Sinopsis :
Novel ini berkisah tentang Surya, seorang gembala kerbau
dari Toraja yang mendapat tugas dan amanah dari warga untuk mencari Mataallo,
adik Mentari kekasihnya yang diculik sekelompok orang tak dikenal di pinggiran
kota Rantepao. Tugas itu dipercayakan kepada Surya dan beberapa anak muda
kampung Waka.
Pencarian itu berbuntut panjang. Surya harus menempuh
perjalanan menyusuri Jogjakarta, Surakarta, bahkan berlanjut hingga ke Nepal.
Untunglah, di tengah perjalanan itu, Surya bertemu Rembulan, putri bangsawan Jogjakarta
yang membantunya untuk mengembalikan Mataallo yang telah dijual kepada seorang
juragan batik di Surakarta.
Lantas, kenapa Surya masih harus melanjutkan perjalanan ke
Nepal?
Adakah kelanjutan kisah asmara Surya dengan Mentari? Atau
justru Rembulan?
---------------------
Kalau saja bukan karena email yang saya terima hari itu, disusul
oleh kiriman buku ini beberapa minggu kemudian, mungkin, sampai hari ini saya
belum akan meresensi lagi. Bahkan beberapa lomba resensi pun saya lewatkan
begitu saja. Daya baca saya memang sedang terjun bebas. Meski saya tetap
membaca buku setiap hari, tetapi progress-nya macam siput. Begitu lama waktu
saya butuhkan untuk mengkhatamkan satu buku saja.
So...let’s talk about this book. Novel ini diluncurkan di
ajang Ubud Writers and Readers Festival 2019 lalu, merupakan novel debut,
setelah sebelumnya penulis lama berkecimpung dalam penulisan jurnalistik di
media massa lalu beralih menulis biografi.
Saat melihat sampulnya, yang walaupun terkesan sederhana dan
misterius karena didominasi oleh gambar siluet, saya langsung menebak kalau ini
adalah sebuah novel bertema perjalanan.
Dan perkiraan saya tidak meleset. Novel ini memang berkisah
tentang perjalanan tokoh sentralnya, Surya, mulai dari tanah kelahirannya di
Toraja, Parepare, lanjut lagi ke Jogjakarta, Surakarta hingga lintas negara
yang berakhir di Nepal.
Apa yang menarik, kita tidak hanya disuguhkan dengan deskripsi
dari masing-masing daerah yang disinggahi Surya, tetapi juga tentang tradisi lokal bahkan mitos
yang masih berlaku di setiap daerah. Apalagi, dengan mengambil latar waktu
tahun 1880an, masa ketika mitos-mitos masih sangat diyakini oleh masyarakat
bahkan memiliki kekuatan “hukum” adat yang sangat kuat.
Kita akan diajak menikmati gelaran adat rambu solo’ di tanah
Toraja dengan segala pernak-perniknya, pengobatan tradisional ala tabib dari
tanah Bugis, keindahan seni tari dan gamelan di Jogjakarta, hingga ritual
peribadatan di Nepal.
Satu hal yang juga tak kalah menarik buat saya, secara
keseluruhan, cerita ini dibidik dari sudut pandang Surya, tetapi penulis dengan
cerdik memosisikan dengan menggunakan sudut pandang segala tahu, sehingga bisa
dengan bebas menyampaikan kritik dan opini terhadap mitos dan tradisi yang dianggap
menyusahkan, dan sebaliknya, mengemukakan kekaguman pada tradisi yang membawa
dampak positif.
Seandainya saja penceritaan dikisahkan dengan “aku” atau “saya”
untuk mewakili pikiran dan pandangan Surya, bisa jadi terasa agak aneh. Karena ketika
kita berada di masa dan lingkungan dengan mitos dan adat di sekeliling pinggang
kita, boleh jadi, belum terpikirkan oleh kita apa yang terasa keliru atau
menyimpang karena hal tersebut sudah seperti bagian hidup yang harus dijalani. Penulis
juga menyelingi kisah ini dengan kehadiran orang-orang Belanda termasuk serdadu
VOC di Indonesia untuk memperkuat gambaran utuh tentang kejadian di era
tersebut.
Bicara tentang penokohan, sesuai judul dan sinopsisnya,
tokoh sentralnya dipercayakan kepada Surya. Tokoh dengan beragam karakter
positif melekat padanya, mulai dari memiliki akhlak dan tutur kata yang baik,
pintar berkelahi, bertanggung jawab dan setia kawan. Tetapi, bukan berarti
tokoh ini tak punya kekurangan. Silakan baca saja ya novel ini untuk menelisik
kekurangan Surya.
Kehadiran sosok Mentari dan Rembulan juga turut mewarnai novel
ini dengan rasa romantis berbumbu kisah asmara, meskipun peranan masing-masing hanya
mengambil porsi tidak lebih dari sepertiga isi cerita. Kita akan diajak
berkenalan dengan Mentari yang manja dan lemah lembut, serta Rembulan yang lebih
terbuka dan agresif. Silakan menebak kepada siapa hati Surya berlabuh, karena
tidak akan saya bocorkan di resensi ini.
