Sinopsis :
Menjadi sukarelawan konselor laktasi adalah sebuah pilihan yang langka, idealis dan sekaligus menantang. Terlebih-lebih, jika profesi itu dilakukan oleh seorang gadis
lajang seperti Mia Ramsy.
Ya. Siapa sih yang bisa seratus persen percaya pada nasehat seorang konselor yang
belum pernah melahirkan dan menyusui? Bahkan dengan adik kandungnya Lia yang
baru saja melahirkan, Mia harus melalui perdebatan demi perdebatan sengit saat memberi
anjuran positif tentang pentingnya pemberian ASI eksklusif.
Namun semangat dan kegigihan Mia dalam
memperjuangkan hak setiap bayi terhadap ASI eksklusif melalui organisasi
nirlaba Indonesian Breastfeeding Mothers (IBM) tak perlu diragukan lagi. Bagi
Mia, menyusui adalah salah satu ekspresi cinta terbesar seorang ibu kepada
anaknya.
Sementara itu, pada suatu momen tak
terduga, kecerobohan Mia membuatnya menabrak mobil seseorang di parkiran rumah
sakit. Pemilik mobil yang ditabrak itu adalah Hardian Subagyo atau dipanggil
Ryan. Berawal dari pertemuan dengan cara yang konyol itu, interaksi mereka
mulai berlangsung. Perlahan tapi pasti, bibit cinta di dalam hati Ryan terhadap
Mia mulai tumbuh dan berkembang. Di mata Ryan, gadis mirip Winona Ryder itu
memiliki keunikan yang belum pernah ia temui pada gadis mana pun selama ini.
Dan apa yang terpenting, gadis itulah yang pertama kalinya mampu menggetarkan hati
dan hasratnya untuk lebih dari sekedar menyayangi, tetapi memilikinya secara utuh
dan membawa hubungan mereka ke jenjang pernikahan.
Tetapi, sebuah kenyataan tentang Ryan
yang akhirnya diketahui Mia, meluluhlantakkan segala rencana Ryan. Gadis itu menolak
cintanya dan menghindarinya.
Kenyataan apa gerangan tentang Ryan yang
sangat mengecewakan Mia? Lantas, pengorbanan apa yang dilakukan Ryan demi
meraih cinta Mia kembali? Berhasilkah Ryan dalam pengorbanan tersebut atau
justru berakhir dengan kesia-siaan? Semuanya akan terurai dalam novel setebal 208
halaman bersampul warna biru muda ini.
-------------------------------------------------------
Friends Don’t Kiss adalah novel metropop
keenam karya Syafrina Siregar yang saya baca setelah April Cafe, My Two Lovers,
Psycho-love, DJ & JD dan Early.
Sejak pertama kali jatuh cinta pada
novel-novel bergenre metropop dan membaca April Cafe, saya memang langsung klik
dengan karya-karya Syafrina. Selain karena gaya penceritaannya yang lugas dan
lincah, latar kota Batam dan negara Singapura yang beberapa kali diangkat Syafrina
sebagai setting novelnya, menjadikan karya Syafrina terasa begitu dekat. Karena
Batam dan Singapura, adalah dua tempat di dunia yang paling saya akrabi setelah
kampung halaman.
Ketika membuka lembar pertama novel ini,
pertanyaan awal yang muncul di benak saya adalah : adakah progress yang
dilakukan Syafrina pada novelnya kali ini? Adakah sesuatu yang baru atau hanya
mendaur ulang tema-tema stereotype dalam kemasan yang baru? Saat membaca
sinopsisnya, saya menangkap adanya pesan tentang ASI eksklusif di dalam novel
ini. Rasa penasaran saya pun kian bertambah : bagaimana gerangan Syafrina
meleburkan pesan ini di dalam sebuah novel bergenre metropop?
Ini memang bukan novel pertama penulis
yang memuat pesan edukatif. Sebelumnya, penulis juga telah mengangkat tema
tentang ODHA pada novelnya yang berjudul Dengan Hati. Dan usaha semacam ini
tentunya sangat layak diapresiasi. Karena adanya muatan positif dapat memberi
nilai tambah yang bermanfaat terhadap sebuah bacaan populer.
Lantas, apa kesan saya setelah
menamatkan novel ini?
