Saat menyebut momen terbaik, asumsi kita biasanya
akan tertuju pada sesuatu yang menyenangkan, membahagiakan, pencapaian
prestasi, terpenuhinya cita-cita dan impian, dan sebagainya. Namun,
sesungguhnya momen terbaik tidak melulu tentang sesuatu yang mendatangkan
kegembiraan. Hal yang sebaliknya pun bisa saja menjadi momen terbaik dalam
kehidupan kita, sepanjang kita ikhlas menerimanya dan dibukakan mata hati
olehNya tentang hikmah dibalik momen tersebut.
Singkat cerita, momen terbaik yang saya alami pada
Ramadan tahun ini, bukanlah sesuatu yang membuat hati saya berbunga-bunga,
sebaliknya, momen ini adalah momen yang meruntuhkan air mata kekecewaan saya.
Tidak tanggung-tanggung, saya butuh waktu seminggu untuk move on dari momen
tersebut. Dalam kurun waktu seminggu itu, saya menjelma
supersensitif dan superemosional. Setiap kali ingatan saya tertuju pada momen
itu, setiap kali pula air mata saya menetes. Mungkin, ini dipengaruhi kondisi
yang lagi PMS juga ketika itu. Seandainya dalam kondisi normal, rasanya saya masih bisa
mengendalikan diri.
Lantas, momen apa itu....yang sudah membuat saya
menjadi begitu kecewa? Dan dimana letak “terbaik”nya?
Hari itu, 8 Mei 2019, tepat di hari ketiga Ramadan,
pukul 10 pagi, saya ditelpon staf Badan Kepegawaian dan Pengembangan SDM, yang kemudian meminta saya
hadir pada pukul 13 siang karena ada mutasi pejabat, dan saya termasuk salah
satunya. Waktu itu, saya langsung merasa galau. Entah ini firasat atau apa,
yang jelas, saya tidak merasa senang dengan panggilan mendadak ini.
Momen pelantikan itu dimulai sekitar pukul 14. Dan ketika
nama saya dipanggil ke depan, diikuti nama jabatan saya yang baru, saya enggak tahu gimana
harus melukiskan perasaan saya ketika itu. Tidak saya temukan rasa senang
didalamnya. Yang ada hanya rasa kecewa, sedih, bahkan tidak terima.
Ya. Dinas baru yang bakal saya tempati, adalah dinas
yang telanjur dianggap dinas buangan, punya pimpinan yang bla bla bla, para
pegawainya yang bla bla bla, dan seterusnya. Saya enggak akan memerinci lebih
banyak. Ini bulan Ramadan, sayang rasanya jika lapar haus saya hari ini harus
tercemari dengan menuliskan hal-hal yang kurang baik tentang orang
lain.
Mungkin ada yang langsung berkomentar, bukankah
sebagai pegawai, harus siap ditempatkan dimana saja? Itu benar adanya. Sayangnya,
pegawai juga manusia. Yang punya hati dan perasaan. Bukan robot atau mesin yang
selalu siap menjalankan program tanpa protes, tanpa baper, dan
sebagainya.
Apalagi, jika kalian mengerti tentang
psikologi kepribadian. Untuk tipe plegmatis seperti saya, kenyamanan adalah hal
yang utama. Termasuk kenyamanan dalam lingkungan pekerjaan. Terhadap hal-hal
yang bertentangan dengan rasa nyaman, seorang plegmatis lebih suka
menghindar atau tidak terlalu melibatkan diri dengan lingkungan, karena dia
malas berkonflik dengan orang lain.
Hari pertama saya datang ke kantor yang baru,
persepsi diluar sana tentang kantor ini, ternyata memang tidak meleset. Setidaknya
dalam sekian menit penilaian saya. Saya tidak mau berkomentar tentang personal,
cukuplah saya gambarkan sedikit tentang suasana kantornya yang .....hehe, terlalu
jadoel. Dengan eksterior-interior, jendela-jendela model dorong dan pintu-pintu
kayu berpalang peninggalan tahun 70an, sebagian meubilier yang juga masih
dari era yang sama, ditambah pula minus perawatan sehingga saat pintu didorong
mengeluarkan bunyi derit, ada pintu yang kotorannya sudah lekat karena tidak
pernah dibersihkan, MCK yang tidak layak untuk standar sebuah kantor dinas, dan
sebagainya. (mohon maaf, saya tidak bisa menyertakan gambar kantornya, karena
bagaimanapun, inilah “rumah” pengabdian saya sekarang).
“Maaf ya bu, disini ibu nggak punya ruang sendiri,
tapi gabung sama staf yang lain,” ujar seorang Kepala Seksi saat mengantarkan
saya ke ruangan. Saya hanya tersenyum hambar. Bayangan untuk
setidaknya memiliki ruang sendiri – yang memang menjadi standar untuk Kepala
Bidang – pupus. Bidang saya ini memang merupakan pecahan dari bidang yang sudah
ada, sementara ruang yang ada tidak mencukupi, maka jadilah bidang ini hanya
mendapat satu ruangan, bercampur dengan Kasi dan staf.
Ruangan jatah saya pun tidak terlalu besar. Luasnya kira-kira
4 x 6 meter, dan didalamnya terdapat 6 orang termasuk saya. Dan, “penyambutan”
selanjutnya terhadap saya pun bukanlah sesuatu yang menghibur, tetapi sangatlah lugas.
Seperti ini kira-kira : “Kenapa sih harus orang baru yang dipindahkan kesini?
