu, nanti baunyo bercampur asap.”
Saya tersenyum kecut. Melihat lelaki tua ini yang masih mencoba berguyon di tengah kepedihannya. Masih terbayang dalam benak saya, bagaimana tiga tahun dulu dia berusaha mengumpulkan tanda tangan semua warga untuk menolak ganti rugi. Usahanya berakhir gagal. Dan sekarang, lagi-lagi masyarakat kecil seperti Pak Amrialis harus menjadi tumbal untuk melepaskan pelaku yang sebenarnya dari jeratan hukum.
 Bim Bim memberi isyarat dengan anggukan, pertanda sudah saatnya kami harus berpamitan. Saya menggeser duduk ke arah Pak Amrialis, menatap pria tua ini sungguh-sungguh.
“Kali ini saya tidak berani menjanjikan apa-apa, Pak. Persoalan ini terlalu kompleks. Tetapi, saya dan Mercusuar akan berusaha semaksimal  yang kami bisa. Setidaknya, orang-orang di luar sana harus tahu siapa sesungguhnya dalang dibalik pembakaran ini dan tidak gampang percaya dengan omongan pihak-pihak yang menyudutkan masyarakat kecil.”
Pak Amrialis menundukkan kepala. Wajahnya tampak letih dan juga pasrah. “Semoga usaha kalian diberkati Tuhan, Nak. Tetapi saya minta tolong, jangan nama saya disebut-sebut dalam koran. Saya hanya ingin hidup tenang dan tetap bisa bernapas sampai kabut asap ini ndak ado lagi.”

**************
Saya hanya ingin hidup tenang dan tetap bisa bernapas sampai kabut asap ini ndak ado lagi.
Kata-kata terakhir Pak Amrialis masih terngiang di telinga saya. Sungguh. Harapannya tidak sesederhana apa yang terucap. Siapa bisa memastikan kapan kabut asap ini benar-benar akan sirna? Kalaupun kedatangan musim hujan nanti akan memadamkan semua titik api dan mengembalikan warna langit, siapa bisa menjamin bahwa pembakaran hutan akan benar-benar berhenti?
Dalam kondisi seperti ini, banyak orang berkata kalau Tuhan sedang murka. Sedikit saja yang percaya bahwa inilah sesungguhnya cara Tuhan mendidik manusia untuk tak lagi merusak alamNya.
“Melamun terus. Apa yang kamu pikirkan?” Pertanyaan Bim Bim memecah kesunyian yang tercipta sejak kami meninggalkan rumah Pak Amrialis. Bim Bim mengendarai mobil dengan kecepatan 60 km/jam. Di luar sana, jalan raya dan sekelilingnya tak ubahnya seperti kota hantu. Kabut gelap telah kian memperpendek jarak pandang. Dari kaca spion, kami hanya mampu melihat kendaraan yang berada  persis di belakang mobil. Selebihnya, hanya pendar cahaya lampu yang susul menyusul dalam gerak lambat yang mampu tertangkap oleh mata.
“Banyak. Sangat banyak.” Jawab saya seraya menatap lurus ke depan. “Kita tahu akan faktanya, tetapi kita juga kesulitan mengumpulkan bukti yang bisa memperkuat fakta itu. Dengan kondisi sekarang, sangat berat jika kita harus menemui satu per satu warga pemilik lahan yang diganti rugi untuk bisa melihat bukti kepemilikan tanah mereka yang telah dikuasai perusahaan.”
“Bagaimana kalau kita meminta bantuan instansi berwenang? Kita cukup minta ditunjukkan sertifikat lahan warga yang telah beralih ke perusahaan.”
Saya tertawa sumbang. “Memangnya kamu pikir kita siapa, Bim? Kecuali jika kita pihak kepolisian yang datang dengan surat resmi untuk melakukan penyelidikan.”
“Lantas, kamu tetap mau mengangkatnya tanpa bukti yang valid?”
Saya berpikir sejenak. “Data-data saat meliput kasus ganti rugi itu masih ada. Aku akan menyajikan berita berdasarkan kronologis peristiwa dan membiarkan pembaca menilai fakta mana yang lebih mendekati kebenaran.”
“Astaga, jadi kamu mau menggunakan bahan basi untuk membuat makanan yang harus disajikan sekarang?” Nada suara Bim Bim tiba-tiba meninggi. 
Saya menjawab dengan nada tak kalah tinggi. “Asal kamu tahu Bim, dokumen tentang hak atas tanah tidak boleh dimusnahkan sampai usianya minimal mencapai 20 tahun! Itu artinya, data tiga tahun lalu masih sangat valid. Apalagi proses ganti ruginya sendiri baru benar-benar selesai awal tahun ini.”
Bim Bim tak menjawab. Rekan saya ini hanya menoleh sekilas lalu mengedik bahu. Melanjutkan sisa perjalanan kami yang kembali sunyi.