Saya awali dengan poin-poin positifnya dulu :
Saya awali dengan poin-poin positifnya dulu :
- Ekspektasi saya akan progress menulis Syafrina cukup terpenuhi. Dalam novel ini, gerak tutur tulisan Syafrina terasa kian luwes dan lancar. Kemampuan Syafrina menampilkan adegan dan dialog yang lucu namun tetap natural juga kian terasah. Buat saya, menampilkan situasi cerita yang dapat membuat pembaca tersenyum atau tertawa spontan bukanlah hal yang gampang, salah-salah, justru terasa garing, dan hal itu untungnya tak berlaku untuk novel Syafrina yang satu ini. Buktinya, beberapa kali saya berhasil dibuat gemes dan tersenyum-senyum geli terhadap interaksi Mia dan Ryan, juga kecerobohan Mia yang selalu menabrak mobil di parkiran.
- Upaya Syafrina meleburkan informasi edukatif tentang pentingnya ASI eksklusif dengan fiksi berlatar percintaan juga cukup berhasil. Meskipun pada beberapa titik, muatan informasi yang disampaikan cukup padat, hal tersebut tidak mengurangi nuansa romantisme yang mengalir bersama kisah Mia dan Ryan. Syafrina juga cukup cerdas dalam membangun konflik antar keduanya yang dipicu oleh konflik eksternal berupa pertentangan antara memperjuangkan dukungan terhadap ibu menyusui oleh organisasi yang peduli terhadap pentingnya ASI eksklusif dengan orientasi profit dari pemilik pabrik susu formula.
- Karakter-karakter yang dihadirkan dalam novel ini pun cukup realistis. Masing-masing tokoh memiliki sisi baik dan buruk sehingga tidak menjelma sosok yang hitam putih. Karakter Mia yang gigih, idealis dan meletup-letup berpadu dengan kecerobohan dan spontanitasnya dalam bertindak. Karakter Ryan yang dominan, maskulin, ambisius namun di sisi lain memiliki perhatian dan kepedulian yang mampu membuat hati wanita luluh. Deskripsi sosok Lia dengan segala emosi yang dialaminya pasca melahirkan juga sangat manusiawi. Pengalaman Lia yang terjaga sepanjang malam dan mengalami keletihan karena bayinya terus-terusan ingin disusui, juga situasi dilematis saat harus mengganti ASI dengan susu formula karena anggapan yang keliru terhadap produksi ASI, mengingatkan saya pada sederet persoalan serupa yang saya alami pada kelahiran anak pertama dan si bungsu.
Sebagian
orang mungkin akan berpendapat bahwa sosok Mia bersama deretan petuah
nasehatnya tentang ASI di dalam kisah ini terkesan menggurui. Namun sekali lagi
Syafrina berhasil menyiasati hal ini dengan menyertakan latar belakang atas
karakter Mia tersebut.
Seseorang
seperti Mia Ramsy, yang belum pernah merasakan pengalaman melahirkan dan
menyusui serta belum lama menggeluti aktivitas sebagai konselor laktasi, memang
sangat rentan akan kecenderungan memiliki idealisme yang meledak-ledak, terlalu
bersemangat dalam mengedukasi hingga terkadang mengabaikan sisi psikologis
klien yang baru usai melahirkan. Dan latar belakang ini menurut saya cukup
proporsional saat disandingkan dengan berderet nasehat dan informasi yang
disampaikan Mia dengan penuh antusias di sepanjang novel ini.
Penyesalan
Mia saat akhirnya menyadari kekurangannya yang turut dihadirkan Syafrina membuat
karakter Mia pun terasa humanis. Berikut cuplikannya :
“Gue
merasa nggak pantas jadi konselor. Selama ini gue salah langkah. Benar yang
dikatakan Lia. Dan mungkin juga beberapa klien gue yang lain merasakan hal
sama. Gue tuh seharusnya berdiri di samping mereka, mendukung mereka. Bukannya
di depan mereka, menggurui mereka,” Sesal Mia. (hal. 135).
