Ini sebenarnya masih ada hubungannya dengan tulisan saya
terdahulu (baca : Saat kau sudah tak menarik lagi bagiku), jadi, kalau
ditelisik lebih jauh, alasan saya mengurangi intensitas bersocial media,
terutama facebook, salah satunya adalah, pengalaman kurleb 7 tahun menjadi
pengguna aktif facebook, pada akhirnya menyadarkan saya bahwa facebook, dan
apapun social media yang kita punya, tak seharusnya menjadi “tempat sampah”
yang menampung segala yang ada dalam pikiran dan perasaan kita.
Justru sebaliknya, kita justru harus ekstra
hati-hati saat menulis atau mengunggah sesuatu di social media. Kenapa?
1.
Apa yang kita tulis dan unggah, selama itu diset
publik atau teman, maka yang punya akses untuk membacanya sudah pasti lebih
dari satu orang (kecuali kalo kita memang nggak berteman dengan siapa-siapa). Bahkan
bisa jadi terbaca oleh puluhan, ratusan bahkan ribuan orang. Ya. Siapa yang
tahu, berapa banyak orang yang diam-diam men-skrinshot apa yang kita tulis lalu
membagikannya di grup-grup komunikasi tertutup seperti WA, BBM dan sebagainya? Syukur-syukur
kalau tulisan kita mengandung ilmu, inspirasi, ataupun sesuatu yang lucu dan
menghibur? Tetapi kalo ternyata yang dibagikan (dan dibicarakan) orang-orang di
belakang kita adalah tentang (status) kita yang nyinyir, baper nggak karuan,
menebar kebencian, dan segala yang beraroma negatif, apa itu nggak merugikan
diri kita sendiri namanya?
Tetapi itu ‘kan salah mereka. Siapa suruh
mengghibah? Dosanya ‘kan mereka yang nanggung?
Iya benar. Ghibah itu dosa. Dan kita nggak
punya kuasa untuk mencegah orang dari mengghibah. Bahkan menahan diri dari mengghibah
aja bukan main susahnya. Tetapi, setiap perbincangan tentu punya asal usul dan sebab
musabab. Sedangkan sudah berusaha berbuat baik pun, tetap ada aja yang enggak
suka dan digossipin, apalagi kalau yang kita lakukan (dan kita tulis) adalah
sesuatu yang kurang baik, kurang elok, kurang etis, kurang hati-hati, dan
kurang-kurang yang lainnya?
Jadi, sepertinya lebih baik untuk menahan
diri ketimbang enggak peduli apalagi enggak hati-hati, bukan?
2.
Kita tidak pernah tahu secara mendalam semua
teman-teman kita di social media, right? Kecuali jika kita memang hanya (mau) berteman
dengan mereka yang sudah kita kenal baik di dunia nyata. Tetapi, sudah menjadi
sifat alamiahnya manusia suka pada sesuatu yang “banyak” secara nominal, suka
bersosialisasi dan berinteraksi meski enggak kenal-kenal amat. Sepertinya lebih keren dan gahol kalo jumlah
teman dan follower kita banyak ketimbang sedikit, bukan? Apalagi, jika kita
termasuk orang-orang yang nyari duit dengan fasilitasi social media, menjadi
buzzer misalnya, sudah menjadi syarat mutlak untuk punya jumlah minimal
follower sekian ribu orang. Dan sebagai konsekuensinya, kita harus siap
menerima dan menjalin pertemanan dengan orang-orang yang enggak kita kenal demi
mencapai jumlah teman dan follower yang disyaratkan.
Dan saat menjadi seorang buzzer,
kehati-hatian dalam bersocial media justru harus lebih meningkat. Enggak hanya
karena faktor banyaknya unknown follower, tetapi juga tak sedikit brand-brand
yang melakukan stalking ke akun-akun para calon buzzer untuk memilih dan
memilah para buzzer yang sesuai dengan standar mereka, termasuk standar etika,
kenetralan dan kelayakan yang tercermin dalam status-status kita.
3.
Pernah lihat meme ini enggak?
Artinya, simple aja, social media maupun
sarana-sarana komunikasi virtual, bisa menjadi cermin keaslian atau kepalsuan. Tergantung
kejujuran kita masing-masing. Jadi, ketika kita menulis sesuatu, sebagian mungkin
menganggap jujur. Tetapi sebagiannya lagi tidak. Dan justifikasi yang terjadi
di dunia maya itu, nyatanya jauh lebih kejam ketimbang di dunia nyata. Salah satunya
karena kita enggak bisa melihat ekspresi langsung seseorang saat menulis atau mengunggah
sesuatu. Dan itu bisa saja menimbulkan persepsi yang berbeda.