*****************
Saya memutuskan untuk menulis di kolom essai Mercusuar. Tak sekadar fakta di lapangan, saya juga menuliskan opini pribadi berdasarkan semua data dari peristiwa lampau hingga kini. Sungguh. Menuliskan sesuatu yang menggabungkan fakta dan analisa, rasanya tiga kali lebih berat dibandingkan dengan hanya sekadar menyajikan berita.
Refrain lagu Let It Go memekik dari ponsel saya. Nama Pak Haris muncul di layar.
“Halo, Retni, apa kabar?”
“Alhamdulillah, baik Pak.”
“Syukurlah. Bagaimana perkembangan terakhir?”
Saya melaporkan semuanya dengan singkat dan to the point termasuk kabar tentang kondisi cuaca hari ini. Pak Haris tengah berada di Jakarta, menghadiri undangan Kementerian Kehutanan yang menjelaskan kebijakan pemerintah sekarang atas kondisi pasca pembakaran hutan.
Di ujung sana, saya mendengar bunyi napas berat Pak Haris setelah saya selesai berbicara.
“Kenapa kamu malah ingin menulis essai? Kamu tahu ‘kan berapa persen pembaca kita yang mau membaca kolom itu?”
“Tetapi data-data terbaru yang saya kantongi masih minim, Pak. Apa yang dapat saya simpulkan, masyarakat pemilik lahan memilih untuk bungkam dan instansi terkait juga tidak mau sembarangan membeberkan dokumen tanah dimaksud.”
Hening sesaat. Suara Pak Haris baru terdengar lagi beberapa detik kemudian. “Kalau begitu, kita tetap akan menampilkannya di lembar pertama, tetapi di kolom terbawah yang biasa diisi untuk feature. Kita bagi dalam dua kali pemuatan. Tetap pertahankan opini netral dan proporsional. Ingat, Retni. We must be part of solution, not part of problem.”
“Baik, Pak.”
Saya bangkit menuju dapur dan mengisi air dalam coffee-maker setelah pembicaraan kami selesai. Sepertinya, saya butuh minimal dua cangkir kopi untuk menemani saya menuntaskan tulisan ini malam ini.

************
Saya terjaga oleh bunyi keras yang menampar-nampar kaca jendela. Awalnya saya pikir angin kencang tengah bertiup dan seperti biasa, menerbangkan debu-debu berjelaga ke segala arah. Namun saat saya memandang ke arah jendela dan menajamkan telinga, mata saya spontan terbelalak. Ini hujan!
Saya berlari menuju jendela dan menempelkan wajah di kaca. Alhamdulillah! Ini memang hujan!
Saya telah tertidur begitu lelapnya setelah semalaman menyelesaikan artikel yang saya janjikan pada Pak Haris. Senyum saya merekah saat sejenak mengecek linimasa twitter yang telah penuh dengan twit kesyukuran disertai tagar #Pekanbaruakhirnyahujan.
Saya merentangkan tangan tinggi-tinggi. Meregangkan tubuh yang seakan remuk. Saya menatap langit. Untuk kali pertama sejak dua bulan ini, langit kota ini menunjukkan sedikit senyumnya.
Mendadak, saya teringat sesuatu. Hujan memang selalu punya kekuatan magis untuk meresonansi masa lalu. Saya terpejam. Dalam sekejap, kenangan itu kembali mengepung saya. Kenangan akan sebait nama dan sekelebat peristiwa bersamanya di Tesso Nilo.

