Support Me on SociaBuzz

Support Me on SociaBuzz
Dukung Blog Ini

[GA] Aku dan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) : 13 Year's Nightmare

Sebenarnya dalam beberapa minggu terakhir, saya sudah mengurangi aktivitas mengikuti giveaway [GA]. Jujur saja, padatnya kesibukan membuat saya kerap keteteran. Tetapi, untuk tema giveaway kali ini, yaitu [GA] Aku dan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), saya memutuskan untuk berpartisipasi, karena “sejarah” hidup saya telah mencatat, tak kurang dari 13 tahun, saya hidup berdampingan dengan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Dan masa yang telah menghabiskan sepertiga kehidupan saya ini, tentu saja memberi saya pengalaman yang sangat berharga.


*Serius, sis? 13 tahun hidup bersama ODGJ??

Iya benar. Tidak kurang tidak lebih. Saya mulai saja kisah ini ya. “Prahara” itu dimulai pada tahun 1988. Ketika itu, orang tua angkat saya sedang menunaikan ibadah haji. Yang ada di rumah hanya saya, abang angkat saya, dan dua orang tante (sepupu ibu). Suatu hari, abang angkat saya (ketika itu usianya 14 tahun dan saya 10 tahun) pulang main sepeda dengan sebelah lengannya berlumur darah. Dia bilang, dia terjatuh dari sepeda karena diserempet angkot. Tetapi, ternyata ada hal lain yang dia sembunyikan. Sesuatu yang kemudian memerangkap kami sekeluarga dalam “mimpi buruk” selama 13 tahun.

Pulang menunaikan haji, orang tua angkat saya mulai mencium ada yang tidak beres. Untuk mudahnya, saya sebut saja nama abang angkat saya dengan initial RO. Sejak peristiwa terjatuh dari sepeda itu, RO jadi gampang marah dan mengamuk. Saya pernah melihat dia berusaha memukul tante yang tinggal di rumah dengan tiang bendera. Dan saat mengamuk, dia tidak takut kepada siapapun.

Waktu itu, di kota kecil tempat kami tinggal, belum ada psikolog dan psikiater. Orang tua angkat saya lalu mencari-cari informasi lewat buku dan media cetak. Ketika itu, untuk sementara, mereka berdua baru bisa menyimpulkan kalau RO tengah memasuki fase pubertas. Masa remaja yang penuh gejolak dan ketidaksiapannya dalam menghadapinya barangkali saja memunculkan reaksi yang seperti itu.

Tetapi, hari demi hari, perubahan pada RO tidak bisa lagi dikategorikan reaksi seorang remaja terhadap fase perubahannya. Kami lalu mendapat kabar ada seorang psikiater baru di kota kami. Maka, kesanalah orang tua saya membawa RO untuk berkonsultasi. Tetapi, alih-alih mendapat pencerahan, RO justru mengamuk di ruang praktek dan nyaris saja memecahkan kacamata sang dokter. Mungkin, dalam benaknya yang tergambar ketika itu adalah, mereka yang dibawa berkonsultasi ke psikiater adalah orang gila, atau orang yang punya gangguan jiwa. Sedangkan RO sama sekali nggak merasa kalau dia mengalami gangguan jiwa.

Menemui jalan buntu, atas saran orang-orang terdekat, orang tua angkat saya lalu mencari pengobatan alternatif. Jangan ditanya, berapa banyak “orang pintar” yang didatangi. Pokoknya, kalau ada informasi tentang pengobatan alternatif, kesanalah orang tua angkat saya pergi. Dan sudah tak berbilang pula, berbagai macam cara pengobatan alternatif yang harus dijalani. Hanya satu yang masih saya ingat, karena menurut saya, itulah cara alternatif yang paling “logis”, yaitu dengan mengundang dan memberi makan anak-anak yatim piatu setiap malam Jumat serta meminta mereka untuk mendoakan kesembuhan RO.

Sementara itu, diam-diam orang tua angkat saya juga masih datang ke psikiater untuk berkonsultasi tanpa membawa RO mengingat RO tidak pernah mau diajak berkonsultasi. Waktu itu, psikiater tersebut menyarankan, agar RO dibawa ke ibukota Provinsi (waktu itu masih di Pekanbaru) karena di sana terdapat lebih banyak pilihan. Psikiater tersebut juga menyarankan, agar kami di rumah selalu menjaga jangan sampai melakukan atau mengatakan sesuatu yang bisa memicu kemarahan RO. Kalau sampai dia telanjur marah dan mengamuk, kami disarankan untuk TIDAK MELAWAN. Karena hal itu bisa berakibat fatal. RO bisa tambah mengamuk. Jika dia sampai nekad menyakiti atau bahkan membunuh kami, RO tidak bisa disalahkan atau dituntut secara hukum karena dia mengalami gangguan.