Pengalaman penulis sebagai jurnalis dan penulis biografi
memang terasa begitu mewarnai novel ini. Setiap bab diceritakan dengan begitu
detail dan runut sehingga kita seakan membaca biografi Surya bercampur dengan
feature demi feature perjalanan hidup sang tokoh. Tradisi demi tradisi dan
mitos demi mitos yang sambung menyambung, juga merepresentasikan proses
penggalian ide dan referensi yang tidak main-main. Ini memang bukan sekadar
novel biasa. Tetapi novel yang memang “niat”. Niat yang lebih dari sekadar melahirkan
buku untuk dibaca, tetapi juga mewakili harapan, keinginan dan inspirasi yang
diserap penulis untuk disampaikan kepada pembacanya.
Nah, akhirnya kita sampai ke bagian yang (mungkin) dinanti
oleh segolongan pembaca resensi saya. Apa kira-kira kritikan untuk novel ini?
Rasanya, terlalu lancang untuk menyebut bagian berikut ini
sebagai kritikan, karena sampai mati pun rasanya saya belum sanggup menulis
novel sedetail ini. Cukuplah menyebutnya sebagai catatan saja. Catatan atas
hal-hal lain yang juga saya temukan didalam novel ini.
Pertama, dengan latar waktunya yang jadoel di era 1880an, terasa
janggal saat beberapa kali terselip dialog dengan rasa kekinian, contohnya saja
penggunaan kata ‘lebay’ yang tentunya belum dikenal di masa tersebut.
Kedua, saat membaca sinopsisnya yang mengambil fokus pada kisah
penculikan Mataallo, saya telanjur membayangkan bahwa ini bakal jadi kisah
pencarian yang menegangkan, seru dan bikin penasaran. Sayang, bayangan saya
sedikit keliru. Pada bab-bab awal saat adegan perkelahian berlangsung,
keseruannya cukup terasa. Tetapi, seiring perjalanan cerita, magnet dari kisah
Mataallo terasa kian menurun, tertutupi oleh detailnya penceritaan tentang
tradisi dan kehidupan sosial dari setiap tempat yang didatangi Surya dan
kawan-kawan.
Ketiga, sangat banyaknya tokoh didalam novel ini membuat
memori saya yang kapasitasnya kian terbatas ini, gagal mengingat persis siapa
dan bagaimana peran mereka begitu buku saya tutup. Yang tertinggal di benak
saya hanyalah ketiga tokoh yang tertera pada judulnya : Surya, Mentari dan
Rembulan. Mungkin, karena kehadiran
tokoh-tokoh lainnya itu memang hanya berfungsi sebagai pelengkap dan penguat cerita.
Tokoh yang memberi kesan dan pemaknaan hidup kepada Surya.
Keempat, meskipun sarat pesan dalam novel ini,
tetapi, entah karena terlalu banyak, atau karena antara satu dengan yang lain
seakan berdiri parsial, kembali, yang mampu terekam dalam benak saya adalah
satu pesan tentang makna kesetiaan dan ketulusan hati sebelum dua sejoli
menyatukan diri dalam ikatan pernikahan.
Sekadar repetisi, ini memang bukan novel biasa. Bukan novel
yang dibuat dengan referensi dan proses yang biasa-biasa saja. Dan sudah
terbilang luar biasa untuk sebuah novel debut. Hanya saja, penuturannya belum
bisa dikatakan lebih dari biasa. Saya berharap, penulis akan lebih mempertajam konflik
dan fokus cerita di novel-novelnya yang akan datang. Sehingga, bukan tidak
mungkin, novel-novel beliau bisa sejajar dengan karya-karya luar biasa karya
penulis-penulis fenomenal di negeri ini.
----------------------
Judul : Surya, Mentari dan Rembulan
Penulis : Sili Suli
Penerbit :
Arti Bumi Intaran
Tahun :
2019
Tebal : 469 hal
Menarik yaaa mba untuk tau lebih banyak tentang berbagai budaya dan mitos dari berbagai daerah. Toraja pasti punya budaya yang khas yaa
ReplyDeleteaku tertarik sma settingnya yang sampe nepal ini, jd bayangin ini novel yang bisa buka wawasan kita tentang daerah2 di Indonesia dan Nepal
DeleteTahun 1880 ada istilah lebay emang janggal banget ya. Saya pikir bahasa Indonesia yang baik dan benar saja blm diketahui banyak orang, apalagi orang daerah. Orang Jakarta saja eh maksudnya para penggede atau pejabat jaman itu, belum tentu tahu bahasa Indonesia semuanya, selain bahasa daerah dan bahasa Belanda kali ya
ReplyDeleteMenarik sekali nih novel, apalagi dengan mengambil latar waktu tahun 1880an, masa ketika mitos-mitos masih sangat diyakini oleh masyarakat bahkan memiliki kekuatan hukum adat yang sangat kuat. Jadi penasaran pengen beli.
