Saat
membaca stempel juara III Kompetisi Menulis Tulis Nusantara 2013 pada sampulnya,
begitu pun saat membaca judulnya yang terkesan eksotis, saya sempat menduga
kalau ini adalah novel berlatar kultur daerah dengan lokalitas yang kental, ternyata,
ekspektasi saya meleset.
Dengan tokoh sentral bernama Nararya, atau Rara yang bekerja sebagai seorang therapis di klinik
kesehatan mental milik Bu Sausan. Di antara pasien klinik, terdapat Sania,
seorang gadis cilik dengan latar belakang teramat buruk. Lahir dari rahim
seorang ibu perokok dan suka bergonta-ganti pasangan, memiliki ayah pemabuk dan
dibesarkan oleh nenek yang pemukul, Sania tumbuh sebagai gadis cilik yang
kekurangan gizi, mengenyam pendidikan hanya sampai kelas 2 SD dan tubuh yang
penuh jejak kekerasan.
Ada
pula Pak Bulan, lelaki mantan residivis yang gemar menatap bulan berlama-lama,
dan dibuang oleh lembaga pemasyarakatan tak ubahnya membuang kucing buduk.
Juga
ada Yudhistira, seorang pria pengidap skizophrenia. Penyakit yang diduga kuat
erat hubungannya dengan pola pengasuhan terhadapnya. Sejak kecil, Yudhistira
selalu diproteksi dengan ketat oleh ibu dan ketiga kakaknya, bahkan sampai
dewasa dan berkeluarga, ia tetap mendapat sokongan materi dari ibunya yang
mapan. Sementara sosok sang istri, Diana, adalah seorang perempuan superior,
mandiri, keras kepala, dan menolak segala bentuk dukungan materil dari keluarga
mertuanya. Memiliki para wanita dengan watak kontradiktif ini ternyata
menimbulkan tekanan mental pada Yudhistira.
Rara
sendiri tidak terlepas dari belitan permasalahan yang menimpa rumah tangganya.
Bersuamikan Angga, seorang pria simpatik dengan banyak wanita pengagum di
sekelilingnya, ditambah ketiadaan anak dalam kurun waktu sepuluh tahun
pernikahan, bahtera itu pun kandas. Kondisi ini diperparah dengan kehadiran
orang ketiga. Adalah Moza, partner kerja Rara yang cantik dan awalnya dipercaya
Rara untuk memediasi mereka pada titik kritis pernikahan, ternyata
kemudian jatuh cinta dengan Angga, begitu pun sebaliknya. Keduanya pun lalu
menikah diam-diam tak lama setelah perceraian Angga dan Rara.
Menghadapi
persoalan pribadi yang cukup menguras energi, ditambah pula keharusan menangani
para pasien sakit jiwa, tak luput memberi Rara dampak psikis yang tak kurang
peliknya. Ia menemukan bunga mawar berlumur darah amis di sekitar ruang
kerjanya, membuatnya panik dan mengira dirinya mengalami halusinasi, namun
kejadian berulang membuatnya yakin kalau itu benar-benar nyata.
Di
sisi lain, usaha Rara untuk mengembangkan therapi pemulihan pasien dengan cara
transpersonal, yaitu melalui pendekatan budaya dan melibatkan anggota keluarga
serta meminimalisir farmakologi (penggunaan obat-obatan) mendapat tentangan
dari ibu Sausan yang tetap ingin menggunakan cara-cara konvensional. Di tengah
kemelutnya, Rara juga sempat bertemu dengan Farida, perempuan yang ditinggal
mati suaminya akibat konflik berdarah di Poso. Perkenalan dan persahabatan yang
sedikit banyak cukup memberi kontribusi pada cara pandang Rara terhadap
pernikahannya.
Siapa
sebenarnya dalang dibalik bunga-bunga mawar dan darah berbau amis yang membuat
Rara ketakutan? Ataukah pemandangan itu hanya halusinasinya belaka? Akankah
Yudhistira, Sania, Pak Bulan dan Rara sendiri, berhasil menyembuhkan diri dari
persoalan mereka masing-masing?