- Berbagai informasi seputar ASI eksklusif dan proses menyusui yang dibeberkan secara detail, sangat bermanfaat untuk memberi wawasan dan pengetahuan baru bagi pembaca, khususnya pembaca (wanita) yang belum pernah mengalami proses melahirkan dan menyusui. Bagi kaum bapak, pengetahuan ini bisa menjadi bekal saat mendampingi dan mendukung istri sepenuhnya untuk memberikan ASI eksklusif. Dan bagi kaum ibu yang sudah pernah mengalami, informasi-informasi tersebut dapat memperkaya pengetahuan yang pernah diperoleh selama ini sehingga dapat menjadi tambahan ilmu andai berencana ingin menambah momongan lagi :)
Selain
hal-hal positif diatas, novel ini juga tak luput dari sedikit kejanggalan. Pada
halaman 128, saat Ryan bertanya tentang trik kotor pemasaran seperti apa yang
Mia maksud, Mia menjawab : “Mereka mendekati para ibu yang baru melahirkan,
menawarkan berbagai macam insentif, hadiah, dan lainnya.”
Nah,
pertanyaannya : bagaimana gerangan para sales promotion susu formula mengetahui
kalau ibu yang mereka dekati adalah ibu yang baru melahirkan? Tentu berbeda
halnya dengan ibu yang sedang hamil karena kondisi fisiknya terlihat jelas.
Mungkin akan lebih logis jika jawaban Mia diperinci, misalnya dengan : “Mereka
mendekati para ibu yang tengah melihat-lihat susu formula untuk bayi usia nol
tahun.”
Ataupun jika trik kotor itu dilakukan di rumah sakit, dimana para tim pemasaran susu formula langsung mendekati ibu yang baru melahirkan, saya pikir nggak ada salahnya jika lokasi kejadian juga disertakan di dalam jawaban Mia, misalnya dengan : "Mereka mendekati para ibu yang baru melahirkan di rumah sakit, dst...."
Mengingat kasus-kasus seputar hal ini sifatnya sangat spesifik, sehingga bagi pembaca yang awam terhadap topik ASI eksklusif bisa mengalami kerancuan. Lain daerah lain pula realisasinya. Sebagai perbandingan, saat saya melahirkan putri ketiga di sebuah klinik bersalin empat tahun lalu, regulasi tentang Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dan pemberian ASI eksklusif pada bayi yang baru lahir, terlaksana dengan baik. Setiap bayi yang baru lahir akan diletakkan diatas tubuh ibunya untuk belajar menyusui sekurang-kurangnya setengah jam, dan selanjutnya, ibu dan bayinya akan menjalani rooming-in atau dirawat di ruang yang sama. Tidak terlihat produk susu formula bahkan dalam bentuk sampel sekalipun. Ini jauh berbeda dengan pengalaman saat melahirkan anak pertama dan kedua, dimana dari pihak klinik dan rumah sakit langsung menyediakan susu formula dan pada kelahiran anak kedua, bayi dipisahkan sehari semalam sebelum dipertemukan lagi dengan ibunya.
Saya pikir, seiring pemahaman yang semakin baik terhadap regulasi yang mendukung pemberian ASI eksklusif, kasus-kasus tersebut tak akan ditemukan lagi. Tetapi ternyata, di lain tempat pula, kasus pasca melahirkan yang saya alami sebelas dan sembilan tahun lalu itu, dimana produk susu formula tetap diijinkan "menyusup" di rumah sakit dan klinik bersalin serta ibu dan bayi yang dirawat terpisah, masih saja terjadi.
Mengingat kasus-kasus seputar hal ini sifatnya sangat spesifik, sehingga bagi pembaca yang awam terhadap topik ASI eksklusif bisa mengalami kerancuan. Lain daerah lain pula realisasinya. Sebagai perbandingan, saat saya melahirkan putri ketiga di sebuah klinik bersalin empat tahun lalu, regulasi tentang Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dan pemberian ASI eksklusif pada bayi yang baru lahir, terlaksana dengan baik. Setiap bayi yang baru lahir akan diletakkan diatas tubuh ibunya untuk belajar menyusui sekurang-kurangnya setengah jam, dan selanjutnya, ibu dan bayinya akan menjalani rooming-in atau dirawat di ruang yang sama. Tidak terlihat produk susu formula bahkan dalam bentuk sampel sekalipun. Ini jauh berbeda dengan pengalaman saat melahirkan anak pertama dan kedua, dimana dari pihak klinik dan rumah sakit langsung menyediakan susu formula dan pada kelahiran anak kedua, bayi dipisahkan sehari semalam sebelum dipertemukan lagi dengan ibunya.
