Sinopsis :
Ia menolehkan kepala ke
arah mereka yang duduk diam. Menjelaskan secara runut peristiwa
penyerangan Israel yang selalu dilakukan tiba-tiba, menyebabkan sebagian
warga Palestina eksodus atau tewas.
Rinai tak begitu memperhatikan struktur kalimat. Mengamati kedip mata berikut perubahan raut muka, jauh lebih menegangkan, memberi informasi. Wajah Montaser tetap ramah, penjelasannya tenang. Rinai mengumpulkan warna-warni yang dikenalnya untuk menjelaskan retina Montaser. Hitam jelaga, coklat tanah, karamel, biru Laut Mediterrania. Terkesiap tiba-tiba. Apa ia melihat sekilas percik api di matanya?
Aaah, lelaki pemilik sepasang mata bersayap bagai Toyor al Jannah itu membuat dunia ini seakan berhenti berputar. Matahari mengalami musim salju, angin berayun berirama. Rinai menggigit bibir dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Superego berusaha memandu agar tak satupun tindakan bodoh dilakukan. Pemuda Gaza ini memberinya rasa menggigil, serupa ia terpaksa melaju kencang di atas sepeda motor, menembus derasnya hujan.
Sebuah novel menggugah jiwa tentang bagaimana perjalanan sebuah tim relawan menembus Gaza Palestina. Tentang intrik-intrik di internal tim relawan, rahasia anak-anak dan warga Gaza, juga tentang bunga-bunga cinta yang tumbuh mekar. Cinta yang tak harus memiliki, tapi terus harum mewangi.
Endorsement :
Novel di tangan Sinta Yudisia tidak sekadar rekaan cerita, tetapi juga alat negosiasi efektif bagi peradaban tandingan atas peradaban yang ada. Melalui konflik kontekstual Palestina, kali ini Sinta mengahdirkan upaya negosiasinya dalam setiap lapis struktur cerita….Selamat dan salut atas energi dan upaya yang terus menyala.
(Irfan Hidayatullahi – Dosen Sastra Unpad, penulis Sang Pemusar Gelombang)
Kami sangat merindukanmu dan terus mengingat Anda; mengingatkan Anda untuk mengunjungi kami di Gaza Palestina.
Selamat atas upaya dalam penyusunan buku ini.
Kami akan bekerja sama dengan Anda, insya Allah, saya akan mengirim link untuk buku ini ke Menteri dan budaya Palestina, Muhammad Madhoun.
Dan kita akan tetap berhubungan.
(Mrs. Ittimad et Tharshawi – Ministry of Women Affairs, Gaza - Palestina)
“RINAI bukan hanya menjadi bukti kepiawaian Sinta meramu- leburkan solidaritas global ke dalam konflik ideologi dan bersenyawa, tapi juga menawarkan sudut pandang yang seksi : metamorfosa seseorang ke arah kebaikan – menemukan jati diri, memahami nasionalisme, dan spiritualitas sosial—justru tidak berproses dalam kepompong yang bernama Tanah Air, namun terjadi di tanah para anbiya sana : Palestina!”
(Benny Arnas – Sastrawan Muda, penulis Jatuh dari Cinta)
Novel di tangan Sinta Yudisia tidak sekadar rekaan cerita, tetapi juga alat negosiasi efektif bagi peradaban tandingan atas peradaban yang ada. Melalui konflik kontekstual Palestina, kali ini Sinta mengahdirkan upaya negosiasinya dalam setiap lapis struktur cerita….Selamat dan salut atas energi dan upaya yang terus menyala.
(Irfan Hidayatullahi – Dosen Sastra Unpad, penulis Sang Pemusar Gelombang)
Kami sangat merindukanmu dan terus mengingat Anda; mengingatkan Anda untuk mengunjungi kami di Gaza Palestina.
Selamat atas upaya dalam penyusunan buku ini.
Kami akan bekerja sama dengan Anda, insya Allah, saya akan mengirim link untuk buku ini ke Menteri dan budaya Palestina, Muhammad Madhoun.
Dan kita akan tetap berhubungan.
(Mrs. Ittimad et Tharshawi – Ministry of Women Affairs, Gaza - Palestina)
“RINAI bukan hanya menjadi bukti kepiawaian Sinta meramu- leburkan solidaritas global ke dalam konflik ideologi dan bersenyawa, tapi juga menawarkan sudut pandang yang seksi : metamorfosa seseorang ke arah kebaikan – menemukan jati diri, memahami nasionalisme, dan spiritualitas sosial—justru tidak berproses dalam kepompong yang bernama Tanah Air, namun terjadi di tanah para anbiya sana : Palestina!”
(Benny Arnas – Sastrawan Muda, penulis Jatuh dari Cinta)
================================================================
Akhirnya! Selesai juga perjalanan saya menikmati novel hebat ini, setelah sempat dua kali terputus pada perjalanan di bab-bab awal.
Ya. Saya harus jujur bilang, kalau bagian awal novel ini, untuk ukuran pembaca awam macam saya, terasa sangat "berat", berjejalan dengan ilmu psikologi yang tak saya pahami, dan membacanya, saya seakan berada di mata kuliah psikologi dan menyaksikan dosen secantik Nora efendi tengah berbicara lantang di depan para mahasiswa.