************
Hujan deras mengiringi perjalanan saya menuju Taman Nasional Tesso Nilo. Dalam situasi normal, seharusnya perjalanan ini tuntas dalam tempo lima jam. Namun dengan kecepatan yang tidak bisa melebihi 60 km/jam, perjalanan harus saya tempuh dalam waktu kurang lebih tujuh jam.
Hujan deras telah berganti gerimis saat saya memarkir mobil di tepi jalan. Aroma tanah yang menguapkan hawa panas menyambut saya saat turun dari mobil. Pak Tungkat, seorang warga desa yang menjadi pemandu saat kedatangan pertama saya dulu, datang menghampiri saya lima menit kemudian. Saya telah menelponnya sebelumnya dan memintanya meminjamkan sepeda motor untuk saya kendarai menuju taman nasional itu.
“Adik ndak apo-apo bawa motor sendiri? Selepas hujan, medannyo licin dan sulit.” Ujar Pak Tungkat. Saya menggeleng. “Ndak apo-apo, Pak. Saya ndak bisa tenang kalau duduk di boncengan.”
Akhirnya, berdua Pak Tungkat, kami lalu menempuh perjalanan keluar masuk perkampungan. Melewati kebun sawit, jalan setapak yang becek dan berlumpur, naik turun tanah merah yang berbukit juga beberapa kali melewati semak belukar. Benar kata Pak Tungkat. Saya harus ekstra hati-hati mengendalikan motor jika tak ingin tergelincir lalu nyungsep ke permukaan tanah merah yang masih basah.
“Pak, berhenti dulu sini.” Saya berseru memanggil Pak Tungkat seraya mematikan mesin motor. Perjalanan kami sudah berlangsung kira-kira setengah jam. Di sekeliling kami sekarang, sejauh mata memandang, kebun-kebun sawit tampak terhampar luas. Padahal wilayah ini masih termasuk kawasan taman nasional Tesso Nilo. Tanaman palma itu tumbuh di sela-sela tunggul kayu yang menghitam, tampak seperti bekas terbakar. Ada serakan potongan kayu-kayu kecil di sekitarnya yang juga dalam keadaan gosong.
“Kenapa lahan sawit juga dibuka di sini, Pak? Bukankah ini masih termasuk kawasan taman nasional? Dan sepertinya, ini juga baru dibakar ‘kan?” Saya memberondong Pak Tungkat dengan pertanyaan sambil mengarahkan kamera ponsel pada sekeliling. Hari ini saya seperti memasuki areal luas bekas terbakar yang kering dan gersang, bukan lagi Tesso Nilo yang saya kunjungi tiga tahun lalu. Tesso Nilo dengan pohon-pohon rimbun khas hutan hujan dataran rendah yang dahan-dahannya seakan saling bergandengan.
“Begitulah dik kenyataannyo,” sahut Pak Tungkat. “Ndak ado pun tindakan tegas untuk perambah-perambah hutan. Padahal, hari-hari jugo para petugas melewati jalan ini. Saya akan tunjukkan yang lain lagi. Mari, dik. Kita naik motor dulu.”
Medan yang kami lalui selanjutnya ternyata jauh lebih berbahaya. Banyak tunggul kayu menyembul di jalanan. Jika tak waspada, motor bisa menabrak tunggul lalu terguling. Pepohonan yang kami temui sepanjang perjalanan, sebagian besar dalam kondisi merangas. Pak Tungkat menghentikan motornya. Menunjuk ke arah sebuah parit kecil di jalan menurun.
“Jadi, sawit-sawit itu nanti akan ditanam di sana?” Saya nyaris berteriak. Di atas genangan air itu, tampak berderet-deret bibit kelapa sawit yang baru saja disemai.
Pak Tungkat hanya mengedik bahu. Tak lagi berkomentar selain membiarkan saya memotret dari beberapa sudut lalu kembali naik ke motor. Melanjutkan sisa perjalanan kami yang kian dekat menuju jantung Tesso Nilo.