Novel
berlatar psikologi, boleh dibilang kemunculannya dalam ranah fiksi tanah air,
masih dapat dihitung jari. Maka kehadiran Bulan Nararya seakan mengembuskan
angin segar di tengah kancah peredaran novel tanah air yang masih dikuasai oleh
novel-novel remaja, romance, horor dan komedi. Apalagi ditunjang oleh kemampuan
akademis penulisnya yang saat ini tengah menyelesaikan studi Magister
Psikologi, membuat novel ini benar-benar kental dengan muatan psikologi. Kita tidak
hanya sekadar diperkenalkan dengan beragam istilah dalam ilmu kejiwaan, seperti
transpersonal, narsistik, histrionik, OCD, tetapi juga diajak menelusuri latar
belakang orang-orang yang mengalami gangguan jiwa, gejala yang mereka alami, proses
penyembuhannya, dan bagaimana pula sikap orang-orang normal saat berinteraksi
dengan mereka.
Membaca
lembar-lembar kisah ini, kita akan dihadapkan dengan konflik demi konflik
yang silih berganti, menimpa manusia baik yang normal maupun tidak, dan mbak
Sinta berhasil mengemasnya dengan plot yang padat dan dinamis, ditunjang oleh masing-masing
karakter yang ditampilkan natural, tidak ada yang benar-benar malaikat atau
iblis, juga sebuah kolaborasi ilmu psikologi dan perjalanan kisah hidup yang
benar-benar apik.
Beberapa
kali mbak Sinta menabrakkan hal yang normal dengan abnormal yang justru
meninggalkan jejak perenungan yang dalam. Salah satunya saat Diana curhat pada
Rara tentang rencananya untuk bercerai dari Yudhistira dengan alasan
menginginkan suami yang normal dan kehidupan yang normal, inilah jawaban Rara :
“Banyak
pernikahan berisi sepasang manusia normal, tapi keseharian mereka abnormal. Saling
melukai, tak membangun komunikasi, tak mencoba dan mencintai. Di klinik, klien
kami orang-orang abnormal. Tapi diantara kami timbul perasaan menerima.” (hal.
55).
Tak
sedikit pula adegan yang membangkitkan keharuan. Diantara semua karakter,
yang paling merebut rasa simpati saya adalah sosok Sania. Setiap kali terdapat
adegan dimana Sania meremas boneka kelincinya sebagai ekspresi kemarahannya,
setiap kali itu pulalah air mata saya menggenang.
Dan
untuk aliran transpersonal sendiri, meski saya tak memiliki latar ilmu
psikologi, tetapi saya sangat mengapresiasinya. Mungkin saja, melalui novel
ini, mbak Sinta sedang mengemukakan sumbangsih opininya terhadap perkembangan
ilmu psikologi dewasa ini dari apa yang beliau pelajari.
Maaf
kalau saya menggunakan satu paragraph resensi ini untuk sedikit
mengilasbalik masa lalu. Selama lebih kurang 13 tahun, saya dan keluarga hidup
berdampingan dengan seorang anggota keluarga yang mengalami gangguan. Saya juga
tidak tahu jenis penyakitnya, hanya dokter menyebutkan kalau ia mengalami
gangguan pada syaraf temporal yang mengendalikan emosi. Sehingga pada
waktu-waktu tertentu, emosinya menjadi sangat tidak terkendali. Meski telah
berobat kemana-mana, pernah juga dirawat inap di klinik rehabilitasi, dan ia
pun mengonsumsi obat penenang seumur hidupnya, penyakitnya tak kunjung sembuh, kadang
kambuh, kadang normal. Dan selama 13 tahun itu pula, kami mendampinginya dengan
cara "menerima"nya. mencoba memandang dunia dengan cara pandang dan pola pikirnya, meski
seringkali sangat tidak masuk akal, dan terkadang luar biasa merepotkan, karena
jika kami melawannya, maka keselamatan kamilah yang bakal terancam. Ini jugalah cara yang sejalan dengan aliran transpersonal yang dikemukakan
dalam novel ini, dan saat sejenak menengok ke masa lalu, saya pikir, selain faktor
takdir Allah, itulah cara yang (mungkin) membuat kami sanggup melalui 13 tahun
hidup bersama orang yang abnormal. Jangan tanyakan berapa banyak air mata, rasa
takut, panik, kehilangan rasa nyaman dan keharusan menekan emosi ke titik
terendah dalam bilangan waktu belasan tahun itu. Masa itu pun sudah berlalu,
dan ia yang menderita sakit tersebut pun sudah meninggal dunia.
