Sinopsis :
Betapa terkejutnya Padi saat pulang ke
rumah ayahnya dan mendapati semua buku-buku koleksinya telah raib, dijual oleh
ayahnya ke tangan pemulung. Kesedihan dan kekecewaan Padi menerbitkan rasa iba
dan penasaran di hati Gading, putra Padi yang kebetulan sedang berlibur di
desa. Apa gerangan arti buku-buku tua itu hingga ayahnya benar-benar tak ingin
melepasnya?
Gading lalu bertemu Kingkin sepupunya. Kingkin-lah
yang kemudian mengutarakan ide untuk bersama-sama mencari buku milik ayah
Gading. Bersama Kingkin, petualangan Gading untuk mencari dan menemukan
buku-buku milik ayahnya pun dimulai.
Berhasilkah Gading dan Kingkin menemukan
buku-buku itu? Pengalaman berharga apakah yang mereka dapatkan di sepanjang
pencarian itu? dan seberapa penting buku-buku itu gerangan?
Tiga pertanyaan di atas sudah cukup untuk
menggambarkan keseluruhan isi cerita dalam novel ini. Yup. Karena tiga perempat
isi novel memang hanya mengisahkan perjalanan Gading dan Kingkin untuk
menemukan buku Padi.
Jujur saja, saat mulai membaca novel
ini, satu pertanyaan sempat terbersit dalam benak : apa benar, ini novel
pemenang 1 LMNI? Ups, jangan dulu menduga yang aneh-aneh ya sob. Dugaan itu
muncul, berhubung selama ini novel-novel terbitan penerbit penyelenggara even
lomba ini, selalu identik dengan novel-novel bermuatan “berat”, sebut saja
diantaranya trilogi De Winst karya Afifah Afra, ataupun Rinai karya Sinta
Yudisia.
Bahkan secara bercanda saya sempat BBM
ke Afifah, kalau kesan pertama saya saat membaca novel ini, adalah seperti
membaca novak. Dengan pilihan katanya yang jernih dan sederhana, font yang
besar-besar, diselingi pula oleh ilustrasi gambar kartun dan tebal buku yang –
sepertinya jika diketik pada kertas A4 masih kurang dari 150 hal – cukup nyambung
‘kan dengan candaan saya itu? :)
Keunikan ide, kecerdasan teknik
penyampaian, dan muatan moral yang sangat bagus, sepertinya itulah yang menjadi
keunggulan novel ini hingga mengantarkannya menjadi novel pemenang lomba. Baru kali
ini saya membaca novel yang benar-benar fokus pada tema literasi dan
mengemasnya dalam tulisan yang ringan sekaligus menyelipkan pesan-pesan dengan
cara tidak terduga. Meski untuk alurnya sendiri, menurut saya tidak benar-benar
baru juga sih, karena sebelumnya pernah membaca cerpen koran yang juga
dituturkan dengan cara yang serupa.
Penulis juga berhasil membatasi
pergerakan karakter tokohnya dengan berpusat pada pemikiran dan perilaku, dan sedikit
sekali unsur emosional yang terlibat. Hal ini sukses membuat pesan-pesan moralnya
tersampaikan dengan cara yang lebih dari sekadar “tidak menggurui”, tetapi juga
benar-benar smooth dan nyaris nggak berasa. Kita seperti tengah menonton film
komedi situasi yang menyelipkan sindiran-sindiran humor nan cerdas hingga dalam
hati pun spontan berkata, “Eh, bener juga ya?”
Dan saya yakin, ini bukan sebuah teknik
yang sederhana. Butuh kepiawaian khusus untuk menampilkannya dalam sebuah fiksi
yang segar dengan tetap menjaga nuansa naturalnya.
Lantas, kenapa saya hanya memberi rating
3 untuk novel ini? (catatan : buat sobat yang udah kadung penasaran dengan
novel ini, sebaiknya abaikan saja review subjektif dibawah ini :)).
Pertama – adanya pembatasan eksplorasi karakter
tokoh-tokohnya seperti telah saya tuliskan di atas, membuat saya gagal merasakan
sesuatu yang menyentuh emosi dan perasaan. Saya juga bukan penggemar novel-novel
yang dramatis amat sih. Tetapi bagi saya, sentuhan emosi juga kebutuhan akan
rasa tergugah dan simpati dalam kadar minimal sekalipun, tetap saya butuhkan
untuk merasa terikat dan menyukai sebuah fiksi.
Kalaupun novel ini diniatkan untuk
tampil seperti type cerpen-cerpen koran yang membangkitkan sesuatu yang terasa “menghunjam”
kesadaran, pun kesannya terasa nanggung.