Kalau memang dipindahkan karena ada yang dipromosikan ke jabatan situ, harusnya
yang dipromosiin dong yang dipindah kesini. Kalau yang pindah dari posisi
eselonering yang sama, apalagi dari tempat yang nyaman, itu mah pembunuhan
karakter! Bla bla bla.....”
Untungnya, setelah datang tanpa ekspektasi berlebih akan
sesuatu yang menggembirakan, saya sudah lumayan siap menghadapi hal yang
mungkin lebih buruk. Jadi, terhadap penyambutan tersebut, saya tidak terlalu
merasa sedih atau tersinggung. Dalam hati saya berkata pada diri sendiri, “Welcome to the new
reality and just face it!”.
Seminggu berlalu, dan segala cerita orang diluar
sana tentang kantor ini memang banyak benarnya. Bahkan cerita yang mengalir
dari pegawai yang sudah puluhan tahun mengabdi di sini, justru lebih sadis
lagi, hehe.
Namun, pada titik inilah, saya merasakan ada sesuatu
yang “berproses” didalam diri saya. Berawal dari emosi atas kekecewaan, (saya
pernah membaca sebuah buku psikologi, bahwa jika kita mengalami sesuatu yang meledakkan
amarah atau kesedihan, ekspresikan saja, akui kalau kita kecewa, jika kita
langsung memasang tameng bahwa “kita kuat”, “kita mampu”, dan seterusnya,
mungkin kita akan terlihat tegar di luar, namun bisa jadi sangat rapuh didalam,
apalagi jika kita terlalu yakin dengan kekuatan sendiri hingga merasa tak perlu
meminta pertolonganNya, di titik itu, kita justru menjelma seseorang yang
arogan dimataNya. Wallahu’alam), lalu saya adukan semua rasa yang saya alami
kepadaNya, saya mohon ampun, saya akui dihadapanNya bahwa saya terlalu lemah,
sampai-sampai menghadapi yang seperti ini pun sudah down, dan diakhir doa,
saya mohon pertolonganNya agar bisa kuat dan ikhlas menjalani realita yang memang
harus saya jalani.
Saya minta kepadaNya agar hati ini ikhlas melepaskan semua
kenyamanan dan hal-hal yang dulu membuat saya terlihat “mentereng”. (di kantor yang lama, saya mengenakan blazer, punya klien kalangan pengusaha
termasuk pengusaha asing, sering turun lapangan ke resto dan hotel berbintang,
jadi kesannya memang lebih “elit”, hehe).
Memasuki minggu kedua, saya mulai merasa lebih
tenang. Hari-hari di kantor yang baru ini lebih banyak saya isi dengan sholat
sunnah dan mengaji, dan perlahan-lahan, satu demi satu hikmah dan kesadaran
itupun mulai merasuki benak saya.
Bisa jadi, inilah cara Allah “memanggil” saya untuk lebih
mendekat kepadaNya (saya akui, tuntutan pekerjaan yang dulu membuat saya lebih
duniawi-oriented ketimbang ukhrawi-oriented, kadang pekerjaan dibawa ke rumah, banyak bercampur baur dengan lawan jenis, dan sebagainya), teguran Allah atas kesalahan saya
di masa lalu, juga ujianNya apakah saya mampu menghadapi ini dengan sabar dan
syukur atau sebaliknya.
Saya akui, pada awalnya saya sangat kecewa dan tidak
terima, namun perlahan-lahan, saya belajar ikhlas dan meyakini bahwa takdirNya
untuk saya pastilah pilihan yang terbaik dariNya. Yang perlu saya lakukan kini
adalah introspeksi, membangun keikhlasan itu hingga ke level paripurna dan
tetap memelihara prasangka baik kepadaNya.
Dan hari ini, saat mendengar kata sambutan AHY di
momen pemakaman ibunya, Ani Yudhoyono, kutipan beliau dari ucapan ibunya saat
divonis menderita kanker sungguh membuat saya tertohok : “Saya telah
ditakdirkan menjadi anak seorang pejuang, istri seorang jendral hingga menjadi
ibu negara, sungguh saya tidak berhak mengeluh atas sakit yang saya derita,
setelah Dia memberi saya begitu banyak kemuliaan dan berkah hidup.”
Astagfirullahal adzim.
Seharusnya saya juga demikian. Tidak ada keluhan
yang pantas saya utarakan atas teguran kecil ini setelah Yang Maha Pengasih
memberi saya begitu banyak dan sangat banyak kenikmatan hidup.
Sungguh, buat saya, inilah momen terbaik saya pada Ramadan
tahun ini. Momen ketika teguran kecil dariNya telah menggiring saya untuk lebih
mendekat kepadaNya dan mata hati saya menjadi lebih terbuka akan makna syukur
dan sabar.
Sungguh, kesulitan yang menginsyafkan itu justru
lebih mulia daripada kenikmatan yang melalaikan.
Dan sungguh, saya bersyukur karena Allah masih
sayang sama saya, mau menegur saya saat alpa, membimbing saya untuk belajar
sabar, dan tidak berlama-lama membiarkan saya terlena dalam kesenangan semu.
semangat untuk pengabdian ditempat barunya mbak :)))
ReplyDeleteThanx for sharing, Mbak.. Masya Allah, mencerahkan..
ReplyDeleteBarangkali dengan adanya mba di tempat baru justru jdi berkah buat bagian tersebut. Mereka dah lama nunggu agen perubahan, dan bisa jadi itu mba ^_^
ReplyDeleteI can relate to this too.. Tapi bedanya aku belum move on, sama juga mengalami hal yang gak enak di lingkungan kerja
ReplyDelete