Namun, kali ketiga membacanya, saya tak ingin lagi menyerah. Saya putuskan untuk membaca novel ini sampai selesai, karena saya yakin, kalau ini lebih dari sekadar novel biasa. Dan kenikmatan membersamai novel ini baru saya rasakan saat cerita bergerak ke Palestina, dengan tim HRHW yang bertugas melakukan riset dan pendampingan psikologis terhadap anak-anak Palestina.
Jauh sebelum novel ini terbit, saya sudah pernah membaca catatan penulisnya saat ikut serta dalam perjalanan tim ke Gaza, dan saya akui, saat membaca perjalanan Rinai, tokoh sentral novel ini, saya seperti sedang menyaksikan perjalanan yang dilakukan penulis dan diajak menelusuri pengalaman beliau selama berada di Gaza.
Kali ini, saya tak ingin mengurai kritik. Saya hanya ingin menyampaikan kesan batin saya saat membersamainya. Bukankah itu juga layak dianggap review - setidaknya review versi pribadi yang tidak mengacu standar media mana pun :) *ngeles*
Saat membaca bagian kisah tentang keteguhan anak-anak Palestina, bagaimana mereka tetap memandang hidup dengan penuh optimis dan keberanian meski fisik mereka telah cacat akibat rudal Israel, keluarga mereka pun tak lagi sempurna, dan setiap saat mereka harus siap menghadapi ancaman maut, sesuatu mengalir deras dalam lubuk hati saya - percampuran antara keharuan, tertohok, dan rasa kagum, sekaligus merasa kecil, apa yang saya dan anak-anak negeri ini miliki, sungguh tak layak disandingkan dengan bocah-bocah Gaza ini.
Dan saat terus membalik lembar-lembarnya, saya juga beberapa kali dibuat tercengang, akan fakta bahwa Palestina adalah negara dengan tingkat depresi dan percobaan bunuh diri yang rendah, jika dibandingkan dengan negara-negara maju, sebut saja Amerika, di mana percobaan bunuh diri terjadi hampir setiap jam.
Sungguh tak terbayang, negeri sejuta konflik seperti Palestina, memiliki warga dengan tingkat stabilitas mental yang begitu baik. Dan apa yang menjadi rahasia disebalik keteguhan itu, sekali lagi membuat saya tertohok. Lalu tak sadar, hati melafal asmaNya berulang kali.
Warga Palestina mengobati diri mereka sendiri dengan menegakkan asma Allah. Mereka meramaikan mesjid, membaca, menghapalkan dan mengamalkan ajaran Al-Quran, dan betapa methode ini jauh lebih manjur dari methode psikologi modern manapun. Secara halus, penulis menyampaikan tentang kelebihan ilmu Al-Quran dibandingkan dengan teori-teori yang dikembangkan oleh ahli psikologi modern. Kelebihan teori analisa mimpi Ibnu Khaldun dibandingkan teori Sigmund Freud, juga benturan antara kejujuran, hati nurani, dengan manipulasi fakta dan kepentingan.
Penuturan mbak Sinta yang cerdas, rapi, meski tidak meledak-ledak dan sarat dengan nilai-nilai pencerahan dan informasi, juga bagaimana mbak Sinta memotret dan menyajikan kisah konflik Gaza dari sudut pandang berdasar fakta, berhasil membuat novel ini tampil brilian, inspiratif dan memukau. Berbekal pengalaman nyata penulis, dipadukan dengan deskripsi yang indah dan detail tentang latar tempat hingga setiap tempat yang disajikan terasa nyata, eksplorasi ilmu psikologi yang juga menjadi bidang ilmu penulis, penuturan nilai-nilai Islami, kultur lokalitas masyarakat Jawa serta tak ketinggalan unsur romantismenya, semua harmonisasi ini, tak berlebihan rasanya jika saya katakan, ini adalah salah satu novel lokal terbaik yang pernah saya baca!
Empat jempol saya baru cukup, untuk mengatakan kalau novel ini highly recommended :)
Judul : Rinai
Penulis : Sinta Yudisia
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Tebal : 400 hal
Tahun : 2012
Jarang ada novel-novel seperti ini, memadukan 3 unsur sekaligus: keilmuan, ruhiyah dan hiburan. Salut sekali kepada Mbak Sinta Yudisia.
ReplyDeletebener, salut banget :)
ReplyDeletejadi pengen baca.. :) tapi baca ini harus betul2 menyempatkan waktu ya.. agak berat sepertinya.. :)
ReplyDeleteRiski : iya bener, kalo sambil lalu bisa2 baru bab awal udah disimpen lagi di rak, hehe
ReplyDeleteKayaknya kalo aku yang baca, bakal lama untuk menamatkannya, soalnya pembaca lambat, ditambah pula dengan tema yang berat :D
ReplyDeleteMbak Eky : sy sempet nyerah 2x baca novel ini, hehe, tapi ketiga kalinya rasanya kebangetan kalo masih nyerah, eh ternyata emang wow novelnya :)
ReplyDelete