“Papa lagi istirahat. Kalau lagi istirahat, biasanya beliau
nggak mau diganggu.”
“Oh ya? Tapi, kamu ‘kan belum ketemu papamu? Darimana kamu
tahu kalau dia lagi istirahat?”
Astaga, cowok ini .......kenapa ngotot bener sih?
“Biasanya jam segini papaku lagi nonton teve. Atau lagi
makan malam.” Jawabku. Berharap cowok ini akhirnya akan menyerah. Bukannya apa-apa, kalau nanti papa bertanya siapa cowok ini,
bagaimana aku harus menjelaskannya? Cowok yang beberapa kali kutemui secara
kebetulan? Dan setiap pertemuan kami terjadi dalam rentang waktu dua tahun? Hey....apa
itu sebuah cerita yang layak dipercaya?
“Oke deh kalau begitu. Aku pulang dulu ya. Sampaikan saja salamku
pada orang tuamu. Tapi....malam Minggu nanti, aku boleh datang ya?”
Apa? Aku tercengang. Meski firasatku mengatakan bahwa pada akhirnya dia akan
mengajukan permintaan itu, tetap saja aku merasa sedikit kaget.
Aku menjawab pelan.” Boleh aja sih. Tapi, nggak ada yang marah apa?”
“Memangnya, siapa yang marah?”
“Pacar kamu mungkin?” Aku bertanya tanpa menatap wajahnya.
“Aku nggak punya pacar. Berarti boleh ya aku datang?”
Aku mendongak. Nyaris tak percaya melihat ekspresinya
yang begitu penuh percaya diri. “Kamu nggak nanya aku punya pacar apa enggak?”
Dia menggeleng. “Nggak. Kamu nggak punya pacar. Aku yakin
itu. Aku pulang dulu ya. Sampai jumpa malam Minggu nanti.”
Dia tersenyum dan membalikkan tubuhnya. Meninggalkanku yang
masih terbengong di teras. Darimana dia tahu kalau aku nggak punya pacar? Dan bagaimana
dia bisa seyakin itu?
****
Malam Minggu akhirnya tiba. Dan sejak sore, aku sudah gelisah.
Inilah pertama kalinya seorang pria akan datang padaku di malam Minggu. Seumur hidupku,
tidak pernah kurasakan yang namanya apel di malam Minggu. Aku tidak pernah punya
pacar. Dan belum pernah ada seorang cowok pun yang berani menembakku untuk
menjadi pacarnya.
Arlojiku menunjukkan pukul delapan tiga puluh saat dia
datang. Aku membuka pintu dan mempersilakannya masuk. Seperti kemarin, dia memang masih terlihat penuh percaya diri. Tetapi malam
ini, aku melihat sekilas sinar muram di kedua matanya.
“May, aku mau ngomong sesuatu.”
“Apa?” Aku bertanya dengan debaran halus mulai merayapi dadaku.
“Saat pertama kali kita bertemu, aku yakin kalau kita masih akan
bertemu kembali. Dan keyakinanku ternyata terbukti. Pada pertemuan kita
yang kedua kalinya, keyakinanku bertambah kuat. Bahwa Tuhan mempertemukan kita
bukan sekadar kebetulan atau tanpa alasan. Itu sebabnya, kemarin aku memberanikan
diri untuk mengajakmu bertemu keluargaku. Setelah aku mengantarmu pulang, aku
minta pendapat mereka.....tentang kamu.”
“Lalu?” Aku bertanya pelan.
“Mereka menyerahkan semua keputusan kepadaku. Mereka tidak
berkeberatan jika aku bermaksud.....menjalin hubungan yang serius denganmu
meski kita belum benar-benar saling kenal. Karena bagi mereka, keseriusan hubungan
itu hanya ada dalam ikatan pernikahan.”
“Jadi.....maksud kamu?” Aku terperangah.
“Aku bermaksud melamarmu. Tetapi, ceritaku belum selesai, May. Sebelum datang kemari, aku
baru saja mendapat kabar kalau pengajuan beasiswa pasca sarjanaku ke London
University diterima. Dan aku sudah berjanji pada papi untuk mempersembahkan gelar
magisterku padanya. Belakangan, kesehatan papi terus memburuk. Aku khawatir sesuatu
yang buruk terjadi padanya sebelum aku berhasil menunaikan janjiku. Jadi, bersediakah
kamu melakukan sesuatu untukku, May?”
Wajahku terasa memanas. “Melakukan apa?”