Tentu saja, untuk membawa RO ke ibukota provinsi butuh biaya yang tidak ringan. Dari informasi yang kami terima, untuk orang-orang seperti RO tidak cukup dengan satu dua kali konsultasi. Bahkan harus dirujuk ke rumah sakit jiwa jika memang tidak tertanggulangi oleh konsultasi dan obat-obatan.

Dan selama orang tua angkat saya berusaha mengumpulkan uang, masa-masa “berat” dalam kehidupan kami pun terus berlanjut. Sungguh, bukan hal mudah menjaga situasi yang tidak membuat RO marah. RO sangat sensitif. Kami tidak bisa terus menerus mengenali dan mengendalikan hal-hal yang bisa memicu kemarahannya. Kami juga bukan malaikat yang tak dikaruniai nafsu termasuk nafsu kemarahan. Sehingga, tak kami pungkiri, ada saat-saat tertentu di mana larangan psikiater tersebut tak bisa kami patuhi dengan baik.

Lebih parah lagi, jika ada orang luar, misalnya saja tetangga atau kaum kerabat datang ke rumah dan notabene tidak tahu hal-hal apa yang bisa membuat RO marah lalu tanpa sengaja mereka melakukannya. Dan jika RO sudah marah dan mengamuk disebabkan orang lain, dia hanya mau melampiaskannya pada kami di rumah.

Memang, adakalanya RO bersikap normal. Bahkan di saat normal, RO adalah orang yang sangat baik. Bicara pun selalu santun dan tidak pernah dengan nada tinggi. Tetapi, situasi tenang ini, bagi kami justru serupa bom waktu atau tengah berjalan di lapangan yang penuh ranjau darat. Saat picunya terinjak tanpa sengaja, maka ranjau akan meledak. Dan jika sudah meledak, bukan hal mudah untuk membuat RO tenang kembali.

Saya masih ingat, saya pernah berlari tanpa alas kaki bersama tante saya menuju rumah nenek yang jaraknya kira-kira 200 meter saat RO mengamuk. Raport saya pernah mau dibakar. RO juga pernah membangunkan saya yang sedang tidur siang di bulan Ramadhan dengan suara sekeras guntur, dan saat saya terbangun, dia sudah berdiri di depan pintu seraya menggenggam tali pinggang, siap untuk memukul saya. Waktu itu, dia marah karena bulan puasa saya lebih banyak malas-malasan daripada membantu di dapur.

Mungkin ada yang bertanya, pernahkah kami kehilangan kesabaran menghadapi RO?
Tentu saja pernah. Satu hal yang masih saya ingat, ketika RO mengamuk selama berhari-hari dan setiap kali mengamuk, dia selalu minta pisau untuk bunuh diri. Permintaan yang tentu saja selalu kami hindari. Ketika itu, semua benda tajam di rumah disingkirkan. Yang ada hanya pisau dapur yang tumpulnya minta ampun.

Suatu hari, RO pergi bersama ayah angkat saya dengan mobil. Ayah angkat saya waktu itu sudah sangat letih dengan kemarahan dan amukan RO. Dengan alasan akan membelikan RO pisau, dia lalu membawa RO ke kantor polisi dan meminta petugas agar RO dipenjara.

Tetapi, hanya tiga hari RO dipenjara. Dia terserang demam tinggi dan orang tua angkat saya jadi nggak tega. Hari ke-4, RO dijemput pulang. Setelah demamnya sembuh, kemarahan RO semakin menjadi-jadi. Dia mengatakan ayah angkat saya kejam karena sudah membuatnya dipenjara. RO bahkan mengancam akan membunuh ayah angkat saya. Saya pernah melihat dia menantang ayah angkat saya berkelahi dan sudah memasang kuda-kuda (ketika itu, RO juga belajar karate) namun tentu saja tidak diladeni oleh ayah angkat saya.

