Judul : Jean Sofia
Penerbit : Diva Press
Tahun terbit : 2011
Penulis : Leyla Hana
Mohon maaf, kalo kali ini saya lagi males nulisin sinopsis meski judulnya 
lagi me-review, untuk novel ini, satu tagline ini rasanya cukup untuk 
menggambarkan keseluruhan isi cerita : kisah cinta beda agama dengan segala lika-liku dan perjuangan pahit-manisnya.
Mohon
 maaf juga, kalau kali ini saya nggak menyinggung soal unsur intrinsik 
dari fiksi yang biasanya jadi bahan obrolan dalam review, karena untuk 
penulis sekelas Leyla Hana, saya yakin rata-rata unsur ini telah 
terpenuhi dengan baik, dan apa yang terpenting adalah bagaimana karya 
yang dihasilkan menarik bagi pembaca.
Kesimpulannya, 
review saya memang tolok ukurnya kata hati, juga apa yang paling 
mendominasi rasa dan pemikiran saat usai membaca, jadi nggak bisa 
dijadiin standar review yang baik, hehe...
Kenapa judul 
review-nya kok ini? karena....ada beberapa hal yang harus saya akui, 
sedikit melenceng dari ekspektasi yang saya bangun dari awal.
Melihat
 cover dan sinopsisnya, awalnya saya mengira ini adalah novel rumah 
tangga dengan penuturan yang ‘dewasa’ dan mengungkap hal2 yang serba 
dalam, ternyata oh ternyata, ini novel khas Leyla Hana banget, mengalir 
lincah, manis, crunchy, tak ubahnya karya2nya sebelumnya, sehingga boleh
 dibilang penulis satu ini emang pas banget untuk karya di genre teenlit
 dan chicklit. Saatnya saya untuk berdamai dengan ekspektasi pertama yang melenceng,
 karena satu hal yang saya senangi, meski gaya tuturnya chicklit, tapi 
ini adalah chicklit yang membumi, nggak bertabur kosakata benda2 branded
 name atau menyajikan kehidupan yang serba di awang2, membumi deh 
istilahnya, dan juga, sarat muatan islami.
Kita langsung 
bergerak ke isi cerita. Hingga hampir separuh isi novel saya baca, benak
 saya terus dibayangi penasaran, kenapa sih kedua tokoh ceritanya bisa 
jatuh cinta begitu dalam, hanya didasari faktor ketertarikan fisik 
semata? Nyatanya memang saya nggak menemukan ada sebab lain, selain ya, 
pada ketertarikan fisik itu. Jean yang digambarkan tampan, cerdas, dll, 
dan Sofia yang cantik, berjilbab dan ini menjadi faktor yang saling 
menarik keduanya. Memang sih pepatah dari mata turun ke hati belum lagi 
usang, sayangnya saya terlanjur nghayal duluan kalo ada sesuatuu aja 
yang bikin salah satu tokohnya jatuh cinta selain soal fisik, mungkin 
dari tindak-tanduk, perilaku yang mengundang simpati, atau Jean pernah 
nolongin Sofia, atau apa gitu, bahkan sampai lulus kuliah pun kedua 
tokoh ini nggak pernah saling ngobrol (saya punya pengalaman pribadi 
yang mirip ini loh, tapi sepertinya ini bukan note yang tepat untuk 
curhat, hihi)....sekali lagi saya mengibarkan bendera damai, 
however, ini adalah fiksi islami, sudah seharusnya saya nggak berharap 
ada interaksi yang memadai antara kedua tokoh yang berlawanan jenis 
dalam kondisi keduanya belum menikah, untungnya, penulis berhasil 
menyelamatkan ‘kekeringan’ ini dengan menuturkan romantisme antara kedua
 pasangan pada saat mereka udah married.
Lalu, saya 
menemukan ada lompatan yang besar setelah kedua tokohnya lulus kuliah, 
cerita lalu bergerak ke masa tujuh tahun setelahnya. Dikisahkan Jean 
telah menjadi mualaf dan pengusaha sukses. Sekali lagi, saya telanjur 
berharap bahwa ada cerita yang lebih detail dan inspiratif tentang 
proses jean yang berpindah keyakinan, tapi sampai selesai novel saya 
baca, saya hanya berhasil menemukan bahwa proses ini didasari hidayah 
yang berawal dari ketertarikan Jean pada sosok Sofia (jadi mengingatkan 
saya juga pada proses beralih keyakinannya tokoh Aanon dalam novel Xie 
Xie ni De Ai-nya Mells Shaliha).  Padahal, kalo melihat latar belakang 
Jean yang berasal dari keluarga katholik, meski digambarkan mereka bukan
 pemeluk yang taat, sepanjang pengetahuan saya yang juga pernah sekantor
 dengan mereka yang beragama katholik dan protestan, mereka yang 
katholik lebih saklek dan sulit untuk berpindah aqidah ketimbang mereka 
yang protestan. Lagi dan lagi, saya pada akhirnya berdamai dengan 
ekspektasi saya, karena kalo sudah hidayah yang jadi alasan, what should
 we ask more?
Terhadap sosok Jean sendiri, dimata saya, 
metamorfosanya dari seorang pengusaha kaya raya, lalu menjadi pengawas 
mini market, ‘turun’ lagi jadi petani demi kecintaannya pada Sofia juga 
demi mempertahankan aqidahnya adalah suatu penggambaran yang 
cukup....luar biasa. Yup, rasanya, di jaman yang udah kian tak menentu 
sekarang ini, sosok seperti Jean barangkali hanya akan kita temukan 
dalam bilangan yang sangat langka. Kalaupun digambarkan akan 
ketidakberaniannya mengungkapkan keislamannya didepan keluarga juga 
sempat sejenak meninggalkan Sofia, itu masih dalam batas yang wajar dan 
belum mampu menggeser stigma mr. nice guy seorang Jean dimata saya. 
Berdamai lagi? Yup. Mengingat diluar sana, ada banyak karakter tokoh 
fiktif didalam novel yang bahkan bikin geleng2 kepala, yang cowok 
psikopatlah, yang menganggap selingkuh bahkan sampai – maaf- 
menghasilkan anak diluar nikah hanya kekhilafan semata, atau yang 
mengalami disorientasi seksual, dan masih banyak lagi yang tak kalah 
aneh, jadi, kalau ke’aneh’an itu justru mengarah pada karakter yang 
serba baik, ini justru mengandung nilai positif, bukan?
Ada
 yang heran kali ya? dari tadi kok ngibar bendera damai terus sih? Ini 
bukan faktor subjektifitas belaka kok, walau penulisnya saya kenal dan 
sering berinteraksi di fesbuk, namun satu hal yang ingin sepenuhnya saya
 dukung disini adalah tentang bagaimana penulis mampu merefleksikan
 pesan2 moral dan kebaikan yang rahmatal lil alamin dalam tutur yang 
mengalir manis, tidak menggurui juga mengemasnya dalam sebuah karya 
fiksi yang cukup panjang. Jujur, saya sendiri terkadang 
berpikir, kapan ya, saya bisa dan mau untuk menulis novel dengan muatan 
islami yang lebih kental dan dominan, secara saya kerap didera 
kekhawatiran untuk menuliskan sesuatu yang lebih islami dari perilaku, 
tindak tanduk dan perkataan saya sendiri. Apalagi, saya juga tidak 
memiliki preferensi pengalaman religi yang cukup banyak, saya nggak 
pernah mondok, selain hanya sekadar pernah mengikuti pesantren kilat, 
saya nggak pernah terlibat rohis, karena kuliah pun di PT yang 
mahasiswanya sebagian besar karyawan, bahkan diantara 4 kakak beradik 
yang semuanya wanita, saya yang terakhir mengenakan jilbab :D (pengakuan
 dosa.com)
Overall, dengan semua nilai kebaikan yang 
terangkum didalam Jean dan Sofia, mulai dari bagaimana menjaga kesucian 
hati dan pandangan terhadap lawan jenis, arti keikhlasan (disini juga 
ada sekilas kisah ttg poligami), perjuangan mempertahankan aqidah dan 
cinta, rasanya saya nggak ragu angkat dua jempol untuk novel ini, dan 
tentu aja, ...... sesaat berdamai dengan ekspektasi dan juga logika.
Hari ke-3 challenge battle #31hariberbagibacaan 
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
 
