Support Me on SociaBuzz

Support Me on SociaBuzz
Dukung Blog Ini

Novel Remaja Bermuatan Lokalitas dan Sarat Makna


Apa rasanya ketika usai menyantap makanan yang lezat, bergizi dan mengenyangkan? Pasti terasa puas dan bikin hati senang, bukan?

Inilah kesan yang saya rasakan seusai membaca novel Petualangan Tiga Hari karya Dian Dahlia, penulis yang juga seorang dokter ini.

 

Novel pemenang ketiga Kompetisi Menulis Novel Indiva 2019 ini, berkisah tentang Mukhlis yang tinggal di kampung Pallawa Lipu, nekad menjadi penumpang gelap di sebuah kapal yang disewa Pak RT untuk membawa orang sakit ke kota.

Mukhlis ketahuan, namun kapal tetap harus sampai ke tujuan. Maka, Mukhlis pun mengikuti rombongan sampai ke kota. Malangnya, Mukhlis tertinggal di dermaga karena rombongan itu fokus mengurusi orang sakit.

Di sinilah petualangan Mukhlis dimulai. Petualangan yang menyeretnya ke dalam bahaya, tetapi juga mempertemukannya dengan sahabat-sahabat baru dan beragam warna kehidupan.

 -----------

Sepertinya saya ingin langsung mengulas, kenapa novel setebal 256 halaman ini mampu memberikan kesan seperti yang saya ungkapkan di awal resensi ini. Berikut uraiannya :

Pertama, deskripsi yang detil, indah, bermuatan lokalitas dan menjadi “ruh” cerita

Inilah kesan pertama yang saya dapatkan sejak lembar pertama dan melingkupi keseluruhan isi novel ini. Sungguh luar biasa, membayangkan bagaimana penulisnya merekam 1,5 tahun pengalamannya saat berada di Bontang, Kalimantan, lalu mentransformasikannya ke dalam novel remaja ini. Saya yang sejak lahir berada di Tanjungpinang pun, rasanya belum sanggup menceritakan kota kelahiran saya dalam ujud seindah dan sedetil ini. Dan buat saya, adalah sebuah pengalaman membaca yang mengayakan dan menyenangkan saat kita disuguhkan dengan deskripsi tempat yang tidak pernah kita kunjungi.

Tidak hanya latar tempat, tetapi juga latar sosial masyarakat turut mewarnai novel ini. Dan hebatnya lagi, latar sosial tersebut bukan hanya menjadi tempelan, tetapi menjadi bagian penting yang melatarbelakangi petualangan dan konflik yang dialami Mukhlis.

Tentang bagaimana seorang Mukhlis yang polos dan selama ini tidak pernah keluar dari kampungnya, lalu  bertemu dengan suasana kota yang pada awalnya memberi hal-hal baru yang menyenangkan dan mengasyikkan, namun kemudian harus berhadapan dengan “keganasan” kota yang sesungguhnya.

Tentang praktik gelap mempekerjakan anak-anak sebagai pengemis, juga tentang kontradiksi antara kultur perkotaan dengan di kampung yang terletak di pulau terpencil meskipun sama-sama bagian dari Kalimantan.

Terkait praktik mempekerjakan anak-anak sebagai pengemis, dilansir oleh beritakaltim.co, hal ini termasuk masalah sosial klasik kota-kota di Kaltim yang butuh atensi serius, khususnya dalam mengungkap “koordinator” praktik gelap ini yang selalu bersembunyi dibalik layar dan seolah kebal hukum.

anak jalanan dan pengemis di Kaltim

Hal ini turut memberi gambaran akan betapa beragamnya kultur  dan masalah sosial masyarakat yang ada di negeri ini, bahkan dalam satu wilayah administrasi pemerintahan yang sama pun, satu provinsi misalnya, terdapat kultur dan persoalan yang berbeda. Masalah sosial lokal yang dibidik oleh penulis kian memperkaya novel ini.

Masalah pendidikan pun turut disinggung penulis, antara lain tentang kondisi pendidikan anak-anak di pulau terpencil yang rata-rata hanya bersekolah sampai SD saja, dan saat musim melaut datang, anak-anak sering membolos karena diajak orang tuanya melaut.

 

Ia baru paham. Dikiranya setelah lulus SD nanti sekolahnya sudah selesai, ternyata perjalanan masih panjang. Sementara di kampungnya, kebanyakan orang langsung bekerja segera setelah lulus SD. (hal. 128).

Alasan tersering murid yang tidak masuk kelas adalah karena diajak orang tuanya melaut. Makin tinggi kelasnya, makin tinggi tingkat ketidakhadirannya. (hal. 27).

 

Saya jadi teringat dengan novel-novel karya Khaled Hosseini, yang konflik-konfliknya selalu dilatarbelakangi oleh kondisi sosial masyarakatnya dan dituturkan dengan indah sekaligus pedih. Semoga saja, Dian Dahlia kelak bisa menghasilkan novel-novel dengan ciri seperti ini lagi. Ciri yang mulai jarang saya temui dalam novel-novel lokal seiring maraknya novel-novel di platform digital yang lebih didominasi latar universal dan masyarakat urban.