Jadi, sebaiknya gimana donk?
Ya terserah kalian aja, hehe.
Ketika saya menulis sesuatu yang sifatnya personal atau curhatan
di blog ini, saya bilang pada diri saya untuk berusaha maksimal agar
tetap netral, tidak melakukan justifikasi (dengan menilai si A salah dan si B
benar), ataupun persuasif (agar orang sepakat dan hakul setuju dengan apa yang
saya tulis). I feel free to write it and I hope you've no hard feeling about it.
Saya yakin dan percaya semua pembaca blog saya adalah orang-orang
yang cerdas memilih dan memilah mana yang baik dan enggak baik untuk dilakukan.
Jadi cukuplah tulisan ini sebagai pengutaraan opini belaka. Mewakili sikap dan
pilihan saya yang tentu saja tidak harus menjadi pilihan dan sikap kalian pula.
Jadi, kembali ke judul tulisan ini, bisakah (di zaman ini) kita hidup tanpa social media? It depends on your choice. And it's yours to choose what to do and not do with your social media. The most important is, you know well about your goal and every consequences of what you do.
Happy weekend semuanya
Selamat melanjutkan hidup bersama (atau tanpa) social media :)
Selamat melanjutkan hidup bersama (atau tanpa) social media :)
Kalau di kota, agak susah ya Mba. Tapi kalau di desa, saya rasa bisa2 aja. Tergantung keadaan lingkungan sekitar. Juga pastinya tergantung kebutuhan orang itu juga. Karena ada orang kota yang gak punya sosmed walau gak banyak.
ReplyDeleteKayanya kalau jaman sekarang susah mbaak ya ndak pake sosial media karena banyak hal penting gtu biasanya diumuminnya lewat sosmed. hehehe tp kayanya saya seminggu kedepan bakal jarang buka sosmed karena td barusan hp saya kecopetan. Hikss jd cuman bisa buka kalau lg online lewat PC. #kokjadicurhat btw makasih sharingnyaa mbaak yaa, salam kenaal :D
ReplyDeleteAku pernah ngerasa ada sesuatu yg hilang pas ga megang gadget.heuheu
ReplyDeleteTapi makin kesini udah berangsur biasa aja sih tanpa sosial media. Mungkin saking riuhnya :D
Hidup tanpa sosial media ? Pasti bisaaa ... Yang tak bisa itu hidup tanpa bersosial ...
ReplyDeleteHmm, aku mungkin gak bisa kalau bener-bener off sosial media. Kalau mengurangi penggunaan dan mengendalikan sosial media bisa.
ReplyDeleteDan memang, kita harus bijak ketika mengeshare segala sesuatu di sosmed, biar timeline kita juga adem.
Skolah2 pun pd punya akun fb dan ig. Grup2 kelas, komunikasi antar guru dan ortu via WA..
ReplyDeleteBnar2 nggak bisa lepas dari sosmed..
hiburan si mba bwt aku sosmed ini meski jd silent reader tp suka ketawa aja sama yg muncul di sosmed
ReplyDeletebisa mak tapi suliiiiiiiiiiiiiittttttttttttttttttttttt banget
ReplyDeleteBisa kak Ria,, Sekarang ini, saya kadang off buka sosmed selama weekend atau hari-hari sibuk. Lumayan lho, jd rasanya buka sosmed bener2 buat refreshing aja. Paling2 kalau ada teman lama yg cuma terkoneksi di sosmed jd ngomel dikit, karena chat lama dibalas hihihi
ReplyDeletesetuju, sha sekarang sering mikir ulang tiap kali mau posting, malah kadang gajadi di posting :D
ReplyDeleteBelum bisa kak karena jualan di medsos
ReplyDeleteKalo sekarang sih rasanya susah tuk lepas dari medsos. Lah wong kita promonya pake medsos :)
ReplyDeleteRasanya memang susah hidup tanpa sosmed apalagi jika profesi KT sbg orang media. Hehehe... Sosmed adalah jaringan untuk menyebarkan tulisan kita.
ReplyDeleteira pnh cb mbak tanpa media sosial...
ReplyDeletekuatnya shari hahhaha
kadang pingin juga hidup tanpa gdget
Gadget emang bikin hilang fokus..
ReplyDeleteBelum bisa karena udah jadi profesi di medsos
ReplyDelete