Sinopsis :
Kebayang
nggak situasi seperti ini : saat-saat menjelang momen pernikahan, dengan
tubuhmu yang sudah berbalut gaun pengantin, para tamu undangan dan keluarga
sudah berkumpul, tinggal selangkah lagi kamu dan dia akan mengikat janji suci
pernikahan, tiba-tiba saja kamu mendapat kabar kalau calon suamimu tidak akan
datang dan pernikahan kalian dipastikan batal?
Duh,
pasti deh, semua jenis perasaan negatif yang kamu kenal, bercampur menjadi satu
: sakit, terluka, kecewa, malu, geram, marah, patah hati, trauma, apapunlah
namanya.
Hal
ini jugalah yang dialami Abigail Kenan Larasati, atau Abby, saat ditinggal calon
suaminya Andre Danadyaksa atau Andre, pada menit-menit menjelang pernikahan
mereka diikrarkan. Peristiwa tak terduga
itu membuat Abby memutar haluan hidupnya 180 derajat. Ia melepas karirnya yang
sedang menanjak di salah satu konsultan arsitektur terbaik di Asia Tenggara dan
banting setir menekuni bisnis online.
Yaitu bisnis mendesain kartu ucapan dan sketsa (hal. 15).
Namun
kesibukan barunya itu tak lantas membuat Abby dapat melupakan kenangan buruknya
itu dengan mudah. Setahun sudah ia lalui, tetap saja Abby masih berkubang dalam
kenangan. Akhirnya, sebuah buku travelling
yang ia baca menginspirasinya untuk melakukan hal gila : travelling dengan mengenakan gaun pengantin! Dan Penang, menjadi kota
destinasinya.
Di
kota ini, Abby bertemu dengan Wira, seorang passionate
traveller dan juga penulis buku travelling.
Sebuah kebetulan yang mengejutkan, karena Wira ternyata adalah penulis buku travelling berjudul Quirky Traveler yang
sudah menginspirasi Abby untuk melakukan travelling.
Bersama Wira, Abby menjalani pengalaman barunya sebagai traveller di Penang lalu berlanjut ke Singapura. Kebersamaan itu
ternyata memberi warna baru pada kehidupan Abby serta memantik cukup banyak
perubahan dalam dirinya. Hanya satu yang sulit berubah : keputusan Abby untuk
melepas gaun pengantinnya selama melakukan perjalanan.
Memangnya,
apa sih yang bikin Abby keukeuh memakai gaun pengantin selama travelling? Dan kenapa pula Andre tega meninggalkannya
pada menit-menit menjelang pernikahan? Apakah perjalanan itu berhasil menghapus
luka hati Abby?
Kalian harus temukan sendiri jawabannya di novel terbaru Dy
Lunaly ini ya.
Ups,
segitu doang? Ya enggak lah, masa’ saya tega bikin kalian penasaran dengan
kasih sinopsisnya aja? :D Jadi, yuk ikuti ulasan lengkap saya untuk novel
berstempel Wedding Lit terbitan Bentang Pustaka ini :
Kita
mulai dari tema. Karena tema adalah dasar
cerita atau gagasan utama dari sebuah novel. Dari sinopsis di atas, jelas
terlihat kalau tema novel ini tergolong konvensional, alias sudah umum diketahui.
Atau dalam istilah teoritisnya disebut tema tradisional. Yaitu tentang seorang
wanita yang ditinggal menikah, dampak psikis yang dialaminya pasca kegagalan,
dan bagaimana langkah yang ia tempuh untuk mengobati lukanya itu. Namun, satu
hal yang unik di sini, adalah keputusan si tokoh utama (Abby) untuk mengenakan
gaun pengantin saat melakukan travelling.
Buat
kamu yang udah pernah bersanding di pelaminan, pasti deh tahu persis kaya’ apa
rasanya mengenakan gaun pengantin, bahkan gaun pengantin yang paling simpel
sekalipun. Tetep aja rasanya sepuluh kali lebih ribet dan nggak nyaman
dibanding pake t-shirt!