Back
to the topic. Novel ini langsung merebut
perhatian saya bahkan sejak dari sampulnya. Mulai dari pola desain mirip
vignette pada sampul depannya, sinopsis yang tak biasa pada sampul belakang dengan langsung mengutip
adegan seru dari cerita, ditambah dengan konten kisah yang tak hanya
menghadirkan kebaruan tema, tetapi juga mengupasnya dengan begitu detail, dalam, cerdas dan menawan.
Jika anda bertanya karya siapa yang paling banyak saya baca tahun
ini, maka karya mbak Sinta Yudisia-lah jawabannya. Dan Bulan Nararya, menjadi buku
keenam beliau yang saya tuntaskan pada tahun ini. Sebagai pamungkas, saya kutip beberapa kalimat bagus dari novel ini :
“Cinta
saja tak cukup untuk menjembatani. Hubungan cinta kasih juga membutuhkan
pengalaman dan keahlian. Kau bisa saja mengatakan mencintai pasanganmu dengan
sangat, tapi apakah caramu sudah cukup ahli untuk membuatnya terkesan, atau
justru menjauh dan tertekan?” (hal. 57)
“Cinta
kadang semakin kuat justru ketika menemui benturan.” (hal. 185)
“Manusia
berevolusi. Bukan yang terkuat yang dapat bertahan. Yang paling adaptiflah yang
akan lulus seleksi alam, melewati sekian banyak rintangan.” (hal. 230).
Jadi,
berapa bintang untuk novel ini? 5 bintang! Ya, serius. 5 bintang. :)
Judul : Bulan Nararya
Penulis : Sinta Yudisia
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Tebal : 256 hal
Genre : Fiksi
Terbit : September 2014
ISBN : 9786021614334
Wuiih.. keren kayaknya nih ya.. tapi kok juara 3 ya? Kupikir juara 1..
ReplyDeleteMultikonflik banget, ya, Mbak, novel ini. Tapi bener yang Mbak bilang, masih jarang novel dengan muatan psikologi yang sedemikian kental di Indonesia.
ReplyDeleteMenurut saya, mengapa 'cuma' juara tiga, bisa jadi karena nuansa budaya, lokalitasnya kurang dibandingkan juara satu, dua. Tulis nusantara itu kan menomorsatukan hal tersebut. Sekadar opini. Tapi novel Mbak Shinta ini memang keren (y) juara deh..
Takjub...speechless...sama pemaparan isi buku, juga hasil mereview...
ReplyDeleteSekata dengan mbk Ika, kayaknya memang multikonflik ya mbak, dengan tokoh yang banyak. Kemarin itu baca review mb Linda atas buku ini, baru tau kalo Nararya itu adalah nama orang. Nama yang unik
toss Mbak.. bintang lima juga..
ReplyDeleteBtw, subhanallah, 13 tahun di masa lalu Mbak itu sungguh luar biasa. Salut.. bisa melaluinya dengan penerimaan yg tinggi..
Wah, jadi mau bacaaaa.... (Ru, inget timbunan belom abis!)
ReplyDeleteWah resensinya komplit dan mencerahkan. Membaca resensinya seperti diberikan clue menarik yang membuatku nggak sabar baca. Aku hampir sedikit familiar dengan istilah OCD, narsistik dan farmakologi yg disebutkan..maklum 8 tahun dicekoki obat obatan dan diagnosis.
ReplyDeleteTrauma masa lalu biasanya jadi pemicu alami. kita memang harus lebih waspada dgn orang yang menerima perlakuan tidak wajar ketika kecil,kekerasan atau lahir dari rahim seorang ibu yg "rusak".
Aku pengen baca juga buku ini...Kayaknya kak Lyta sll memberikan apreaiasi tinggi untuk buku buku mbak Shinta Yudisia. Aku baru punya rinai, dan belum sempat kubaca.
Makasih review cantiknya....
Keren
keren mbak resensinya! :D keren bangett!
ReplyDeleteBuku ini masih dalam daftar antrian buku yg akan dibaca.. *baca dengan kecepatan kura2 :D*
ReplyDeleteBetul, sempat menduga-duga Bulan Nararya itu cerita budaya lokal tertentu. Ternyata bukan
ReplyDelete