***********
Seorang pria yang tengah berdiri di depan sebuah bangunan sederhana, menatap kedatangan kami dengan mata terpicing. Saya menurunkan masker. Mata pria itu spontan terbelalak. “Retni!”
Saya mengangguk lalu menghampirinya. “Apa kabar, Pak Salim?”
“Alhamdulillah baik, nak. Kamu hanya berdua Tungkat?”
“Begitulah. Tadi saya mengajak teman, tetapi dia sedang sibuk.”
Iyo, Pak. Berani beno (benar) adik ni naik motor sendiri. Ndak mau saya bonceng.” Pak Tungkat berkomentar. “Saya pamit dulu. Keburu malam kalau ndak pulang sekarang.”
Saya mengucapkan terima kasih pada Pak Tungkat seraya tak lupa memberinya uang bensin.
“Kita ke mess saja, nak. Gedung yang ini sedang direnovasi.” Ajak Pak Salim tak lama setelah Pak Tungkat berpamitan. Sejak dulu, pria ini memang lebih suka menyapa “nak” pada saya. Sambil melangkah memasuki mess, saya menunjukkan padanya beberapa foto yang saya jepret sepanjang perjalanan memasuki kawasan Tesso Nilo.
Tak jauh berbeda dengan reaksi Pak Tungkat, pria ini pun mengedik bahu dan mengembus napas berat. “Siapo yang berani melarang mereka, nak. Orang-orang penting semuo yang punyo lahan tu.”
“Lalu, apa di sini semuanya tetap berlangsung seperti biasa, Pak?” Wajah  Pak Salim berubah kelam. Lelaki ini adalah salah satu pengurus Taman Nasional Tesso Nilo dan telah mengabdikan diri hampir separuh usianya.
“Dengan melihat langsung perambahan tadi, menurut nak Retni, apo akan terjadi di sini beberapa tahun lagi? Jangan-jangan kami pun tak mampu lagi melindungi gajah-gajah itu di sini.”
Ganti saya yang menghela napas. “Tim flying squad5), apa kabarnya Pak?”
Flying squad adalah tim gajah latih di Tesso Nilo. Gajah-gajah jinak ini bertugas mengusir kawanan gajah liar yang masuk ke pemukiman penduduk untuk kembali ke hutannya. Sejak dulu, tim flying squad inilah yang menjalankan operasi rutin di Tesso Nilo untuk mengatasi konflik gajah.
“Momon yang jadi pimpinan tim flying squad sekarang. Rahadi mendidiknyo dengan keras, tetapi penuh kasih sayang. Kamu tahulah bagaimana kalau dia sudah bersama gajah-gajahnya, bukan?”
Tak urung, detak jantung saya bersicepat saat nama itu akhirnya terucap juga. Saya menarik napas dalam-dalam, mengatur kalimat saya tetap tenang saat bertanya. “Di mana Rahadi sekarang, Pak?”
“Seperti biasa, sedang bersama gajah-gajah asuhannya. Sejak beberapa hari ini, para mahout6) di sini bertambah sibuk. Daerah jelajah tim flying squad sudah lebih jauh. Pembakaran hutan membuat konflik gajah jugo kian memburuk, nak. Semakin banyak gajah-gajah liar kehilangan hutan dan perlintasan mereka, lalu masuk pemukiman dan mengganggu penduduk.”
Saya menarik napas sekali lagi. Dampak pembakaran hutan ternyata membawa masalah yang lain lagi. Tak hanya masalah kesehatan, tetapi juga keselamatan. Dapat saya bayangkan bagaimana hutan yang terbakar membuat gajah-gajah liar itu panik, lalu tak ada pilihan untuk mereka selain menerobos pemukiman penduduk terdekat. Tugas tim flying squad sudah tentu bertambah berat, juga para mahout, yang harus mengawal patroli di tengah kondisi udara yang sangat buruk.