Akhirnya, pada liburan panjang sekolah, (ketika itu saya duduk di kelas 6 SD), kami sekeluarga berangkat ke Pekanbaru. Perubahan suasana saat liburan ditambah banyak keluarga ayah angkat saya yang tinggal di sana, akhirnya berhasil melunakkan hati RO untuk dibawa ke psikiater. Mungkin, pendekatan yang dilakukan psikiater kali ini pun jauh lebih baik. Didepannya, RO akhirnya berterus terang bahwa saat dia terjatuh dulu, kepalanya lebih dulu menghantam tanah dari jarak ketinggian kira-kira empat meter. Dia sempat hilang kesadaran dan muntah-muntah setelahnya.

Saat dilakukan pemeriksaan lebih intensif, RO ternyata mengalami gangguan pada pengendali syaraf emosi yang berlangsung secara temporal. Waktu itu, dokter kerap menyebutnya dengan saraf temporal. Itu sebabnya, emosi RO juga muncul pada siklus-siklus tertentu. Kadang dia tenang, kadang emosinya bergolak. Menurut dokter, andai setelah terjatuh dulu RO berterus terang dan cepat dilakukan CT Scan serta penanganan yang tepat, gangguan itu masih bisa teratasi.

Tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Penanganan yang terlambat itu telah berdampak pada kejiwaan RO. Atas saran psikiater, RO kemudian dirujuk ke rumah sakit jiwa di Padang. Selama lebih kurang tiga bulan, RO pun dirawat di sana. Dan selama tiga bulan itu pula, orang tua angkat saya mulai menjual satu demi satu asset yang mereka miliki, baik berupa tanah maupun perhiasan. Biaya pengobatan dan “penginapan” RO di rumah sakit selama berbulan-bulan itu, telah menelan biaya yang tidak sedikit.

RO akhirnya diperkenankan pulang. Dia dibekali obat-obatan yang harus dikonsumsi setiap hari. Dan harga obat-obatan ini pun, mahalnya luar biasa. Ketika itu, saya mulai merasakan penurunan pola hidup kami menjadi jauh lebih sederhana. Tahun pertama pasca keluar dari rumah sakit, kondisi RO lumayan membaik. Frekuensi marah dan mengamuknya lumayan berkurang. Dan dia juga mau makan obat tanpa disuruh. Sungguh, ketika itu kami semua mengira bahwa kabut gelap yang menyelimuti kehidupan kami sudah berakhir. Tetapi, Tuhan rupanya masih ingin menguji kami. Hanya setahun kondisi RO membaik. Masuk tahun kedua, saat dia masuk SMA, RO kembali seperti dulu. Dia kembali sering marah dan mengamuk. Dia juga tidak mau mengonsumsi obat-obatnya lagi.

Oh ya, bicara soal pendidikan, meskipun harus dilalui dengan sangat susah payah, RO tetap berhasil menyelesaikan sekolahnya hingga lulus SMA. Gangguan yang dialaminya telah membuat kemampuan berpikir RO menurun. Dia nyaris tidak bisa menyerap pelajaran dengan baik. RO sempat beberapa kali tidak naik kelas bahkan berhenti sementara. Namun orang tua angkat saya tetap berusaha agar RO bisa selesai SMA, karena mereka punya harapan RO kelak akan sembuh dan hidup normal. Selain itu, RO juga punya cita-cita besar ingin menjadi pemimpin daerah. Dia ingin sekali menjadi camat.

RO kerap berpindah-pindah sekolah. Jika ada guru yang tidak dia sukai atau pernah memarahinya, dia akan marah dan mengamuk lalu bersikeras minta pindah. Meskipun orang tua angkat saya selalu menginformasikan pada guru dan kepala sekolahnya tentang gangguan yang dialami RO, tidak semua orang termasuk pendidik di sekolah, bisa memperlakukan RO sesuai saran psikiater tanpa pernah menyinggung perasaannya.

Setiap kali ada PR, RO akan menyuruh saya untuk mengerjakannya. Saya ingat, ketika suatu hari PRnya yang saya kerjakan salah semua karena saya tidak paham, RO marah besar. Meskipun dia tidak sampai memukul saya, tetap saja tubuh dan jantung saya menggigil hebat.

