Support Me on SociaBuzz

Support Me on SociaBuzz
Dukung Blog Ini

TAMPARLAH DAKU KAU KUKEJAR LALU KUGILAS (Part 2)

Terkadang, kita membutuhkan sedikit sentilan, senggolan, atau bahkan tamparan dalam hidup untuk membuat kita terjaga, bangkit, lalu bertekad untuk mencapai sesuatu yang lebih baik dari apa yang bisa kita lakukan hari ini. Itu sebabnya, saat kita membaca atau menonton biografi tokoh2 ternama, pada umumnya mereka mengawali jejak langkah dengan terlebih dulu menapak di atas kerikil tajam, pendakian nan terjal bahkan bara api, sebelum akhirnya menjadi seperti mereka yang kita ketahui sekarang.

Pada catatan ini, saya akan sedikit "buka-bukaan" tentang beberapa pengalaman yang cukup "menampar" saya untuk lebih giat menulis dan membuktikan bahwa saya bisa mencapai cita-cita saya sebagai penulis. Untuk tamparan yang datang dari internal keluarga, insya Allah akan saya ceritakan pada catatan berikutnya, atau yang membaca tulisan ini, bisa juga menemukan sebagian kecil tentang itu di dalam antology Asma Nadia Inspirasiku.

Sebenarnya, kalo dibilang tamparan, rasanya kok terlalu kejam ya? Tapi kalo judulnya diganti cubitlah aku or senggollah aku, ntar bisa ngundang asumsi macem2 :D

Sebagian besar tamparan yang menjadi lecut ini memang terjadi di sosmed. Harus diakui, bahwa sosmed telah mengembangkan budaya interaksi secara terbuka. Setiap pengguna akunnya punya akses untuk berkomunikasi secara terbuka, termasuk mencaci maki memuji sanjung secara terbuka pula.

Pertama - sekitar akhir 2009, saya baru membuka akun FB, waktu itu, novel duet pertama saya baru terbit. Iseng, saya singgah di wall kakak saya yang juga partner duet  pada novel itu. Dan disitu, di bawah status promonya untuk novel itu, entah kenapa, komentar2 teman2nya membuat saya sedikit kecil hati. Mengapa? Karena komentar2 di situ seolah-olah novel itu hanya karya satu orang, yaitu kakak saya, padahal, tanpa bermaksud mengecilkan peran kakak saya, nyatanya 90% porsi penulisan, saya yang menulisnya. Sebenarnya, sah2 aja teman2nya berkomentar demikian, toh kakak saya adalah teman mereka, dan itu wall-nya dia, wajar sekali sebenarnya kalo mereka berkomentar demikian. Namun waktu itu, karena semangat lagi menggebu2 (maklum, novel pertama :)), hal itu membuat saya bertekad akan  belajar menulis lebih giat agar kelak saya bisa menerbitkan novel solo dan membuktikan bahwa saya bisa menulis, dan bukan sekadar mendompleng di novel duet itu.

Kedua - sekitar awal 2010, masa ketika antology tengah naik daun di FB. Beranda saya dipenuhi dengan audisi2 antologi, dan tak jarang, saya pun diseret ke inbox2 berantai untuk berdiskusi tentang antologi. Salah satu inbox berantai yang menyeret saya waktu itu, isinya perempuan semua, rata2 udah mulai menulis sejak beberapa tahun, mengikuti organisasi kepenulisan, juga tak sedikit yang udah punya buku. Waktu itu, mereka seringnya ngobrol dengan bahasa daerah yang sama sekali saya nggak ngerti. Beberapa kali saya interupsi, meminta mereka ngbrol pake bahasa Indonesia saja karena saya nggak sesuku dengan mereka dan nggak ngerti materi pembicaraan, namun setiap kali pula dicuekin. Beberapa kali coba nimbrung, sama juga, tetep dicuekin. Sampai akhirnya praduga jelek itu melintas dalam benak saya, apa karena saya penulis anak bawang, yang baru punya secuil buku dan menulis pun baru2 ini saja, sehingga suara saya tak layak didengar? Dari situ, semangat menulis itu kembali menggelora. Saya ingin buktiin pada mereka yang ada di inbox itu kalo saya nggak akan selamanya jadi anak bawang, boleh2 saja mereka telah memulai start menulis lebih dulu, tetapi saya bertekad untuk bisa mengejar ketertinggalan itu, kalo perlu tak hanya mengejar, tetapi juga mendahului mereka untuk bisa menjadi kompetitor di arena literasi. Kompetitor dalam produktivitas juga dalam kualitas karya.