 


 
 
 

 
 
 
 
Hadiiiiir....saya kalau baca tulisan-tulisan Mbak Leyla, selalu ingat majalah Annida yang sudah menjadi teman bagi saya. :)
ReplyDeleteKalau baca review-rebiew Mbak Riawani jadi membayangkan, kapan ya bisa ketemu langsung dna kita ngobrolin buku-buku? :)
memang setauku yg katolik lebih keras kalo ada saudaranya atau keluarganya yang ebrpindah keyakinan. mungkin bisa didetailkan lagi dengan metode wawancara mualaf biar rasa yang ingin diungkapkan di novel ini jadi lebih greget. btw, mba. untuk Jean apa ada tokoh aslinya atau cuma fiksi ya? biasanya kalo ada tokoh aslinya bisa lebih kuat karakternya. anw, fiksi islami semoga saja bs jadi bacaan yang lebih digemari di negeri kita ditengah bencana krisis moral. :)
ReplyDeletereview-nya lengkap banget.
ReplyDeleteKalo baca-baca sinospsinya, novel mbak Ela ini khas cerpen-cerpen-nya Annida; tentang hidayah :D
Draft awalnya memang ada masa-masa pergulatan batin si Jean, tp semua kuhilangkan karena khawatir dimarahi penganut agama lain hehehe... temanku ada yg katolik, jd mualaf, dan diusir oleh ortunya, trus diobati pendeta disangka gila. Klo makan di rumahnya, dikasih babi. Dramatis deh jalan hidupnya.
ReplyDeleteAku lebih bisa nulis novel islami daripada yg umum, mungkin karena sudah terbiasa sejak berkenalan dengan Annida.
Btw, makasih mb Lyta :D
wewewe
ReplyDeletevey baca kisah ini secara tidak langsung nih..
jadi review yang menarik. hoho tambahan ilmu nih :D
Shabrina, mari kita berdoa sama2 semoga satu hari kita bisa ketemu n berbincang ttg buku sampai lupa waktu:-)
ReplyDeleteIla, Amiiin semoga fiksi islami kembali berkibar:-)
ReplyDeleteMbak eky, iya yg ini masih terasa annida khasnya
Leyla, iya rada riskan ngangkat topik beda agama ya
Makasih vera udah nyinggah:-)
dan review ini memberikanku gambaran bahwa jean itu seorang laki2 XD
ReplyDelete