Saya pikir, seiring pemahaman yang semakin baik terhadap regulasi yang mendukung pemberian ASI eksklusif, kasus-kasus tersebut tak akan ditemukan lagi. Tetapi ternyata, di lain tempat pula, kasus pasca melahirkan yang saya alami sebelas dan sembilan tahun lalu itu, dimana produk susu formula tetap diijinkan "menyusup" di rumah sakit dan klinik bersalin serta ibu dan bayi yang dirawat terpisah, masih saja terjadi.
Kejanggalan
lainnya juga saya temukan pada adegan talkshow di halaman 161 :
“Tak
berapa lama, nampak beberapa orang panitia membawa kain putih untuk menutupi
logo Prima Gold di banner dan backdrop. Kemudian MC naik ke atas panggung dan
memulai acara talkshow dan memanggil semua pengisi acara termasuk Mia. Tak
terasa satu jam kemudian acara talkshow usai.”
Selanjutnya, pada
halaman berikutnya diceritakan tentang Gina yang mengirim WhatsApp berisi foto
Mia sedang berbicara di depan audiens dengan backdrop yang masih menampilkan logo Prima Gold,
dan dari konfirmasi pihak IBM kepada panitia, dikatakan kalau orang dari Prima Gold-lah yang
melepas kain penutup logo tersebut.
Pertanyaannya
: Bukankah ketika itu talkshow sedang berlangsung dan disaksikan oleh para
audiens? Jadi nggak mungkin dong kalau nggak ada yang menyadari termasuk Mia sendiri
saat ada yang datang lalu melepas kain penutup logo? Apalagi, pekerjaan
melepaskan kain juga bukan pekerjaan tukang sulap yang bisa menghilangkan benda
dari pandangan dalam sedetik. Itu pasti butuh waktu dan proses yang sudah tentu
tak akan luput dari penglihatan orang-orang yang hadir.
Selanjutnya,
sebagai penggemar karya Syafrina dan novel-novel metropop, izinkan saya menyampaikan
beberapa masukan untuk novel ini :
- Informasi-informasi tentang ASI yang disampaikan Mia dalam beberapa dialog, sepertinya masih bisa diperhalus penyampaiannya agar kesannya lebih natural, tidak terkesan text-book ataupun seperti menyalin langsung dari sumbernya. Saya kutip salah satunya :
“Kode Etik ini secara internasional
disebut sebagai International Code of Marketing of Breastmilk Substitute yang
dikeluarkan oleh WHO pada tahun 1981. Salah satu poinnya yaitu larangan
penggunaan sarana kesehatan untuk kegiatan promosi susu formula dan larangan
bagi produsen susu formula untuk menawarkan langsung ke rumah-rumah, memberikan
potongan harga, atau hadiah,....”
Well. Sepertinya jarang banget ya
orang bicara langsung seperti ini kecuali jika ada teks di depannya dan dia
tinggal membacanya?
2. Saya
akui, karakter fisiologis dan sosiologis Hardian Subagyo atau Ryan yang
dideskripsikan sebagai seorang yang tampan, kaya raya, pemilik pabrik, anak
tunggal pengusaha terkaya se-Asia Pasifik, ditunjang pula oleh karakter
psikologisnya yang sangat maskulin, adalah karakter yang mampu bikin hati
pembaca wanita berdesir-desir dan klepek-klepek, serta menjadi karakter yang cukup
mainstream dalam novel-novel metropop.
Tetapi, rasanya nggak ada salahnya juga kalau
sesekali novel di genre ini menampilkan karakter sosiologis tokohnya yang lebih
membumi atau down to earth. Misalnya saja Ryan digambarkan bukan sebagai sang pemilik pabrik,
tetapi cukup sebagai kepala tim pemasaran susu formula yang berwenang
menentukan trik-trik pemasaran. Lalu saat hal ini memicu konflik dengan Mia, Ryan terjebak situasi dilematis antara memilih Mia dan meninggalkan
pekerjaannya sementara perusahaan telah memberinya gaji yang layak dan
menuntutnya harus terus berupaya menaikkan profit perusahaan, sementara di sisi
lain Ryan juga harus menanggung biaya hidup orang tuanya, ataupun tetap
bertahan menekuni profesinya dengan konsekuensi melepaskan Mia.