Ketiga - ini terjadinya di dunia nyata. Tahun yang sama, kota kelahiran saya menjadi tuan rumah event literasi cukup bergengsi, yaitu Temu Sastrawan Indonesia III (TSI III). Penulis dan sastrawan lokal diberi kesempatan untuk ikut serta, dengan syarat harus sudah menerbitkan buku dan mengumpulkan cerpen atau puisi untuk diseleksi. Maka, dengan antusias saya pun mendaftarkan buku, cerpen dan puisi saya ke panitia. TAk lama setelah itu, seorang sastrawan lokal mengundang saya ke rumahnya. Undangan yang membuat saya senang banget. Ada tiga orang sastrawan dan penulis lain yang datang juga. Awalnya, saya begitu naif dan bersemangatnya saat bercerita tentang aktivitas menulis saya saat ini yang mencoba ikut dalam berbagai audisi antologi di FB. Namun mereka tak tampak tertarik. Mereka malah balik bertanya, memangnya kamu tahu apa itu antologi? KAmu tahu nggak kalo menulisnya 2, 3, or 4 orang, itu juga udah namanya antologi, ada juga yang bilang, kalo dia nggak bakal ikut dalam proyek2 yang nggak bikin kualitas dia lebih ter-upgrade. Sampai di sini, saya mulai merasa inferior lagi.

Malam terus beranjak. Pembicaraan kian berkembang pada hal2 yang semakin membuat saya merasa kecil. Tentang persaingan sastrawan senior-junior, pengaruh intrik politik dan kepentingan terhadap sastra lokal, sastrawan yang diakui dan yang tidak, dsb. dan puncaknya adalah ketika salah satu dari mereka mengeluarkan surat keputusan walikota berisi nama2 penulis lokal yang terpilih untuk even TSI III itu. Saya baca, dan...nama saya enggak ada.

Kecewa tentu saja, karena nama2 yang terpilih, justru sebagian besar saya ketahui belum memiliki buku, dalam artian, sebenarnya nggak cukup syarat dong? Walaupun bbrp hari setelah itu panitianya bilang kalo nama saya sebenernya terdaftar, saya memilih tidak hadir. Iya kalo emang masuk list, kalo enggak, malu2in aja dong datang nggak diundang? :)

Kembali, saya merasa sedikit tertampar. Tamparan yang membuat saya memancang tekad, meskipun saya nggak bisa nulis yang nyastra2 seperti mereka, saya akan buktiin kalo saya bukan penulis jago kandang, biarlah nggak dikenal di kota sendiri  nggak apa-apa, yang penting karya saya, baik yang komersil maupun tidak, bisa dinikmati orang2 yang tinggal di tempat lain di negeri ini, di kota2 yang tak pernah saya datangi. Alhamdulillah, kekecewaan saya waktu itu sedikit terobati karena cerpen saya terpilih untuk mengisi antologi TSI III.

Keempat - kembali terjadi di dunia maya. Waktu itu, novel kedua saya baru terbit. Ada diskusi tentang EYD dan editan di sebuah grup nulis. Terutama untuk editan atas karya penulis yang EYDnya parah, itu menuntut kerja ekstra dari editor. Saya nimbrung, saya tanyakan, bagaimana kalo andai kesalahan itu justru dari editor, dan ini emang kenyataan, ada beberapa mistypo dalam novel saya pasca cetak yang sebelumnya tidak ada. Apa komentar sang empunya grup yang juga editor? Semoga tidak ada lagi penulis yang se............. @Riawani Elyta.

Iya, sodara2. Nama saya dimensyen. Sengaja saya kosongin titik2 itu karena saya udah lupa persisnya gimana, yang jelas asumsinya adalah bahwa saya penulis pemula yang terlalu pede dan sombong, sehingga menganggap naskah saya lebih baik kualitasnya dari hasil editan pasca cetak. Waktu itu, mata saya langsung menghangat, saya tulis lagi di bawahnya, saya siap mengirim naskah pra dan pasca cetak untuk anda melihat di mana bedanya. Dia ngejawab ngerasa nggak enak hati, tanpa permintaan maaf, dan tetap keukeuh bilang bahwa selama ini sebagian besar kesalahan EYD ada di pihak penulis.

Ya sudahlah. Dari situ saya bertekad bahwa saya harus belajar EYD lebih giat lagi, harus saya akui, saya memang masih lemah dalam hal ini, dan kedepannya nanti, saya nggak boleh lagi komplain soal kinerja editor pada editor :D Alhamdulillah, saat ini editor2 saya adalah orang2 yang komunikatif, juga rendah hati dan tak sungkan minta maaf untuk hasil koreksian yang kurang berkenan di hati penulis.

Hari ini, saya justru merasa berterima kasih pada mereka2 yang mungkin tak pernah menyadari kalau dulunya mereka pernah membuat saya merasa sedikit tertampar ini, tergelora semangat untuk lebih giat belajar menulis, mungkin, jika saya mengawalinya dengan jalan yang adem ayem saja, belum tentu antusias dan semangat saya untuk menulis bisa seperti sekarang. Jadi biar banyak orang bilang saya orangnya kalem dan pendiam, urusan ambisi, beda tipis aja koq sama Agnes Monica, hehe. Yang beda banyak banget itu penghasilannya :)

7 comments