 

“Pallawa Lipu berdiri tegar laksana menghadang gelombang. Rumah-rumah diatasnya ditopang oleh tiang ulin yang tertancap di dasar perairan. Apabila laut surut, tampaklah sebagian tiang itu telah dihiasi oleh kerang yang menempel berjajar-jajar.” (hal. 6)

 

“Entah mengapa ia senang melihat mobil-mobil itu. Pemandangan yang berbeda dengan Pallawa Lipu. Di sana ia hanya melihat ketinting yang parkir di garasi air setiap rumah. Bentuk ketinting seragam. Sedangkan mobil banyak ragamnya....” (hal. 47).

 

perahu ketinting

 

Kedua, penceritaan yang sederhana, alami dan mengalir

Awal kisah ini dituturkan dengan santai dan fokus pada kisah Mukhlis, keluarganya dan kehidupannya di kampung. Pembaca seakan diajak untuk mengenal sosok Mukhlis dan latar kehidupannya terlebih dahulu.

Ini berbeda dengan teknik pivotal moment dan protagonist goal yang digunakan Nicco Machi dalam novelnya Perempuan Misterius yang telah saya ulas sebelumnya, dimana Nicco langsung membuka cerita dengan momen penting yang dialami tokohnya dan menekankan tujuan utama sang tokoh. Tujuan yang kemudian mengantarkan sang tokoh pada kejadian-kejadian tak terduga dalam hidupnya. (resensinya bisa dibaca di sini).

Meskipun dalam novel ini, disebutkan bahwa Mukhlis sangat ingin ke kota dan merasa kesal akan janji ibunya yang akan mengajak ke kota namun tak kunjung terwujud, tujuan utama ini tidak terasa menonjol, terkaburkan oleh dominasi akan deskripsi latar dan kisah kehidupan di kampung Mukhlis.

Untungnya, ritme cerita mulai meningkat sejak peristiwa Mukhlis menyelinap sebagai penumpang gelap lalu tertinggal di dermaga. Dari titik ini, plot bernuansa ketegangan mulai dibangun penulis dan menyeret pembaca untuk terus mengikuti nasib Mukhlis selanjutnya.

Peristiwa demi peristiwa dituturkan penulis dengan gaya penceritaan yang mengalir, tidak terburu-buru, juga natural sehingga mudah dipahami. Berbeda dengan awal-awal cerita yang didominasi oleh narasi, ketika plot mulai bergerak menuju konflik, cerita lebih banyak digerakkan oleh dialog.

Saya pikir ini juga menjadi kekuatan cerita ini, apalagi karena segmennya adalah pembaca remaja, sehingga gaya bercerita yang proporsional antara narasi dan dialog, penuturan yang lancar ditopang oleh tema yang beraroma petualangan, menjadi cara jitu untuk menarik minat remaja.

 

Ketiga, kekuatan karakter

Karakter utama novel ini adalah tiga remaja : Mukhlis sebagai karakter utama, dan dua karakter pembantu utama : Alif dan Rifki. Mukhlis digambarkan sebagai remaja yang selalu penuh rasa ingin tahu, nekad tetapi pemberani dan jujur, Alif sebagai remaja yang dijadikan pengemis oleh pamannya sendiri dan kerap mengalami perlakuan tidak menyenangkan, dan Rifki, si anak kota yang hidup berkecukupan dan punya jiwa setia kawan serta suka menolong.

Hal-hal lucu yang dipicu oleh perbedaan latar belakang juga membumbui persahabatan mereka, seperti saat Rifki menerangkan tentang kartu-kartu ATM, SIM, KIA kepada Mukhlis yang tidak tahu tentang itu, saat Mukhlis mati-matian menjaga sebutir permen pemberian Nasir temannya padahal di rumah Rifki permen itu sangat banyak, dan sebagainya.

Ketiga karakter ini digambarkan dengan hidup, sifat dan kondisi psikisnya relevan dengan latar kehidupan masing-masing, serta konsisten sampai akhir cerita. Memang, beberapa dialog terasa dewasa dan baku untuk diucapkan tokoh cerita seusia itu, tetapi tidak terlalu mengganggu.

 

Inilah tiga kekuatan novel ini yang menurut saya, membuatnya layak menjadi pemenang ketiga dalam kompetisi novel remaja di Indiva dua tahun lalu. Perpaduan antara karakter khas remaja dan jalan cerita yang sarat petualangan, menjadi kombinasi yang cerdas dalam mengantarkan amanat novel ini tentang arti persahabatan, kejujuran, keberanian dan ketangguhan.

Bicara tentang kekurangan, saya pikir hanya dalam masalah efisiensi cerita saja. Beberapa bagian terasa agak melebar, diceritakan dengan santai dan berpanjang-panjang sehingga ada kemungkinan melonggarkan ikatan pembaca dengan novel ini untuk terus membacanya sampai tamat.

Terlepas dari hal tersebut, Petualangan Tiga Hari adalah sebuah novel yang sangat layak dibaca oleh pembaca remaja. Ditulis dengan indah dan natural, memperkaya wawasan akan lokalitas serta sarat makna.

 

Judul                : Petualangan Tiga Hari

Penulis             : Dian Dahlia

Penerbit          : Indiva Media Kreasi

Tahun              : 2020

Tebal               : 256 hal

Harga              : Rp. 60.000,-

 

 

Sumber gambar :

dokumentasi pribadi

beritakaltim.co

wartatanbu.co.id

 

 

No comments