gambar dari sini |
Suatu hari sepulang kerja, saat melintasi acara soft opening bank syariah, saya iseng berkata
pada rekan saya, “Sepertinya, jumlah bank syariah sekarang terus bertambah ya.”
Rekan saya menjawab, “Jumlah memang terus bertambah,
tapi tidak semuanya menjalankan sistem keuangan syariah murni.”
Saya bertanya lagi. “Maksudnya?”
“Meski namanya syariah, masih banyak kok bank syariah yang menggunakan sistem seperti bank konvensional. Hanya beda istilah saja.”
Jawaban ini membuat saya terdiam. Sebagai seorang
yang berpendidikan, saya yakin rekan saya tidak asal bicara. Sebagai salah satu
nasabah bank syariah, saya juga masih awam dengan berbagai istilah dan skema
keuangan syariah, selain sebatas hal-hal mendasar dan berhubungan dengan produk
syariah yang saya gunakan saja.
Terbayang oleh saya, apa kira-kira yang tergambar
dalam benak masyarakat awam, khususnya masyarakat pedesaan atau kepulauan yang minim
akses informasi, saat mendengar nama bank syariah? Atau saat mendengar
istilah-istilah keuangan syariah seperti murabahah, mudharabah, wadiah, ijarah
dan sebagainya? Akankah mereka beranggapan bahwa bank syariah adalah bank yang
ditujukan untuk umat Islam saja? Ataukah bank yang semua produknya menggunakan bahasa
Arab? Ya. Ini bukan sesuatu yang mustahil, karena segolongan masyarakat kita masih
mengidentikkan Islam dengan Arab.
gambar dari sini |
Jadi, kesimpulan sementara saya, bahwa bank syariah masih
terkesan “eksklusif” di mata sebagian masyarakat kita. Saya lalu mencoba
mengumpulkan data dan fakta terkait bank syariah di Indonesia, serta mendengar
pendapat orang-orang di sekitar saya tentang apa yang mereka ketahui tentang
bank syariah. Dari proses tersebut saya kemudian melakukan analisis SWOT terhadap
kondisi perbankan syariah di Indonesia, dan inilah hasilnya :
- S (strength / kekuatan)
Saat krisis ekonomi tahun 1998
terjadi, bank syariah yang ada di Indonesia ketika itu terbukti mampu bertahan
di saat banyak perbankan konvensional mengalami collaps yang diikuti dengan
tindakan likuidasi dan merger dalam rangka penyelamatannya. Fakta ini
menunjukkan bahwa sistem keuangan syariah yang melandasi perbankan syariah
adalah sistem yang sehat, teruji dan kompatibel.
Mengingat perbankan konvensional
telah lebih dulu hadir di Indonesia, masih banyak masyarakat yang meragukan eksistensi
bank syariah. Keraguan ini antara lain disebabkan rendahnya pemahaman
masyarakat terhadap sistem keuangan syariah dan bank syariah itu sendiri.
Selain itu, belum adanya payung
hukum berupa Undang-undang (UU) Perbankan Syariah (legal formal) juga membuat
industri bank syariah belum dapat berkembang maksimal. Sejak berdirinya bank syariah pertama di Indonesia pada tahun 1991, kenaikan jumlah bank syariah di
Indonesia tidak sebanding dengan jumlah bank konvensional. Menurut data yang
dirilis Bank Indonesia tahun 2005, baru terdapat tiga bank umum syariah (BUS),
17 unit usaha syariah (UUS), dan 90 bank perkreditan rakyat syariah (BPRS) yang
beroperasi di Indonesia1). Bandingkan dengan jumlah bank
konvensional yang jumlahnya sudah mencapai ratusan.
Penduduk Indonesia yang berjumlah
lebih kurang 270 juta jiwa dan mayoritas beragama Islam, adalah potensi besar
untuk dilakukannya sosialisasi dan pengembangan bank syariah. Apalagi, semua umat
Islam pastilah menginginkan keselamatan hidup dunia dan akhirat, maka ini dapat
menjadi peluang emas bagi bank syariah untuk meningkatkan pemahaman masyarakat akan
sistem keuangan syariah yang non-ribawi dan mendekatkan masyarakat muslim
Indonesia dengan bank syariah.
Penggunaan bahasa Arab terhadap
jenis-jenis transaksi syariah yang tidak didukung dengan sosialisasi akan
pengertiannya, dapat membuat masyarakat awam merasa kurang familier dengan
sistem bank syariah. Ditambah lagi persepsi segolongan orang bahwa masih banyak
bank syariah yang menerapkan sistem syariah hanya di tataran permukaan
sementara kontennya tetap mengacu pada sistem konvensional, ini juga dapat
menggerogoti kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah.
