Support Me on SociaBuzz

Support Me on SociaBuzz
Dukung Blog Ini

RESENSI NOVEL UNDOMESTIC GODDESS : ANTARA FEMINISME DAN KEBEBASAN MERAIH JATI DIRI






 
Sinopsis :
Roda dunia terus berputar. Siapa menduga, sebuah peristiwa mampu mengubah seratus delapan puluh derajat kehidupan Samantha Sweeting, seorang pengacara top di London. Satu kesalahan fatal tak hanya membuatnya terdepak dari kesempatan untuk menjadi rekanan, pencapaian yang didam-idamkan semua pengacara di Carter Spink, tetapi juga memetamorfosis hidupnya menjadi seorang pelayan rumah tangga keluarga kaya di sebuah desa antah berantah. Padahal, jangankan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, Samantha bahkan tidak bisa memasang kancing bajunya yang copot atau menghidupkan oven.


Di sini pulalah Samantha menemukan pengalaman dan hal-hal baru, yang meski bertolak belakang dengan kehidupannya sebagai pengacara, namun mampu mengubah paradigmanya dalam memandang dan menikmati hidup.  

Dan ketika kesempatan kedua baginya datang untuk “masuk” kembali pada kehidupan sebelumnya sebagai pengacara, bergelimang uang dan menjalani ritme kesibukan yang superpadat, akankah Samantha memilih untuk kembali, ataukah tetap bertahan dengan kehidupan barunya?

================================================
Dibandingkan dua novel Sophie sebelumnya yang saya baca, novel satu ini menyajikan beberapa hal berbeda. Hal-hal yang akhirnya membuat saya memutuskan, so far, ini adalah novel Sophie yang paling saya sukai.

Apa itu?

Pertama, Sophie berhasil keluar dari comfort zone dalam menokohkan tokoh utama wanita yang berkepribadian sanguis. Samantha Sweeting yang menjadi tokoh sentral novel ini, adalah seorang koleris sejati. Ambisius, cerdas, selalu ingin terlihat kuat dan mampu mengatasi segala persoalan, tak ingin terkalahkan, namun di sisi lain memiliki kelemahan utama sosok koleris, yaitu tidak tertib. Kelemahan ini pulalah salah satu penyebab terjadinya perisiwa fatal yang kemudian menghancurkan kariernya.

Kedua, kali ini Sophie lebih dinamis dalam menghadirkan latar tempat. Tidak lagi didominasi perkotaan sebagai sentralnya, tetapi juga latar pedesaan yang menjadi tempat “pelarian” Samantha, desa yang digambarkan sebagai tempat yang asri, memiliki pepohonan dan bunga-bunga, serta kekhasan kultur sosial masyarakat desa.

Ketiga, novel ini juga menyajikan kepiawaian lain dari Sophie saat “menabrakkan” hal-hal yang bertolak belakang dan meraciknya menjadi plot yang seru dan menghibur. Bayangkan bagaimana hebohnya seorang Samantha yang pengetahuannya nol tentang pekerjaan rumah tangga, tiba-tiba harus mengerjakan semua pekerjaan domestik seperti mencuci pakaian, memasak, dan membersihkan perabotan. Peristiwa-peristiwa lucu nan heboh pun dihadirkan Sophie. Seperti saat Samantha gagal memotong roti untuk sandwich, lalu memutuskan untuk memesan sandwich pada tempat catering, bagaimana ia menghabiskan waktu sangat lama hanya untuk mempelajari manual mesin cuci, dan kegagalannya mengenali nama-nama alat dapur juga bahan makanan.

Segala ornamen tentang dapur dan makanan juga membuat novel ini menjadi kian menarik buat saya. Kepiawaian Sophie mendeskripsikan kehebohan aktivitas dapur, penampilan makanan dan cara membuat roti, membuat saya rasanya ingin segera datang ke lokasi dan melihat langsung semua kehebohan yang terjadi pada Samantha. Bukan untuk menolongnya, tetapi mencicipi makanan-makanan yang dihasilkan tempat catering dan roti empuk yang diajarkan oleh ibunya Nathaniel.

Keempat, akan halnya romantisme antara Samantha dan Nathaniel, sang pengurus kebun di rumah keluarga kaya tempat Samantha bekerja, Sophie tidak menggambarkan sebuah bentuk hubungan antara dua orang yang memiliki strata berbeda, juga tidak menggambarkan pemujaan dan kekaguman berlebihan dari Nathaniel terhadap Samantha, melainkan menampilkan sisi natural pandangan Samantha terhadap Nathaniel yang meski hanya seorang tukang kebun, namun memiliki wawasan dan visi yang luas.

Kelima, benturan pandangan akan feminisme dan kebebasan yang dihadirkan lewat sosok Samantha, juga menjadi daya tarik lain dari novel ini. Samantha yang dibesarkan dalam lingkup feminis, mandiri dan penuh tuntutan dari keluarganya terutama sang ibu yang juga berprofesi menjadi pengacara, di satu sisi berhasil menjadikan Samantha sosok seorang feminis tulen, mandiri, profesional dalam bekerja dan ambisius dalam karir.

Namun di sisi lain, hal ini telah mencabut Samantha dari kehidupan yang santai, hangat, penuh kekeluargaan, merasakan jatuh cinta, kebebasan dan menyebabkannya gagal menemukan jati dirinya yang sesungguhnya. Semua yang justru ia dapatkan saat takdir mengantarkannya menjadi seorang pelayan rumah tangga dan melepaskannya dari belenggu ritme kesibukan khas pengacara papan atas di Carter Spink.

Satu kalimat pada lembar terakhir ini sepertinya cukup untuk merefleksikan perubahan paradigma dan pandangan seorang Samantha :
“Aku baru 29 tahun. Aku bisa pergi kemana pun aku suka. Melakukan apa pun yang aku suka. Menjadi siapa pun yang aku suka.”

Ya. Kebebasan untuk melakukan segala yang kita sukai, dan menjadi diri sendiri, sampai kapan pun tak akan bisa dibeli dengan materi.


Judul               :           Undomestic Goddess

Penulis             :           Sophie Kinsella

Penerbit           :           Gramedia Pustaka Utama

Terbit               :           Cetakan kelima, Juni 2013

Halaman          :           560 hal



No comments