Support Me on SociaBuzz

Support Me on SociaBuzz
Dukung Blog Ini

IKHLAS [FLASH FICTION]

Entah. Sejak kapan tangisan serupa tangis bayi itu menjelma harmoni indah yang tak pernah alpa mengisi denyut hari. Juga bau pesing itu, entah kapan persisnya menjadi serbak mewangi bak kesturi. Aku tak ingat lagi. Kerentaan telah kian lisut mengikis memori. Satu-satunya yang kutahu adalah aku yang tetap menjalani segala hingga entah telah berapa ribu purnama berganti.


“Ini kakek? Tampan ya.” Wanita muda yang juga tak kuingat lagi wartawati keberapa yang menjejakkan kakinya di pondok ini, mengomentari gambarku yang terpajang dibalik pigura jati. Ah. Ia tak berbohong. Aku memang tampak gagah sekali. Setelan jas putih dan dasi warna gelap, melekat kokoh ditubuhku yang tinggi-tegap. Dan dia....dia yang berdiri disisiku berselubung gaun putih tulang, menguarkan ekspresi aneh, tak peduli, menyeringai bodoh, seperti seringainya bocah hilang.

“Kakek, tidak pernah melihatnya, atau bertemu dengannya sebelumnya?” Kudengar kehati-hatian berbisik di ucap katanya. Wanita ini, tampak benar berusaha menahan bibirnya dari melukai lawan bicara. Padahal, aku tak mampu lagi terluka. Entah sejak kapan luka yang pernah ada itu tak mampu lagi meneteskan darah atau sekadar air mata.

 “Tidak pernah, sampai aku bersanding dengannya. Hanya selembar foto yang dibawakan keluarganya sebulan sebelumnya. Di foto ia kelihatan cantik. Cantik sekali. Siapa menyangka....” kalimatku tertelan sendiri, terisap air ludah yang langsung kering. Sebait episode pahit itu hanya mampu berkelindan dibenakku yang telah lama membebaskan diri dari pengap. Hingga tak ada lagi kesusahan kurasa meski hari-hariku menggantungkan selaksa iba di pelupuk mata siapapun yang menatap.

“Kakek tidak merasa tertipu?” Inipun pertanyaan sama yang telah ratusan kali mendesir gendang telinga. Aku tak perlu berpikir ulang untuk menjawabnya, “Awalnya pernah. Tapi kemudian tidak lagi.”

“Boleh kutahu, kek, bagaimana kakek bisa seikhlas itu? Dan mampu untuk bertahan?” Sirat penasaran yang sungguh, memenuhi bola matanya. Dulu, dulu sekali, pertanyaan ini mampu memancingku ucapkan ratusan kata. Mengalir lancar bak deras hujan tanpa ada yang berani menyela. Tapi sekarang? Entah, tak kuingat lagi kapan lidahku kelu.

”Tuhan-lah yang menyimpan kunci itu. Kalau saja waktu itu kutolak perjodohan itu, kuminta pembatalan atas pernikahan, semua itu adalah mungkin. Namun aku memilih ketidakmungkinan. Ketidakmungkinan yang justru menjadi jalan hidupku hingga tuaku tiba. Pernah juga terbersit hasutan iblis agar aku meninggalkannya. Namun tiap kali pula aku tak sanggup membayangkan apa terjadi pada hidupnya jika aku tega melakukannya disaat semua orang telah melupakannya.”

************************
Getir itu meriap. Namun tak berlangsung lama. Di kejap berikutnya kakek telah menyambut suara tangis itu dengan bergegas meski langkahnya tergopoh. Pesing mengudara. Dari balik pintu yang separuh terbuka, ia mengelap lantai yang telah ternoda dengan kain pel berwarna sekusam rambutnya. Dan disana....diatas ranjang kayu, wanita tua itu masih menangis. Seperti bayi. Tangannya bergerak liar. Entah hendak memukul. Atau menjambak.

“Jangan bawakannya popok orang dewasa. Tak terhitung sudah berapa orang membawakannya. Ia pasti melemparnya keluar jendela.” Kakek berkata separuh tertawa, seakan dapat membaca isi kepalaku yang menatapnya dengan rembang air mata.

Kakek, terbuat dari apakah hatimu? Mutiara firdaus-kah?



Note :
Kisah ini terinspirasi kisah nyata yang  saya saksikan di layar kaca, tentang seorang pria yang dijodohkan dengan wanita keterbelakangan mental. Namun keikhlasan telah membuatnya bertahan hingga usia menapak tua.

Flash Fiction diatas pernah saya ikutkan dalam lomba flash fiction bertema Perjodohan pada tahun 2011, dan versi remake dari kisah ini dapat kalian baca dalam novel romance saya Yang Kedua (Bukune ; 2011).

Kakek, masihkah kau disana? Ditengah kesunyian bukit berhampar sejuta bunga? 



No comments