Dari
analisa SWOT di atas, kita dapat melihat permasalahan utamanya adalah pada
minimnya pengetahuan masyarakat akan sistem keuangan syariah dan bank syariah
itu sendiri, sehingga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah cenderung
rendah. Selain itu, belum adanya payung hukum formal khusus bank syariah
menyebabkan pengembangan bank syariah belum dapat dilakukan secara maksimal.
Di
sini, kita tidak akan membahas masalah regulasi, karena itu menjadi wewenang
dan domain para pemegang kekuasaan di negeri ini. Kita akan fokus pada upaya meningkatkan
pemahaman masyarakat tentang bank syariah dan keuangan syariah, dan dalam rangka mengatasi
permasalahan ini, saya mencoba merujuk pada konsep branding. Kata “syariah” yang bermakna aturan dasar (hukum) Islam dan
melekat pada sebuah lembaga, dalam hal ini bank syariah, maka tak sekadar menunjukkan
bahwa lembaga tersebut telah menjalankan sistem sesuai syariah, tetapi juga menjelma
brand yang membedakannya dengan brand yang sudah lebih dulu terbentuk, yaitu lembaga keuangan
konvensional.
Menurut David Aaker (2015), ekuitas brand terdiri dari tiga hal pokok2), yaitu :
-
Brand
awareness (kesadaran/pengenalan akan sebuah brand)
-
Perceived
quality (kualitas yang dirasakan)
-
Brand
association (keterikatan seseorang kepada sebuah
merk)
gambar dari sini |
Inilah
ekuitas yang perlu dibangun dan diperkuat oleh bank syariah, yang salah satunya
dapat diwujudkan dengan meningkatkan sosialisasi sistem keuangan syariah. Saya
mencoba menguraikannya dalam poin-poin berikut :
-
Brand
awareness
Ini
dapat dilakukan melalui tiga langkah strategis yaitu : Pertama,
memfokuskan pada upaya pengenalan brand,
sistem dan produk beserta spesifikasinya. Dalam hal ini, perbankan syariah
diharapkan mampu membangun pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang sistem
keuangan syariah. Untuk sampai pada tujuan ini, upaya yang dilakukan tentunya
tidak cukup sekadar pada tataran publikasi, tetapi harus diikuti dengan langkah
Kedua, yaitu upaya sosialisasi secara
masif dan tepat sasaran.
Masif
artinya dilakukan secara holistik dan menyentuh semua lapisan masyarakat. Baik
masyarakat perkotaan, pedesaan, masyarakat menengah ke atas, menengah ke bawah,
masyarakat yang melek teknologi, yang minim akses teknologi, dan sebagainya.
Selama
ini, banyak lembaga perbankan lebih terfokus pada masyarakat perkotaan dan
penyebaran informasi melalui internet. Padahal, lebih banyak penduduk kita yang
terkonsentrasi di daerah pedesaan dan kurang terakses dengan teknologi
informasi. Ini bisa menjadi peluang bagi bank syariah untuk melakukan
sosialisasi pada masyarakat lapisan bawah dan pedesaan dengan merangkul tokoh
agama dan tokoh masyarakat setempat, juga RT dan RW. Sosialisasi dapat
dilakukan secara terjadwal di setiap desa dan kelurahan dengan memperkenalkan
produk-produk bank syariah juga meningkatkan pemahaman masyarakat akan sistem keuangansyariah secara tepat.
Selain
itu, penyampaian dan konten sosialisasi juga harus tepat sasaran. Bahasa yang digunakan harus sesuai dengan tingkat
intelektualitas masing-masing kelompok sasaran, termasuk produk-produk keuangan
yang ditawarkan harus sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Produk investasi
jangka panjang misalnya, tentu lebih tepat jika menyasar lapisan masyarakat
menengah ke atas, sementara pinjaman usaha kredit lunak lebih sesuai ditujukan
pada masyarakat kelompok ekonomi kecil dan menengah.
Ada
hal menarik terkait istilah-istilah dalam sistem keuangan syariah. Terhadap
penyebutan yang rata-rata berasal dari bahasa Arab itu, Wakil Presiden Jusuf
Kalla pernah menyarankan agar menggunakan bahasa Indonesia yang lebih mudah
dipahami. Saran ini kiranya layak menjadi perhatian, mengingat istilah-istilah
dalam bahasa Arab terasa kurang familier dan terkesan eksklusif. Dalam hal ini,
bank syariah dapat mempertimbangkan untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan
tetap menyebut kata “syariah”, misalnya pembiayaan syariah, investasi syariah,
kredit lunak syariah, dan sebagainya. Termasuk juga istilah-istilah yang
digunakan dalam prinsip dasar keuangan syariah. Hal ini selain akan mempermudah
pengenalan produk dan sistem syariah kepada masyarakat awam juga dapat memperkuat
brand syariah itu sendiri. Tentu saja
sebelum merealisasikannya harus terlebih dulu berkoordinasi dengan MUI dan ahli
bahasa agar tidak terjadi salah tafsir ataupun sampai menyalahi hukum Islam.