Setelah tamat SMA (saya dan RO lulus di tahun yang sama), kondisi ekonomi kami memasuki masa-masa paling sulit. Ayah angkat saya sudah pensiun, tabungan yang mereka siapkan untuk kuliah kami berdua, habis terkuras untuk membeli obat-obatan RO. Karena RO tidak mau lagi makan obat, maka obat-obatannya selalu dihaluskan dulu lalu dicampur di dalam makanannya tanpa sepengetahuannya.

Saya pun memutuskan untuk tidak kuliah dan segera mencari pekerjaan tak lama setelah lulus SMA agar tidak membebani orang tua. Pada masa ini, kondisi kesehatan orang tua angkat saya pun mulai menurun. Bertahun-tahun didera cobaan psikis, membuat penyakit yang mereka idapi seringkali kumat. Biaya hidup pun semakin bertambah dengan biaya berobat mereka berdua terutama ayah angkat saya yang mengidap penyakit jantung.

Sementara itu, kondisi RO tidak juga berubah. Saya masih ingat, puncak terbesar kemarahan RO, terjadi pada malam Lebaran tahun 1999. Ketika itu, RO sangat ingin menikah. Dan entah kenapa, salah seorang mantan gurunya berani-beraninya menjodohkan RO dengan seorang gadis kenalannya meski guru itu tahu penyakit RO. RO kemudian pergi ke rumah gadis itu untuk melamar. Lamaran RO ditolak karena gadis itu sudah punya calon.

Sepulang ke rumah, emosi RO nyaris tak terkendali. Malam itu, saya ditugaskan untuk menjadi penyambut tamu di rumah bupati (ketika itu saya sudah bekerja sebagai CPNS). Sebelum pergi, kondisi rumah sudah tak keruan. Kursi dan meja jungkir balik. Saat saya sudah berada di luar rumah, ayah memberi kode kepada saya agar tidak pulang ke rumah malam itu.

Saya menjalani tugas malam itu dengan pikiran berkecamuk. Saat menghidangkan minuman kepada para tamu, saya berusaha tersenyum. Namun di belakang, berbagai pertanyaan bermunculan di benak saya : apa yang tengah terjadi di rumah saat ini? jika saya tak boleh pulang, saya harus pergi kemana? Toh saya tidak membawa selembar pakaian pun selain yang melekat di badan.

Saya lalu pulang ke rumah seorang kerabat. Orang tua angkat saya ternyata juga sudah ada di sana. Dan malam itu, telpon rumah kerabat kami itu terus menerus diteror oleh RO. Meski kerabat saya berulang kali mengatakan bahwa kami tidak ada dirumahnya, RO tidak percaya dan terus saja menelpon seraya marah-marah, memaki-maki dan berteriak-teriak di telpon.

Kami baru berani pulang ke rumah pada hari Lebaran ketiga. Itupun setelah beberapa kerabat “diutus” terlebih dulu untuk menengok dan membujuk RO. Saat tiba di rumah, semua hidangan Lebaran yang masih ada di atas meja, sudah dalam kondisi basi dan berbau. Boleh dibilang, itulah Lebaran paling kelam yang pernah kami alami.

RO akhirnya menikah setahun setelah itu. Untunglah, ada gadis yang bersedia menikah dengannya meski gadis itu belum tahu kondisi RO sesungguhnya. Pada titik ini, kami sudah nyaris give up. Karena dalam setahun terakhir, emosi RO kian sulit terkendali sehingga orang tua angkat saya berpikir, bahwa pernikahan barangkali saja bisa meredam hal itu.

RO dan istrinya tinggal bersama kami karena RO tidak bekerja. Pada awalnya semua berjalan baik. Namun entah di bulan keberapa, RO kembali marah-marah dan rumah tangganya mulai dingin. Selain itu, ada satu keanehan yang saya lihat pada fisik RO. Perutnya terus membesar. Kian lama kian mirip perut wanita hamil sembilan bulan. Pada saat ini, istri RO pergi meninggalkannya. Perut RO terus saja membesar seiring kemampuan motoriknya yang terus menurun. Dia tidak bisa lagi berjalan dan hanya bisa duduk. Lama kelamaan, RO bahkan tak bisa meninggalkan tempat tidur. Tubuhnya kian lama kian kurus kering sementara perutnya terus membesar hingga berurat-urat.