ReplyDeleteMenarik ya mbak soalnya tiap2 daerah yang dikunjungi si Surya ini dibahas dalam buku.. Jadi berasa ikut berjelajah kitanyaa..
ReplyDeleteAku makin penasaran pgn baca
Sepertinya ini novel yang menarik, selain bisa membaca kisah romansa kita juga bisa dapat pengetahuan tentang kebudayaan di beberapa daerah. Apalagi berkaitan dengan adat dan mitos di masyarakat, asyik untuk dipelajari
ReplyDeleteKayaknya menarik banget nih novelnya mbak, sedari dulu selalu suka novel perjalanan karena suka berasa ikut terbawa di dalamnya, serasa ikut menjelajah walaupun lagi baca sambil rebahan di kamar hehehe.
ReplyDeleteJadi Surya akhirnya milih Rembulan atau Mentari nih mbak? *anaknya suka mancing*
Baca resensimu ada 1 yang bikin aku trtarik: cerita adat2 dari berbagai tempat yang ad di novel. Aku selalu tertarik dengan khas/ adat sebuah daerah, pasti itu ada mitos2nya yang ga masuk akal tapi emang seru diikutin. Mungkin karena ini isinya terlalu banyak tempat kali ya, jadiny ga bisa fokus ke 1 adat aja, maka itu harus bagi2 sama tempat lain biar bisa masukin adat2 lainnya juga.
ReplyDeleteMbaa, udah lama nih aku nggak baca novel. Baca resensinya buat aku tak sabar untuk membacanya lagi secara menyeluruh
ReplyDeleteHebat Mbak bisa ngeh detail kayak penggunaan bahasa lebay yang gak cocok di tahun 1880an kalau aku baca novel kadang gak ngeh sama hal hal minor seperti itu hihi
ReplyDeleteSalah satu yang saya suka dari baca novel dengan tipe ini, yang latar belakangnya lokasinya beragam, adalah ketika penulis menggambarkan seluk beluk lokasinya ya. Saya membayangkan di novel ini, saya bisa ikutan jalan-jalan ari Toraja, Jogja sampai Nepal Mbaaaaa....
ReplyDeleteMelalui tulisan ini aku jagi berlajar bagaimana melihat novel yang bagus, memang banyak sisi untuk menilai sebuah novel, biasanya saya melihat dari ceritanya dulu. jika cerita tentang kehidupan dan romantisme biasanya aku enjoy bacanya
ReplyDeleteAku koq jadi penasaran sama bukunya. Masa-masa tahun 80-an pernah banget ngalamin dan memorinya luar biasaaa
ReplyDeleteMenarik nih sepertinya novelnya, apalagi berlatar masa lalu, ada mitos-mitosnya juga, dan pasti ada romance-nya juga. Aku suka lho baca novel yang ada latar belakang sejarah dan masa lalu begini apalagi kalau pendeskripsian suasananya kena banget dan bisa membawa aku seakan berada di masa itu juga. Nanti cari ah novel ini
ReplyDeleteEyaampun, aku terhanyut. Rame kayaknya ya novelnya. Kepengen baca lengkapnya deh. Masih ada kayaknya ya di Gramedia. Nyari aaah...
ReplyDeleteNama tokohnya unik2 ya mbak :D
ReplyDeleteWah latarnya jadoel sekali yaaa tahun 1800 itu aku gak tau era apaan, tapi emabg terasa sangat anaeh kalau ada kata bahaasa gaul diselipkan hehe, mbak jeli banget sih :D
Beraaatt...
ReplyDeleteKategori novel yang amat sangat aku hindari untuk saat ini.
hiiks~
Karena bener, 2019 bulan demi bulan tak terasa terlewati. Dan akhirnya, tinggal beberapa hari lagi jelang 2020.
Semoga aku suatu hari nanti bisa menikmati Novel Surya, Mentari dan Rembulan.
Terima kasih banyak reviewnya mbak Riawani Elyta. Mohon maaf baru sempat membuka blognya mbak Riawani yang keren ini. Sukses selalu buat karya-karyanya mbak Riawani. Salam hormat dari Makassar
ReplyDeleteMembayangkan proses pencarian penculikan yang menegangkan oasti ya mbak :) Duh aku jadi pingin baca bukunya juga nih penasaran
ReplyDeleteBaru kali ini lho mba baca review buku yang kisahnya menonjolkan budaya Toraja, dibalut kisah tentang penculikan dan ada bumbu asmaranya gitu.
ReplyDeletePasti menarik ya jalinan kisahnya. Jadi ikut membayangkan budaya di Toraja, perjalanan Surya hingga ke berbagai wilayah Indonesia, bahkan hingga ke Nepal. Penasaran nih akhirnya Surya menikah dengan Mentari atau Rembulan.
Hello Come to my website to view the contents of my website
ReplyDeleteBOLA PELANGI - BANDAR MIX PARLAY TERBESAR DI INDONESIA HANYA DENGAN 1 USER ID SUDAH BISA BERMAIN SEMUA GAME. Join US ! klik link di bawah ini ☟
https://beacons.ai/slotindonesia
https://beacons.ai/parlaypelangi