Apa
yang tak kalah penting adalah melakukan langkah Ketiga, yaitu terus membangun konsep yang kokoh dari brand itu sendiri. Bank syariah harus
mampu menegakkan aturan syariah secara murni dalam pengelolaan dana agar tidak
lagi timbul persepsi bahwa pola yang dianut masih mengacu pada sistem
konvensional, sehingga masyarakat pun akan memahami perbedaannya dengan sistem keuangan
konvensional dan apa manfaatnya mempercayakan pengelolaan dana sesuai dengan prinsip
syariah.
Dengan
melakukan ketiga upaya ini, diharapkan masyarakat pada semua lapisan akan lebih
melek keuangan syariah dan tidak ragu-ragu lagi untuk mempercayakan pengelolaan
keuangannya pada lembaga keuangan syariah.
-
Perceived
quality
Hal
lain yang tak kalah penting adalah peningkatan kualitas terutama kualitas
pelayanan. Sistem yang baik namun tidak didukung dengan pelayanan yang
memuaskan akan sulit meraih kepercayaan masyarakat, baik kepercayaan terhadap
sistem maupun terhadap lembaga pengelola.
-
Brand
association
Ini
adalah tindak lanjut dari brand awareness.
Jadi upaya pengenalan dan pemahaman melalui sosialisasi harus terus di follow-up dengan menjaga kesetiaan
konsumen atau nasabah sehingga tidak beralih pada brand lain. Ini dapat dilakukan dengan :
Pertama,
terus melakukan inovasi kreatif terhadap varian produk,
Kedua, memanfaatkan
media sosial dan website untuk
menyebarluaskan informasi, baik informasi produk maupun tips-tips pengelolaan
keuangan yang bermanfaat. Secara frekuentif bank syariah juga dapat menggelar
lomba atau kuiz berhadiah yang menarik minat masyarakat. Prinsip take and give ini terbukti dapat menjaga
loyalitas konsumen.
Ketiga, dalam
hal pembiayaan, bank syariah dapat melakukan terobosan baru dengan membangun relationship yang lebih kuat dengan
nasabah dan meningkatkan keberpihakan pada pelaku usaha UKM dengan tetap mematuhi
aturan syariah. Sistem marketing
modern tidak lagi memperlakukan konsumen semata-mata sebagai objek tetapi juga
sebagai mitra bahkan sahabat.
Keempat,
terhadap lapisan masyarakat yang minim akses teknologi dan transportasi, bank syariah dapat menerapkan sistem mobil keliling untuk memfasilitasi masyarakat
yang ingin menggunakan jasa perbankan seperti menabung atau menarik uangnya,
sehingga masyarakat tidak perlu datang ke bank yang jaraknya jauh dari rumah
dan cukup dilayani dengan fasilitas mobil keliling.
Kelima, bank syariah diharapkan dapat lebih mengembangkan fungsi jasa sosial untuk meningkatkan
kontribusi terhadap pembangunan ekonomi masyarakat. Salah satunya dalam hal
pengelolaan zakat mal. Di sini bank syariah dapat memegang fungsi sebagai
tempat pengumpulan dan penyetoran zakat mal dari nasabah lalu bekerjasama
dengan lembaga zakat dalam hal penyalurannya untuk kemaslahatan umat.
Dengan melakukan berbagai upaya ini secara
kontinyu dan berkesinambungan, insya Allah bank syariah akan lebih meraih
kepercayaan masyarakat Indonesia sebagai lembaga keuangan syariah yang unggul,
teruji dan membawa kemaslahatan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Referensi :
Analisa SWOT dan strategi yang brilian, mak.
ReplyDeleteMpo Lytaaaaa emang keliatan dah ah cerdasnyeee :). *mpo Ipeh buru2 ngikut mpo Lyta ke bank Syariah *
ReplyDeleteInshaa Allah ya mak..smg kesan "eksklusif" perlahan menghilang..
ReplyDeletebener mba, harus ditingkatkan lagi brand awarenessnya, biar makin lekat di hati...
ReplyDeletembak Nurul : makasih ya udah berkunjung :)
ReplyDeletembak ifa : wadow malu ahh .....keliatannya doank itu mah, xixixi
mbak Lily : Amiin..
mbak Dedew : setuju mbak
Saya aja yg sarjana sering berkerut kening masih bingung dg pengertian berbagai istilah arab d bank syariah...pernah ikut perkuliahan ekonomi syariah dn nyerah
ReplyDeleteMantap mbak Lyta artikelnya. Semoga sukses ya tanggal 15 Oktober 2015 :)
ReplyDeleteSatu lagi artikel yang dikerjakan serius. Bagus Bu, semoga menang ya...:D
ReplyDelete