Kedua – Di luar faktor ide dan teknik
yang cerdas, saya gagal merasakan efek “wow” setelah menamatkan novel ini. Mungkin,
karena unsur-unsur pendukung lainnya tergolong sederhana, seperti pilihan
diksi, karakter dan juga eksplorasi settingnya. Mungkin juga karena......entahlah.
Saya teringat satu kalimat dari film Black Swan : “Menjadi sempurna (untuk
standar manusia tentunya) tidak melulu berkonotasi dengan engkau mengerjakan
dengan “sempurna” dari awal hingga akhir, tetapi juga bagaimana engkau mampu
menciptakan kejutan yang berhasil mengejutkan penontonmu.
Membaca BITD (Buku Ini Tidak Dijual), jujur saja membuat saya skeptis
bahwa novel yang bagus adalah novel yang berusaha tampil “wah”, menampilkan
eksplorasi ide yang rumit, kompleks, eksplorasi karakter dan setting yang berusaha
tampak detil dan meyakinkan. BITD is good in smart and simple way.
Dan, ini murni opini saya aja sih. Sepertinya,
faktor psikologis turut berperan dalam pemilihan karya-karya jebolan lomba.
Beberapa novel juara 1 lomba yang pernah saya baca, sebut saja Hujan dan Teduh
(juara 1 novel roman Gagas Media 2010), 7 days (juara 1 novel roman Qanita),
Semusim dan Semusim Lagi (juara 1 DKJ 2012), Mahogany Hills (juara 1 novel Amore
GPU 2012) termasuk BITD, adalah novel-novel type easy-reading yang bisa
diselesaikan dalam sekali baca, tidak menampilkan sesuatu yang rumit dan kompleks
sebaliknya rapi dalam plot juga fokus dengan ide dan tema. Bedanya, beberapa
menampilkan ide yang fresh, beberapa cukup mengemas ide yang biasa. Mungkin, keharusan
membaca ratusan naskah dalam waktu berdekatan, membuat hati dan selera juri pun
cenderung jatuh pada novel-novel dengan type seperti ini.
Terlepas dari opini subjektif di atas,
saya berharap akan lebih banyak novel-novel setype BITD yang lahir dari tangan
para penulis-penulis muda. Novel yang berhasil menampilkan “wajah” islami
dengan cara yang smooth, cerdas, fokus, bersegmentasi luas, mudah masuk ke
banyak kalangan dan tak perlu membuat kening pembaca berkernyit seribu saat
menikmatinya. Bagaimana pun, fiksi seyogyanya tetap punya unsur menghibur bukan?
Apalagi, hiburan dengan muatan yang mencerahkan. Dan, mudah-mudahan saja BITD dapat
menjadi pendobrak pakem mainstream dalam novel-novel masa kini yang
(barangkali saja), mulai jenuh dengan roman-roman picisan ataupun sebaliknya,
novel-novel bernuansa Islami yang dikemas dalam kisah yang over-dramatic.
Judul : Buku ini Tidak Dijual
Penulis : Henny Alifah
Penerbit :
Indiva Media Kreasi
Tahun :
2015
waaah...selalu wow kalau baca resensi Mbak Riawani :)
ReplyDeleteIdem dengan Mbak Shabrina, suka membaca resensi di blog ini :)
ReplyDeletemakasih Eni, mbak Ria udah berkunjung :)
ReplyDeleteMba Lyta hmm Uti jadi mupeng suatu saat novel Uti diresensi.
ReplyDeleteTerima kasih postingnya bisa belajar merevisi juga nich.
Salam
Baca judulnya sih sempet penasaran. Hihi...
ReplyDeletebaru seleai baca ini sampai habis, kemarin pas dikit dulu, xixixii....
ReplyDeleteUmmm....aku juga selalu {berusaha) membaca novel-novel jeoblan lomba novel. Selain untuk melihat di mana kelebihannya sehingga menjadikannya juara, juga untuk mencari celah yang mungkin ada. Yeah, bagaimanapun, memang tidak ada karya yang sempurna ya mbak. Apalagi, juri yang menilai tentu tidak bisa lepas dari yang namanya selera setelah menggunakan 'konsep penilaian yang objektif', yang mana kadang selera tersebut kadang tidak sesuai dengan selera sebagian pembaca. makanya kadang kenapa ada yang baca satu buku juara lomba trus bertanya; 'Ini kok bisa jadi juara, ya?'
Btw, aku juga pengen beli ah buku ini. Biasa, karna ini buku juara 1 lomba novel, xixxiii.... As usual, very nice review mbak Lyta
Selalu suka bc review mbak lyta
ReplyDelete