Melihat dari sinopsis cerita, karakter
Ryan, menelusuri proses jatuh bangun kisah cinta Mia dan Ryan serta pengorbanan
besar yang dilakukan Ryan untuk meraih cinta Mia kembali, membuat novel ini
lebih cenderung pada typikal harlequin, dan harlequin versi Indonesia adalah
lini Amore. Tetapi barangkali, karena gaya penuturan Syafrina yang tergolong
lincah dan selama ini pun Syafrina telah dikenal lewat karya-karyanya yang bergenre
metropop, maka novel ini pun sepertinya memang lebih “layak” mengusung logo metropop.
Novel ini cocok untuk para
penggemar fiksi populer yang menyukai gaya penceritaan yang lincah dan segar,
dan lebih direkomendasikan untuk pembaca berusia dewasa. Hal ini mengingat tema
edukatif yang diangkat adalah persoalan yang memang menyentuh kehidupan wanita
dewasa khususnya kaum ibu, dan meskipun judulnya Friends Don’t Kiss, beberapa
kali adegan kissing tetap akan kita jumpai pada interaksi antara Mia dan Ryan.
Buat saya, novel ini lebih dari
sekadar menghibur, tetapi juga memperkaya pengetahuan tentang ASI eksklusif,
tindakan-tindakan antisipatif terhadap kasus-kasus seputar pemberian ASI
eksklusif termasuk cara mengatasi kesulitan yang dialami para ibu dalam
memberikan ASI eksklusif. Sebuah multimanfaat yang jarang banget saya temui
dalam novel-novel populer dan sekali lagi, sangat layak diapresiasi.
Semoga Syafrina tetap gigih
mengangkat tema-tema edukatif lainnya dalam karya-karyanya selanjutnya, segigih
Mia Ramsy dan para konselor IBM saat memperjuangkan hak setiap bayi untuk mendapatkan ASI eksklusif dalam
Friends Don’t Kiss :).
Judul : Friends Don’t Kiss
Penulis : Syafrina Siregar
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Jenis : Novel / fiksi
Tahun : 2014
Hal :
208 hal
Wah, mresensinya apik.
ReplyDeleteMenang lagi nih kayaknya mbak :D
Wooow....komplit, tampaknya seluruh isi sudah tercerminkan dalam resensi ini.Diikutkan lomba ya Mbak?
ReplyDeleteKereeeen. ini bagus sekali buat perempuan lajang - dewasa muda. Kalo disajikan dalam bentuk novel, bisa lebih masuk pesannya.
ReplyDeleteMbak Lyta detil sekali, seperti biasa. Review-nya keren.
Oya saya pernah mengalami yang ini:
Pada halaman 128, saat Ryan bertanya tentang trik kotor pemasaran seperti apa yang Mia maksud, Mia menjawab : “Mereka mendekati para ibu yang baru melahirkan, menawarkan berbagai macam insentif, hadiah, dan lainnya.”
Ini beneran terjadi pada saya, di rumah bersalin, ketika baru saja melahirkan putri kedua saya. Dan yang melakukannya: BIDAN yang menolong persalinan saya. Saya dioengaruhi untuk pakai susu formula karena kata dia bayi baru lahir bisa kuning kalo tidak banyak minum dan biasa ASI yang baru keluar cuma sedikit. Untungnya saya berkeras tidak mau pakai sufor. Bidan itu melakukannya karena secara otomatis, di RSB itu akan dibuka sekaleng susu formula setiap ada ibu yang baru melahirkan. Kurang ajar banget ya?
makasih mbak Eky, Amiiin :)
ReplyDeleteIya Lina, hehe
mbak Niar : itu kejadiannya tahun berapa mbak? Waktu saya melahirkan anak pertama dan kedua juga masih kejadian, tapi udah berlalu sekitar 11 dan 9 tahun lalu. Pas anak ketiga kira2 4 tahun lalu udah nggak ada lagi kasus spt itu. Makasih infonya mbak :)
Saya juga mengalami yg sama nih Mb Lyta. Pas kelahiran anak pertama 11 tahun yg lalu di RSU kota ya begitu. Dibilang anak saya tak kunjung keluar feses hitam gara2 kekurangan asupan ASI, harus ditambah ama sufor. Waktu itu ya manut2 aja saya :(
ReplyDeleteResensinya sip banget, semoga menang ya mba....
mengharukan juga . . hiks hiks hiks :-(
ReplyDeleteSelain bagus infonya , , mantap juga niihhh . . !!!
ReplyDelete