Nah, kebayang nggak, gimana rasanya pake gaun pengantin
selama travelling? Apa nggak
merepotkan? Tapi......meski ini hanya fiksi, ada satu message yang bisa kita ambil : wanita
bisa nekad melakukan hal-hal paling absurd di dunia saat hati mereka udah luar
biasa tersakiti dan kecewa. Jadi, kalo ada orang terdekatmu – entah
kakak, adik, sahabat atau kerabat – yang baru aja melewati peristiwa tragis
dalam hidupnya dan itu bikin dia down
banget, sebaiknya jangan pernah meninggalkannya, berilah dia dukungan dan
perhatian agar jangan sampai melintas di pikirannya untuk melakukan sesuatu
yang absurd apalagi yang sampai membahayakan dirinya.
Oh ya, cover novel ini juga udah pas banget deh untuk merepresentasikan tema ini. Selain ada gambar wedding dress-nya, juga ada gambar benda-benda yang selalu menyertai seorang wanita saat melakukan travelling, seperti topi, kamera, dan tas tangan.
Oh ya, cover novel ini juga udah pas banget deh untuk merepresentasikan tema ini. Selain ada gambar wedding dress-nya, juga ada gambar benda-benda yang selalu menyertai seorang wanita saat melakukan travelling, seperti topi, kamera, dan tas tangan.
Kita
lanjut ke plot. Novel ini
sesungguhnya menggunakan pola plot progresif atau kronologis, di mana rangkaian
peristiwa disajikan secara runtut mulai dari tahap awal (situasi, pengenalan
tokoh dan akar pemunculan konflik), tahap pertengahan (mulai terjadi konflik
diikuti klimaks), dan tahap akhir (penyelesaian). Namun di sini, penulis
mengombinasikannya dengan beberapa kali flashback
peristiwa yang dilalui oleh tokoh utamanya (Abby). Dan untuk kejadian di masa
lampau, tulisannya dicetak miring sehingga kita bisa langsung tahu, mana
peristiwa yang sedang terjadi, dan mana yang merupakan rewind dari memori Abby.
Unsur
lain yang tentu saja nggak boleh kita lewatkan adalah penokohan. Ada 2 (dua) tokoh utama dalam novel ini : Abby dan Wira.
Selain itu, ada tokoh tambahan seperti Gigi (adik Abby), ortu Abby, Noura
(sahabat Wira) dan Jiyad suaminya serta Cacha anaknya, Adhia
(sahabat yang pernah dicintai Wira) dan Kalyan (pria yang dinikahi Adhia).
Tidak terlalu banyak, memang. Dan kehadiran para tokoh tambahan ini juga porsinya
tidak terlalu besar. Jadi, jalan cerita ini memang lebih banyak digerakkan oleh kedua tokoh utamanya Abby dan Wira. Otomatis, pembaca bisa dengan mudah mengenali watak kedua tokoh utama ini.
Apalagi, penulis juga nggak pelit dalam mendeskripsikan tokoh-tokohnya.
Si
Abby digambarkan sebagai gadis yang cantik, mungil, takut sama ketinggian,
awalnya nggak suka travelling, punya skill di bidang desain dan sketsa, serta sifatnya sedikit childish. Sedangkan Wira, hmm, ini
bener-bener representasi karakter Gary Sue banget deh, alias Mr. Perfect. Cakep,
cool, sweet, romantis, selalu
nolongin Abby pula. Oh ya, si Wira ini punya passion di dunia travelling
dan rajin menulis pengalaman travellingnya di blog, dari situlah dia
sering dapet job sebagai
kontributor travelling untuk majalah,
mengulas tempat-tempat yang dikunjunginya atas permintaan brand tertentu dan juga membantu web tourism board lokal (hal. 54). Sepertinya,
apa yang dilakukan Wira ini merupakan incaran para travel blogger deh. Bisa jalan-jalan dan liburan ke berbagai tempat
dan dibayar pula!
Yuk kita lanjutkan pada unsur berikutnya yaitu latar. Nah, menurut saya, unsur latar dalam novel ini nih juaranya.
Karena cara penulis mendeskripsikan latar tempat dan pengalaman kedua tokohnya saat
jalan-jalan, sukses bikin saya mupeng ke Penang dan ke Singapura (lagi).
Buat
kalian yang belum pernah mengunjungi kedua kota ini, yuk intip beberapa
tempat yang dikunjungi Abby dan Wira :
Restoran
Hameed.