Sesaat, saya teringat nasib para orang utan di hutan Kalimantan. Saat hutan terbakar, tak sedikit dari primata langka itu yang menjadi korban. Mulai dari kehilangan hutan hingga yang ikut terbakar. Belumkah cukup rentetan bencana ini membuka hati para pelaku untuk berhenti merusak hutan?
“Sekarang apa kegiatanmu, nak? Masih aktif meliput tentang lingkungan?” Pertanyaan Pak Salim memecah keresahan saya.
“Masih, Pak. Sudah sebulan ini, saya meliput tentang pembakaran hutan dan kabut asap.”
“Apa kedatanganmu kemari juga terkait hal itu?”
“Oh, tidak. Tapi, bisa juga.”
Ya Tuhan. Saya menelan ludah. Kenapa saya mendadak gugup? Saya cepat menjelaskan sebelum lelaki ini telanjur curiga bahwa niat awal saya datang kemari sebenarnya hanyalah untuk bertemu Rahadi.
“Awalnya saya tidak punya rencana untuk datang. Tetapi, berhubung hari ini kabut asap sedikit reda, tiba-tiba terbit keinginan saya untuk berkunjung. Karena setelah ini, saya juga tidak tahu apakah masih punya kesempatan untuk datang ke sini.”
“Oh ya? Memangnya, nak Retni mau kemana?”
“Saya akan....menikah.” Saya memaksa untuk tersenyum. Meski entah kenapa, kata “menikah” yang terucap dari bibir saya tak ubahnya seolah-olah saya akan merayakan ulang tahun saja.
“Wah, selamat ya. Jangan lupa undang saya.” Senyum Pak Salim merekah. “Kapan pestanya, nak?”
“Masih lama kok, Pak. Bulan depan insya Allah baru proses lamaran.”
“Rahadi pasti senang mendengarnya. Sayang, rencana pertunangannya waktu itu gagal. Kalau tidak, beberapa bulan lagi dia juga mungkin akan menyusulmu.”
“Gagal?” Saya terperangah.
“Begitulah, nak. Rahadi bilang dia belum siap. Dia masih ingin mengabdi di sini. Tetapi, apa alasan sebenarnya, hanya Tuhan dan dia yang tahu. Omong-omong, kamu sudah makan?”
“Sudah, Pak. Tadi pagi.” Saya melirik jam seraya memikirkan hal lain untuk segera mengenyahkan rasa kaget saya terhadap kabar ini. Dulu, Pak Salim juga yang mengirim kabar pada saya akan rencana pertunangannya. Sedangkan Rahadi, justru diam seribu bahasa. Jangankan mengabari, ia bahkan tak pernah menjawab setiap saya mencoba menghubungi. “Bapak tahu rute tim flying squad hari ini?”
“Kenapa?” Pak Salim balik bertanya. “Kamu mau menyusul?”
“Jika mungkin, kenapa tidak? Saya ingin meliput aktivitas flying squad agar semua orang tahu bahwa pembakaran hutan tidak hanya mengancam kesehatan dan nyawa manusia, tetapi juga bencana lain yang tak kalah mengerikan.”
Pak Salim terdiam sejenak. Menatap saya sungguh-sungguh. “Saya menghargai niat baikmu. Tetapi, kondisi udara saat ini membuat sinyal komunikasi jadi lelet. Sejak hari pertama, kami sulit menghubungi mereka saat berada di lapangan. Apalagi kalau mereka sudah berada di sekitar hutan bekas pembakaran. Kesehatan para mahout dan gajah-gajah pun mulai menurun beberapa hari ini. Tetapi, kalau kamu ingin tahu apa saja yang sudah kami lakukan, berapa jumlah gajah liar yang berhasil kami giring ke hutan konservasi agar tidak mengganggu penduduk, saya bisa membantumu.”
“Oh, baiklah kalau begitu. Saya akan tetap di sini sambil menunggu kedatangan....tim flying squad.”
Saya mengembuskan napas lega. Untuk kesekian kalinya, lidah saya nyaris gagal bekerjasama dengan isi hati saya yang masih dipenuhi keinginan untuk mendentangkan nama Rahadi.