“Setelah aku pulang nanti, tolong pertimbangkan maksud baikku ini. Jika kamu tidak bersedia, cepatlah kabari aku. Tetapi jika kamu bersedia,
maukah kamu menungguku dua tahun lagi sampai kuliahku selesai?”
Aku memandangnya dengan mulut ternganga. “Kenapa kamu begitu
yakin?”
“Yakin apa?”
“Yakin untuk melamarku?”
“Aku sudah cerita padamu. Dan aku nggak akan mengulanginya
lagi. Sekarang, semua keputusan ada di tanganmu.”
Kalimatnya masih terus terngiang dalam benakku meski dia
telah berpamitan dua jam lalu.
Haruskah aku mempertimbangkan lamarannya? Atau langsung kuputuskan
saja bahwa aku tidak bersedia? Toh aku belum mengenalnya lebih dalam? Bagaimana
kalau ternyata dia seorang penipu atau.....
Aku membuang jauh-jauh semua retorika pertanyaan yang kian lama
terasa semakin membingungkan. Kuputuskan untuk melakukan cara terbaik. Aku segera
berwudhu. Siap menunaikan sholat istikharah dan memohon pilihan terbaik itu
hanya kepadaNya.
*******
Dua tahun kemudian,
Suasana di pemakaman ini terasa begitu pilu. Hanya
isak tangis yang terdengar saat jenazah pria itu diturunkan ke liang lahat dan semua prosesi pemakaman selesai dijalani.
Satu demi satu anggota keluarga dan para pelayat
meninggalkan gundukan tanah merah. Namun aku masih bergeming. Menatap
gundukan itu dengan mata berkabut hingga sebuah tepukan halus mendarat dibahuku.
“Kamu masih ingin di
sini?” Suara itu berbisik lirih ditelingaku.
Aku mengangguk.
“Kenapa?”
“Aku belum sempat berterimakasih padanya.”
“Terima kasih? Untuk apa?”
Aku memutar tubuhku. Lelaki didepanku menatapku dengan mata
yang masih berkaca-kaca.
“Untuk semua yang dia lakukan untukmu. Juga untuk restunya
pada kita.”
Lelaki ini menatapku sungguh-sungguh. “Terima kasih juga untuk
penantianmu, May."
Kami lalu berjalan bersisian. Semilir angin senja mengiringi
langkah kami. Mengiringi seikat janji yang usai dilunasi. Janji pria disisiku ini untuk
mempersembahkan kelulusannya pada sang papi sebelum pria yang sangat disayanginya
itu pergi. Juga janjiku untuk setia menantinya meski dua tahun harus kami lewati. Ya.
Tuhan telah mengirimkan namanya dalam doa yang kupanjatkan dua tahun lalu. Dan aku
yakin, pilihanNya pastilah yang terbaik. Kami resmi mengikat janji suci
itu tadi pagi, hanya selang beberapa menit sebelum sang papi dipanggil pulang
keharibaanNya.
Kupejamkan mataku saat dia kembali berbisik seraya
menggenggam tanganku, “May, entah cerita apa yang akan menanti kita dua tahun lagi
ya. Tetapi, apapun itu, aku siap menghadapinya, selama kita tetap bersama.”
Aku mengangguk. Membalas genggamannya lebih erat. Dia, H. Lelaki yang kini menjadi belahan jiwaku.
"Tulisan ini diikutkan dalam Giveaway Kisah Cinta Bunda 3F - #LoveStory"
Akhirnya H bisa bersatu dengan May. Meski harus menghadapi kenyataann jika papanya H harus meninggal.. :3
ReplyDeletesepertinya dalam hubungan Maya dan H ini waktu 2 tahun itu istimewa banget yah Mbak :D
ReplyDeleteserasa baca hati memilih deh mba :)
ReplyDeleteEh... kenapa aku malah ngarep endingnya si H yang meninggal ya? Xixixixi..lebih ngetwist dan bikin shock kayaknya kalo itu terjadi
ReplyDeleteso sweet....love story selalu bikin kenangan melayang saat masih muda...hihihi
ReplyDeleteOoohh so sweet Mbak.. walau harus ada warna gelap di bagian akhirnya..
ReplyDeleteMakasih yaa udah ikutan GA saya yaa
ReplyDeleteini fiksi atau kisah nyata mbak?
ReplyDeletewah kalau kisah nyata ... so sweet BGT deh
hihihi
baru pertama kali ngerasain malam minggu terus dilamar
ReplyDeletewih hebat
adegan nerima cintanya kok g da y?