Sumber : www.supermengmalay.blogspot.co.id
|
Garden by The Bay. Sumber : doc. pribadi |
Garden by The Bay di waktu malam. Sumber : doc. pribadi |
Esplanade. Sumber : doc. pribadi |
Jadi,
menurut saya lagi nih, novel ini sepertinya lebih cocok dikasih stempel
TravelLit ketimbang WeddingLit. Karena nuansa travelling-nya benar-benar kental, sementara kisah tentang wedding (yang gagal) hanya menonjol di awal
cerita. Walaupun diceritakan bahwa tokohnya terus-terusan mengenakan gaun
pengantin selama travelling, “ruh”
dari cerita bernuansa wedding tidak
terlalu kuat. Ini mungkin disebabkan deskripsi dari respon orang-orang terhadap Abby
yang mengenakan gaun pengantin di saat travelling
terasa minim. Sepertinya, kesan dari wedding dress ini akan lebih
menonjol jika disertakan juga pengalaman-pengalaman seru Abby terkait gaunnya
itu selama perjalanan.
Misalnya
aja nih, dia kesulitan melangkah, terinjak ujung gaun lalu jatuh guling-guling, bajunya kena lumpur tebal yang sulit
dibersihkan sementara Abby sudah bertekad mau memakai gaun itu terus, Abby dilarang
masuk ke tempat-tempat tertentu karena dikira sakit jiwa, atau kalo mau yang agak heboh, saat Abby jalan sendirian di
Penang dan tersesat (hal. 33), dia ketemu pria yang sakit jiwa beneran dan
mengira Abby itu pengantinnya yang berusaha kabur. Tapi yang Abby temui saat
tersesat itu justru......si Mr. Perfect alias Wira. Enak banget deh si Abby.
Lagi kesusahan malah ketemu pangeran ganteng yang penolong :p.
*kenapa pula saya jadi ngiri sama Abby?* Let’s
back to the topic.
Saya
lanjutkan dengan sudut pandang. Novel ini menggunakan sudut pandang
persona pertama : Aku, yang diceritakan dari tokoh utamanya Abby. Jadi sudah pasti, semua cerita yang mengalir,
adalah berdasarkan sudut pandang Abby. Pikirannya, perasaannya, responnya,
pengamatannya, dan sebagainya.
Gaya bahasa yang
digunakan adalah gaya pop-komunikatif yang memang jadi ciri novel
populer pada umumnya dan ciri si penulis sendiri. Kebetulan, ini adalah
novel kedua Dy Lunaly yang saya baca (yang pertama judulnya NY Overheel). Dan
gaya bahasa di kedua novel ini jelas menunjukkan ciri khas seorang Dy. Lincah,
ngepop, komunikatif, mengalir, kadang diselipi humor. Sekilas mengingatkan saya
pada gaya penuturan Sophie Kinsella tapi dalam versi yang lebih muda.
Terakhir,
amanat atau pesan. Selain membawa pesan tentang pentingnya menjaga
perasaan wanita seperti yang udah saya sebutkan di atas, dari novel ini
juga kita bisa menarik pelajaran bahwa melakukan perjalanan itu dapat
mengantarkan kita pada hal-hal yang tak terduga. Mulai dari mendapatkan
pengalaman dan wawasan baru, mengubah cara pandang, pikiran dan perasaan kita
bahkan sampai mempengaruhi keputusan penting dalam hidup kita, juga bukan hal
mustahil, kita bisa berinteraksi dengan orang-orang baru yang akan memberi
warna baru pula dalam kehidupan kita. Pesan lain yang tak kalah penting adalah, bahwa kita bisa bahagia jika kita sendirilah yang memilih untuk bahagia.
Selain
pelajaran yang bisa dipetik dari perjalanan Abby dan Wira, hal positif tentang travelling ini juga disampaikan secara
eksplisit sejak awal lewat tokoh Gigi. Ini nih yang dikatakan Gigi pada Abby
sebelum Abby melakukan travelling
(saya ringkas saja ya) :
“Ini aku
kasih sepuluh alasan kenapa kamu harus travelling. Satu, biar kamu bisa move
on. Dua, biar kamu sadar bahwa kebahagiaan itu bergantung sama diri kamu
sendiri. Tiga, buat ngingetin kamu kalau hidup itu cantik banget. Empat,
travelling ngajarin kamu ngelihat dari perspektif yang baru. Lima, biar kamu
bisa kembali fokus. Enam, untuk ciptain
kenangan baru. Tujuh, kesempatan nyari inspirasi desain baru. Delapan, biar
kamu sadar betapa beruntungnya hidup kamu. Sembilan, untuk jatuh cinta lagi
sama hidup. Dan sepuluh, bisa bikin kamu menemukan diri kamu.” (hal. 26-27).
