Novel legendaris dan penulisnya, cakep juga yak :p |
Barangkali,
inilah salah satu novel paling legendaris dalam enam decade terakhir. Sebuah
rentang waktu yang cukup lama sejak novel ini pertama kali dipublikasi, dan
berhasil meraih 3 (tiga) penghargaan kelas dunia, yaitu Pulitzer (1953), Award
of Merit Medal for Novel (1953) dan Nobel Sastra (1954).
Novel
ini berkisah tentang perjalanan seorang lelaki tua bernama Santiago yang
mengarungi lautan seorang diri, perjuangannya untuk survive dengan seekor ikan
yang tersangkut di kailnya dan menjadi “teman seperjalanan”nya. Teman dalam
konotasi yang cukup ekstrim, karena dengan adanya ikan inilah, membangkitkan
daya survivor Santiago hingga ke titik maksimal. Santiago tak ingin melepaskan
ikan yang ukurannya melebihi besar perahunya itu, karenanya ia harus berjuang
untuk bisa menaklukkan atau membunuh ikan tersebut, melanjutkan perjalanan
dengan jasad ikan itu tetap terikat di perahunya, sementara di sisi lain, ia
juga harus bertahan dari para hiu yang mengekorinya setelah ikan besar itu
terbunuh dan berjuang untuk bisa kembali pulang.
Jujur,
saat pertama membaca novel ini, saya merasa luar biasa bosan. Penerjemahan
dalam kalimat yang panjang-panjang juga kerap membuat lelah dan lost focus. Tetapi,
saya tak ingin langsung menyerah. Saya yakin, ada sesuatu dari novel ini yang
membuat eksistensinya begitu long lasting dan diganjar oleh berbagai
penghargaan internasional.
Maka,
saya pun membaca ulang, kali ini dengan lebih perlahan, dan barulah pada proses
kedua kali, saya merasakan efek yang jauh berbeda. Pelan tapi pasti, saya
mulai terhanyut oleh narasi dan deskripsi penulisnya yang begitu cermat, runut,
detail dan sabar hingga rasanya sayang sekali untuk melewatkan satu baris pun.
Saya membayangkan, saat novel ini diterbitkan pada era tahun lima puluhan dulu,
tentulah mengundang apresiasi yang luar biasa oleh penceritaannya yang sangat
deskriptif.
Selama membacanya, benak saya otomatis memvisualisasikan setiap adegan yang diceritakan penulis dengan begitu jelas, diantaranya tentang ciri-ciri ikan yang ditangkap Santiago, ketegangan yang dialaminya saat menundukkan sang ikan besar itu dan saat membunuh hiu-hiu, bagaimana Santiago menguliti daging ikan tangkapannya lalu memakannya mentah-mentah saat lapar, dan sebagainya. Begitu pun saat Santiago berbicara sendirian tentang hal-hal yang dialaminya sepanjang perjalanan. Sebuah teknik penceritaan yang tak lagi banyak saya temukan dalam novel-novel pada era sekarang. Mungkin, pengaruh perkembangan jaman membuat selera pembaca pun bergeser pada novel-novel dengan ritme yang cepat dan konflik-konflik yang menukik. Sementara novel-novel setype ini hanya muncul pada karya-karya sastra ataupun besutan lomba-lomba novel sastra.
Selama membacanya, benak saya otomatis memvisualisasikan setiap adegan yang diceritakan penulis dengan begitu jelas, diantaranya tentang ciri-ciri ikan yang ditangkap Santiago, ketegangan yang dialaminya saat menundukkan sang ikan besar itu dan saat membunuh hiu-hiu, bagaimana Santiago menguliti daging ikan tangkapannya lalu memakannya mentah-mentah saat lapar, dan sebagainya. Begitu pun saat Santiago berbicara sendirian tentang hal-hal yang dialaminya sepanjang perjalanan. Sebuah teknik penceritaan yang tak lagi banyak saya temukan dalam novel-novel pada era sekarang. Mungkin, pengaruh perkembangan jaman membuat selera pembaca pun bergeser pada novel-novel dengan ritme yang cepat dan konflik-konflik yang menukik. Sementara novel-novel setype ini hanya muncul pada karya-karya sastra ataupun besutan lomba-lomba novel sastra.