RO ternyata mengalami kanker hati stadium lanjut. RO sempat dirawat di rumah sakit, dan beberapa kali dilarikan ke rumah sakit saat kondisinya memburuk. Namun hal itu ternyata tak banyak menolong. Dia mulai jarang marah-marah. Mungkin ini dikarenakan kondisi kesehatannya yang terus menurun. Dan pada fase ini, kondisi psikis kami mulai berbalik 180 derajat. Kami yang biasanya selalu dibuat tercekam ketakutan bahkan menggigil oleh kemarahan RO, kini harus mengalami serentetan peristiwa mengharukan tentang RO.

Saya masih ingat, suatu malam, ayah angkat saya mengalami serangan jantung yang hebat. Dia sulit bernapas, dadanya sakit dan keringat mengucur deras. Karena panik, tidak ada yang sempat berpikir untuk mencari nomor telpon ambulans di halaman kuning buku telpon. Ketika itu, RO yang hanya bisa duduk, meminta agar dia dipapah ke mobil agar dia bisa menyetir mobil dan membawa ayah ke rumah sakit. Tentu saja, itu adalah hal yang tak mungkin. Bagaimana mungkin kami bisa memapah RO? Kami akhirnya berhasil menelpon ambulans untuk membawa ayah. Namun satu hal yang tak bisa lepas dari ingatan kami, bagaimana RO yang sudah dalam kondisi kepayahan, tetap tergerak hatinya untuk menolong ayah. Sesuatu yang sebenarnya adalah karakter RO sesungguhnya jika ia berada dalam kondisi normal.

Saya juga ingat, suatu siang sepulang kerja, saya mendengar teriakan minta tolong. Ternyata RO jatuh dari tempat tidur dan dia tidak bisa mengangkat tubuhnya. Saya lalu lari ke rumah tetangga, minta tolong mereka untuk mengangkat RO ke tempat tidur. Bagi saya, apa yang saya lakukan ketika itu sama sekali tidaklah istimewa. Namun di luar dugaan saya, RO menangis sejadi-jadinya dan berterima kasih atas apa yang saya lakukan. Dia memberi saya sesuatu yang entah kapan dia membelinya : seperangkat topi, emblem dan pangkat yang biasa digunakan oleh Camat. Ya. RO sangat ingin menjadi Camat. Dia bilang ketika itu, bahwa tidak mungkin lagi baginya untuk menjadi Camat, jadi, andai saya kelak menjadi Camat, dia minta saya sudi memakai perlengkapan yang ia berikan itu. Saya tak kuasa lagi menahan air mata. Saya langsung lari ke kamar. Sampai sekarang, perlengkapan itu masih saya simpan di lemari.

Tahun 2001, RO meninggal dunia di rumah sakit. Menurut tante yang ada disampingnya saat dia pergi (waktu itu kami semua sedang berada di rumah), RO pergi dengan tenang seperti orang yang sedang tidur. Buat saya, RO wafat dalam keadaan nyaris seperti bayi yang baru lahir. Karena semasa hidupnya, dalam kondisi normal, RO adalah seorang yang sangat baik. Dia bahkan pernah mendapat penghargaan sebagai remaja mesjid teladan karena dia tak pernah absen sholat lima waktu di mesjid. Dia juga selalu memberi uang jajannya pada teman sekolahnya yang kesulitan membayar SPP. Dan saat wafat, RO sudah menggenapkan separuh agamanya dengan menikah. Ketika dia marah dan mengamuk, semua itu terjadi di luar kendalinya. Bukankah tidak ada hukum agama yang berlaku pada orang-orang yang sedang dalam kondisi demikian?

13 tahun. Bukan waktu yang sekejap untuk merangkum semua cerita. Dan tentu saja, masih sangat banyak cerita yang tak mampu saya tuliskan.  Saat hendak menulis ini, air mata saya entah sudah berapa kali tertumpah. Saat menulisnya pun, air mata saya kembali jatuh. Buat saya, 13 tahun hidup bersama RO yang mengalami ODGJ, adalah pengalaman yang tidak akan pernah terlupakan seumur hidup saya.