Secara
umum, novel yang bersih dari typo ini tergolong menghibur dan menyenangkan.
Terutama buat kamu yang ngefans dengan gaya penceritaan model Dy Lunaly ini -
lincah, segar, ringan, mengalir, komunikatif. Oh ya, di dalam novel ini juga
bertabur ilustrasi sketsa karya penulisnya sendiri lho. Ini nih contohnya :
Khusus
untuk sosok Andre, saya ingin memberikan komentar khusus. Mulai dari
kemunculannya yang tiba-tiba saat Abby nonton di Esplanade setelah setahun sosok
ini raib, juga alasannya meninggalkan Abby yang bikin saya langsung ngomong
sendiri dengan tanda seru : omaigot, kenapa diantara sejuta alasan, harus
alasan itu yang menjadi sebab dia meninggalkan Abby?!
Buat
saya, cowok seperti Andre ini sangat tidak pantas berkeliaran bebas dan damai
di muka bumi, apalagi setelah dengan semena-mena mencampakkan seorang gadis
cantik di altar pernikahan dan saat bertemu kembali, si gadis hanya bisa
terdiam menyaksikannya pergi bergandengan dengan *teeeet, alarm spoiler
berbunyi*.
Baiklah,
sepertinya, komentar saya untuk Andre sekaligus jadi penanda kalau ulasan saya
sudah selesai. Untuk itu, sebelum pamit saya mau menyampaikan ucapan closing : kepada Dy Lunaly, tetap
produktif berkarya ya, karena kamu punya potensi untuk jadi Sophie Kinsella-nya
Indonesia. Kepada kalian yang udah baca ulasan ini dan penasaran mau baca novel
ini, ayo segera cari di toko. Buat kalian yang lagi patah hati dan pingin
menghibur diri dengan baca novel ini, sebaiknya segera antisipasi dengan cari-cari
info destinasi travelling yang
menarik, karena bisa jadi kalian
langsung mupeng travelling setelah
baca novel ini :)
Oh
ya, seperti biasa, saya selalu mengakhiri ulasan dengan kutipan-kutipan favorit
dari buku yang saya baca. Dari novel My Wedding Dress ini, berikut adalah kalimat-kalimat
favorit saya :
Life is more
than series of moments. We can always make choices. And that what makes us who
we are.
Bahagia bukan tentang apa yang kamu punya, apa yang udah kamu lakuin, bahagia itu tentang mensyukuri hidup dan menikmatinya sebaik mungkin (hal. 131).
Kalau
lagi patah hati, kamu cukup ingat ini. If
it’s good, it’s wonderful, if it’s bad, it’s experience. Intinya, kita
nggak perlu menyesali apa yang terjadi, baik atau buruk. Kalau udah bisa
ngelakuin itu, berarti kita udah bisa berdamai dengannya. (hal. 234).
Nggak
ada hidup yang sempurna. Hidupku jauh dari sempurna. But yes, I’m happy. Karena aku memilih untuk bahagia. Aku memilih
untuk berhenti mengeluh dan mensyukuri hidupku, apapun kondisinya (hal. 235).
---------------------------------------------
Judul : My Wedding Dress
Penulis : Dy Lunaly
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun : 2015
Tebal : 270 hal
Mba Elyta, reviewnya cakeeep banget. Aku yakin dirimu pasti menang. Aku yang udah baca #MyWeddingDress aja jadi kepingin baca ulang hihiii
ReplyDeletetrima kasih intan udah mampir....Amiin.
Deletesemoga menang mba.. reviewnya cakep and apik tenan
ReplyDeleteAmiin....makasih ya :)
Deletewoow hebat bis agunakan hasil karya sendiri
ReplyDeletesiapa tahu juaranya milik mbva
ReplyDelete