**********
Singapura, akhir Agustus 2015
Lelaki itu mulai resah. Bahkan yang tidak pernah diperhitungkan pun justru membuat masalah. Tak ada pilihan selain kembali menekan ponsel pintarnya dan menunggu suara jawaban di seberang sana.
“Kenapa berita basi itu terekspos lagi?”
Berbeda dari yang sudah-sudah, kali ini ia merasa tak perlu lagi menggunakan salam pembuka dan basa-basi. Sedapat mungkin ia menahan volume suaranya agar geramnya tak sampai kehilangan kendali.
“Mungkin, mereka memang sengaja memulai dari sana, Pak.... untuk membidik sasaran yang lebih besar.”
“Siapa redakturnya?”
“Kita tak bisa menyentuhnya, Pak. Ada orang kuat dibelakangnya.”
“Kalau begitu, cari penulisnya. Bikin dia jera.”
“Baik, Pak.”

***********
  Senja telah turun di Tesso Nilo saat dari kejauhan, saya mendengar lengkingan suara gajah berpadu bunyi mesin mobil yang menggerung kasar.
Suara itu, dulu pernah begitu akrab. Bukan hanya karena lengkingnya yang khas, tetapi juga karena setiap kali saya menghampiri asal suara itu, seorang pemuda dengan cambang halus dan kulit cokelat terpanggang matahari, pasti juga sedang berada di sana.
Ya. Antara Rahadi dan gajah-gajahnya sudah seperti ayah dan para anak balitanya. Dia biasa tiba di istal7) saat mahout lain masih meringkuk tidur di dalam mess. Membersihkan istal, menyiapkan rumput-rumput, lalu menyapa gajah-gajahnya satu per satu. Saya masih ingat, Rahadi punya tiga ekor gajah di bawah asuhannya : Momon, Alang dan Rimba.
“Mereka sudah pulang,” gumam Pak Salim. Pria itu bangkit dari kursi dan keluar lebih dulu. Saya mengekorinya, meninggalkan kursi dan meja yang penuh guntingan koran dan dokumen berisi data tentang konflik gajah yang terjadi di sekitar Tesso Nilo pasca pembakaran hutan.
Pak Salim menghampiri rombongan yang baru tiba itu. Tiga orang pria tampak menggiring lima ekor gajah dewasa menuju istal. Dua orang tetap tinggal dan sejenak berbicara dengan Pak Salim. Saya bergeming. Telapak kaki saya seakan langsung tertancap di lantai teras saat mata saya menangkap kehadirannya.
Dia tak jauh berbeda dengan Rahadi yang saya kenal tiga tahun silam. Seragam mahout berwarna biru donker itu membungkus erat tubuhnya, membuat otot-ototnya tampak cekal dan tegap. Warna kulitnya tampak kian legam. Dia menurunkan maskernya. Menyeka dahinya dengan punggung tangan. Sementara tangannya yang sebelah lagi membelai tubuh besar Momon – gajah asuhannya yang paling dia sayangi itu. Tentu saja saya masih mengingat Momon. Dia satu-satunya gajah latih di Tesso Nilo dengan telinga berbercak putih dan gading kanan yang sedikit retak.
Saya masih “menikmati” pemandangan itu saat  tahu-tahu saja lelaki itu memutar kepalanya dan menyadari kehadiran saya. Bibirnya tampak mengucapkan sesuatu. Rahadi sejenak menoleh pada Pak Salim yang juga kemudian memutar wajahnya kearah saya.
Saya maju selangkah. Namun Rahadi bergerak lebih cepat. Sosoknya telah lebih dulu berdiri menjulang di depan saya dan menghentikan langkah saya.
“Retni...” Kedua matanya membesar. Menatap saya dengan tatapan tak percaya. Seolah-olah kehadiran saya di sini hanya ada dalam mimpinya yang tak pernah menjadi kenyataan.
“Rahadi. Apa kabar?” Saya tersenyum formil. Di depan saya, lelaki ini menarik ujung bibirnya, mungkin ia juga mencoba untuk tersenyum. Namun usahanya gagal. Di mata saya, lengkung bibirnya tampak seperti cengiran pahit.
“Baik. Hanya situasi saat ini tidak begitu baik. Pak Salim sudah cerita apa saja padamu?”
“Kurasa, hampir semuanya. Sungguh, aku tidak sabar untuk menulis semua yang terjadi di sini. Sepanjang yang kutahu, belum ada media yang meliput tentang dampak pembakaran hutan terhadap konflik gajah juga perambahan hutan di sekitar Tesso Nilo.”
“Memang, sejauh ini belum ada awak media yang sampai kemari. Kau orang pertama,” Rahadi menatap lekat. Saya cepat memalingkan muka. Tatapan itu, dulu yang pernah membuat saya terpesona.
“Omong-omong, kenapa kita masih di luar? Apa paru-paru kalian punya anti asap? Ayo masuk ke dalam.” Suara Pak Salim memecah suasana yang entah-apa-harus-saya-menyebutnya diantara saya dan Rahadi.
“Sekarang sudah maghrib. Kamu menginap di sini, kan, nak?” tanya Pak Salim sambil melangkah mendahului kami. Pria separuh baya ini, sejak dulu memang kerap dijuluki Si Langkah Cepat. Saya memandang sekeliling. Senja baru saja pergi. Gurat langit telah berbias warna kelabu. Tak ada pilihan untuk saya selain bermalam di Tesso Nilo. (bersambung)

7 comments

  1. Saya hanya ingin hidup tenang dan tetap bisa bernapas sampai kabut asap ini ndak ado lagi, kutipan ini mengingatkan rokok

    ReplyDelete
  2. Di tunggu sambungannya kak

    ReplyDelete
  3. sudah berapa kali baca tetap ingin baca. tulisannya mantap kak

    ReplyDelete
  4. "Saya hanya ingin hidup tenang dan tetap bisa bernapas sampai kabut asap ini ndak ado lagi." Memang ungkapan yang sangat menyentuh... Duh kebayanglah kalau aku masih hidup di Pekanbaru yang tiap tahun pasti sengsara saat musim asap...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Langganan asap mmg disana sampe gak ada lagi bakar2 hutan

      Delete
  5. Ceritanya menggugah. Apalagi berkisah kejadian "nyata"

    ReplyDelete