Meski saya bukan seorang ahli jiwa, berbekal pengalaman ini, saya ingin membagi beberapa hal untuk teman-teman sebagai antisipasi terhadap ODGJ (note : tentu saja saya berharap kalian tidak mengalami hidup berdampingan bersama ODGJ) :
  • Ketika ada perubahan terjadi pada anggota keluarga, terutama perubahan psikis yang tidak biasa, segeralah mencari tahu penyebabnya dan berkonsultasi pada ahlinya
  • Jika memang terindikasi anggota keluarga mengalami gangguan jiwa, teruslah mencari upaya penyembuhan yang tepat dan menambah wawasan kita tentang gangguan tersebut
  •  Ikuti saran ahli (psikiater / psikolog / dll) tentang bagaimana cara menghadapi ODGJ. Lain penyebabnya, lain kasus ODGJ, lain pula cara menghadapinya
  •  Tingkatkan kesabaran dan perbanyak doa kepada Allah. Mohon keputusan yang terbaik bagi anggota keluarga kita yang mengalaminya, juga bermohon kepadaNya agar kita dikaruniai ketabahan, kekuatan dan perlindungan
  •   Ciptakan suasana kekeluargaan yang hangat dan terbuka, sehingga ketika anggota keluarga mengalami pengalaman yang traumatik, dia tak ragu untuk menceritakannya
  •  Jika anda seorang penulis fiksi dan ingin mengangkat kisah berlatar ODGJ namun tak punya latar ilmu psikologi, sebaiknya berkonsultasilah pada ahlinya atau membekali diri dengan referensi yang cukup. Jangan sampai apa yang anda tulis justru melukai hati orang-orang yang pernah mengalami hidup berdampingan ODGJ karena penceritaan anda tentang sisi psikologis tokohnya kurang tepat. Saya menulis ini karena pernah mengalaminya saat membaca sebuah fiksi berlatar ODGJ. Bahkan fiksi tersebut memenangkan penghargaan bergengsi. Saat saya utarakan pendapat saya berdasarkan pengalaman ini, penulisnya tetap bersikukuh bahwa tidak ada yang keliru pada penceritaannya. Ya sudahlah. Nggak mungkin bagi saya untuk mengatakan pada penulis dan para jurinya agar sebaiknya merasakan pengalaman hidup bersama ODGJ terlebih dulu untuk menilai hal itu tepat atau tidak, bukan? Toh setiap manusia bisa salah dan khilaf, barangkali saja, pendapat saya dalam hal itu pun belum sepenuhnya tepat. Jadi, cukuplah kiranya 13 tahun pengalaman tersebut tetap tinggal dalam benak saya sebagai pengalaman yang sangat berharga. 
Terima kasih saya pada mbak Liza dan Si Tunis yang sudah menggelar giveaway ini sehingga saya berkesempatan untuk menuliskan kisah ini. Mudah-mudahan saja, setelah ini tak ada lagi air mata saya tertumpah saat mengenang kisah ini, dan semoga saja, ada ibrah dan manfaat yang bisa kalian petik dari tulisan sederhana ini.

“Tulisan ini diikutkan dalam Giveaway Aku dan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang diselenggarakan oleh Liza Fathia dan Si Tunis”



 














37 comments

  1. wah, ga kebayang kesabaran selama 13 tahun itu. smg RO skrg tenahg di sana. Btw, knp mb lyta tnggal sm ortu angkat?
    goodluck GAnya ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. itu ada story lain yang nggak kalah panjang wik. Bisa jadi 1 novel kalo digabung kisah yg di atas ini, hehe....

      Delete
  2. Luar biasa mba...
    Hemm nasihatnya dicatat. Ternyata kecelakaan jg bs berakibat fatal bagi psikis- ga keliatan emang awalnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya, kita jadi emang kudu sensitif ama perubahan orang di sekitar kita

      Delete
  3. saya kok jadi berlinang air mata ya mbak membacanya....AL fatihah untuk beliau ...:(

    ReplyDelete
  4. Subhanallah ,allahuakbar, allah benar-benar sayang sama mak Ria ya, semoga perjuangan selama 13 tahun menjadi berkah dan bisa menginspirasi orang lain agar tidak asal dalam menghadapi ODGJ :) barakallah ya mak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amiin....iya mak semoga setiap orang bisa lebih bijak menghadapi ODGJ

      Delete
  5. huhu..saya juga jadi terharu baca postingan ini. Perjalanan hidup yang bener2 tak terlupakan,

    ReplyDelete
    Replies
    1. Trima kasih mak udah mampir...iya mak. Unforgettable

      Delete
  6. kak ria....sumpah menangis sy bacanya....perjuangan yg sangat berat...alhamdulillah sekaran mba ria udah bahagia ya dan nyaman dgn keluarganya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Ana. Ini sambil nulisnya pun tetap aja air mata keluar terus. Alhamdulillah