Hanya
saja, novel ini memang nyaris tidak menyertakan penggambaran konflik batin yang
dialami Santiago selain lewat monolog-monolognya yang terbatas. Hingga dari
sisi emosional terasa kurang tereksplorasi. Satu hal yang unik, dalam novel ini
penulisnya nyaris tidak menggunakan satu kalimat pun untuk melakukan
justifikasi atas tokohnya ataupun menggiring rasa simpati ataupun opini pembaca
terhadap Santiago maupun peristiwa yang dialaminya. Jadi, novel ini memang
murni mengandalkan kekuatan dan kedetilan narasi dan deskripsinya sebagai
cara penulis menyampaikan pemikiran dan pesannya, yang tentu saja jarang ditemui pada banyak karya kontemporer.
Sayang,
keheroikan sosok lelaki tua Santiago dalam novel ini, ternyata berbanding
terbalik dengan kondisi psikis penulisnya. Diketahui bahwa Ernest adalah
seorang penulis yang menderita gangguan mental, memiliki kepribadian ganda dan
mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Dan memang, saat kita mencermati
isi novel ini dengan sedikit jeli, terdapat beberapa hal yang mencerminkan isi
pikiran penulisnya yang cenderung “meniadakan” eksistensi ketuhanan.
Saya kutip salah satu kalimat monolog Santiago : "Manusia diciptakan bukan untuk ditaklukkan. Seorang manusia bisa dihancurkan, tetapi tidak untuk ditundukkan."
Saat membaca kalimat ini berulang-ulang, saya menangkap makna yang tidak sekadar menunjukkan semangat Santiago untuk survive, tetapi juga mencerminkan ego yang sangat tinggi. Barangkali, pemikiran inilah yang juga menjadi cerminan sebagian diri penulisnya. Sehingga saat ia "terkalahkan" oleh hidup, bunuh dirilah menjadi pilihannya.
Sementara, di sisi lain, sepertinya penulis juga tidak mengingkari kodrat Santiago yang tetap membutuhkan orang lain. Ini dibuktikan dengan monolog berulang-ulang Santiago saat mengatakan andai bocah kecil itu ada bersamanya. Bocah kecil satu-satunya sahabat Santiago yang kerap menemani Santiago melaut, namun larangan ayahnya menghalanginya menemani Santiago pada perjalanan kali itu.
Novel
ini mungkin bukan pilihan pembaca dengan selera terhadap cerita
yang dinamis. Tetapi, inilah satu karya besar di jamannya yang layak untuk
dibaca dan dapat melatih pikiran kita untuk menangkap nilai-nilai kehidupan yang terdapat
di dalamnya.
Judul : The
Old man and The Sea
Penulis : Ernest
Hemingway
Penerbit
: Liris
Tahun : 2013
Hal :
128 hal
Ngenes ya, pilihan mengakhiri hidupnya. Kata ditundukkan memang bisa ditafsiri dibunuh atau kematian. Kurang lebih seperti tafsiran Mbak.
ReplyDeleteNovel klasik memang begini, termasuk novel lama Indonesia. Cenderung bertele-tele dan membosankan. Tapi yang membuat bertahan lama dikenang menurut saya adalah pesan yang dikedepankan.
Say sempat nemu novel ini di perpustakaan dan baca sebentar. Sayangnya waktu itu memutuskan menyerah, nggak jadi pinjam :D
udah lama pengen beli tai belum sempet juga. Mudah2an masih edar di Batam
ReplyDeleteiya Melani, dan Ernest bukan satu2nya penulis yg mati krn bunuh diri :( iya kalo pertama2 baca emang ngebosenin, sama kaya' novel jadul kita
ReplyDeleteLina : siapa tahu ada versi terbitan lain yg lebih bagus terjemahanya di batam ya, kalo yg ini byk panjang2 deskripsinya
Tragis yah Mbak akhir hidup penulisnya. Untuk novelnya, bikin penasaran klo udah Mbak Lyta yang ngeresensi :)
ReplyDeleteSetelah baca novel ini, pertanyaan yang muncul "apa sih yang membuat novel ini bisa dapat nobel sastra?"
ReplyDelete