      Delete
  7. masyaallah...hidup mba bener2 luar biasa. setiap mmbaca karya2 mba sy slalu terbersit dlam hati"perjalanan hdup sperti apa yg sdah penulis ini jalani?"
    karena karya2 mba itu slalu pnya "rasa " dan biasanya penulis dgn karya demikian slalu kaya akan pengalaman hidup.
    semoga RO dilapangkan kuburnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amiiin....trima kasih mbak utk doanya atas almarhum

      Delete
  8. masyaallah...hidup mba bener2 luar biasa. setiap mmbaca karya2 mba sy slalu terbersit dlam hati"perjalanan hdup sperti apa yg sdah penulis ini jalani?"
    karena karya2 mba itu slalu pnya "rasa " dan biasanya penulis dgn karya demikian slalu kaya akan pengalaman hidup.
    semoga RO dilapangkan kuburnya.

    ReplyDelete
  9. Saya baca dari kalimat pembuka dengan seksama, seperti masuk ke dalam ceritanya. Ikut tegang, takut, sedih, dan haru. Pengalamannya luar biasa, mak. Saya sampai ga kuat nahan air mata.

    Inspirasi untuk kita semua, memang ODGJ sebetulnya dekat dengan kehidupan sehari-hari kita, entah itu keluarga, tetangga, atau bahkan teman.

    Good luck, mak.

    Salam hangat,
    Zia

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mak. Dan ODGJ tidak utk dikucilkan seperti dipasung. Mrk butuh penanganan yg tepat utk sembuh

      Delete
  10. akibat jatuh bisa jadi begitu ya? Harus hati-hati memang. Salut mba Lyta bisa bertahan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu almarhum jatuhnya pas kepala belakang yg terempas dulu ela. Dan ketahuannya pun setelah bertahun2. Mungkin jika waktu setelah kejadian langsung di ct scan dan ditangani, masih bisa diatasi sebelum ngefek ke kejiwaannya

      Delete
  11. Ya Allah endingnya, saya mengira dengan pernikahannya pelan-pelan ia akan sembuh, tapi Allah berkehendak lain. Semoga limpahan pahala ya mbak atas mbak, keluarga dan termasuk RO

    ReplyDelete
  12. MasyaAllah Mba', 13 tahun yang penuh makna ya, padahal cuma gara-gara jatuh tapi jadinya bisa sedemikian rupanya, semoga Allah lindungi semua anggota keluarga kita ya, Aamiin..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amiiin....
      Iya mbak. Karena penanganannya terlambat jadi dampaknya telanjur besar

      Delete
  13. 13 tahun ow bngt, saya beberapa bulan saja sampai trauma terbawa mimpi

    ReplyDelete
  14. Ceritanya bikin menitikan air mata, terutama saat RO bersusah payah menyetir untuk membantu ayahnya. Pengalaman yang luar biasa dan tak akan terlupakan.

    Btw, semoga menang GA ya Mbak

    ReplyDelete
  15. ya Allah...nangis aku... rasanya pengalamanku tinggal dgn orng yg 'punya sedikit kelainan' ga ada apa2nya dgn pengalaman mbak. subhanallah.
    salam kenal dan semoga sukses buat GAnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam kenal juga mbak. Semoga mbak juga diberi kekuatan ya...amiin.

      Delete
  16. Penyebabnya sama dengan yg dialami paman saya, Mbak. Akibat jatuh jadi ada gangguan kejiwaan.
    Btw ceritanya mengharukan sekali, Mbak. Keluarga Mbak benar2 kuat menghadapi ujian yg sekian lama itu. RO orangnya baik banget ya Mbak sebenarnya. Saya nangis waktu baca dia ngasih pernak-pernik perlengkapan camat, juga waktu nolong ayahnya :(.
    Semoga RO tenang di sisi-Nya...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amiin...makasih mbak doanya. Iya aslinya dia orangnya baik banget

      Delete
  17. Dah baca. Tapi lupa mo komen apa tadi.

    ReplyDelete
  18. Alfatihah untuk almarhum *speechless mba bacanya

    ReplyDelete
  19. Baru baca ini, Mbak Lyta. Hiks.. Peluk Mbak Lyta...

    ReplyDelete
  20. Indriyani Anthonie25 October 2019 at 19:52

    Jatuh air mata saya saat membacanya

    ReplyDelete