Hidup pada hakikatnya adalah sebuah perjalanan. Namun terkadang,
kita melangkah terlalu cepat, hingga alpa memberi perhatian ekstra pada kelebat
demi kelebat peristiwa, alpa pula memungut hikmah yang terserak di dalamnya, bahkan
justru membiarkannya berceceran di jalanan.
Dalam buku ini, kita akan menemukan hal sebaliknya. Buku yang
berisi kumpulan perenungan dari apa yang dialami sendiri oleh penulis,
interaksinya dengan orang-orang di sekitarnya juga dari apa yang dilihat,
didengar, dan dibaca.
Buku ini terbagi atas tiga bab atau Jeda. Diawali dengan
Jeda Pertama yang merangkum kisah-kisah bertemakan rasa syukur. Di sini, terdapat
kisah-kisah dan perenungan penulis akan hikmah dibalik kisah tersebut, yang
jujur saja, membuat hati saya tersentuh. Sebut saja salah satunya tentang kisah
Kakek Pengemis di Depan Toko (hal. 23), dimana sang kakek dengan tubuh
menyimpan jejak penyakit lepra, diantara kesehariannya meminta belas kasihan orang
yang lalu lalang, dia masih menyempatkan diri untuk menunaikan shalat, membaca
Al-Quran dengan mata nyaris menempeli lembar kitab yang bahkan sudah robek
disana-sini. Bandingkanlah dengan kebanyakan manusia yang berada dalam kondisi
sehat wal-afiat, muda dan punya banyak waktu luang, justru dengan santainya
meninggalkan shalat dan menjadikan Al-Quran hanya sebagai penunggu lemari.
Kisah lain yang tak kurang menyentuh adalah yang berjudul
Menjadi Buffer. Di sini, penulis membuat analogi menarik dengan larutan buffer
yang berfungsi mempertahankan kondisi agar tetap berada pada keadaan yang tidak
diinginkan, meski formulasinya tak seterkenal zat aktif dari suatu sediaan.
Saat menghubungkannya dengan kehidupan, cobalah sejenak kita
renungkan, berapa banyak orang yang rela menjadi buffer? Yang menjaga keadaan
tetap stabil, tanpa perlu terlalu tampil. Tentang anak sulung yang “hanya”
seorang petani namun dialah yang membiayai sekolah adik-adiknya hingga menjadi “orang”,
dialah buffer. Tentang seorang anak yang “menukar” masa bermainnya karena harus
merawat ibunya yang lumpuh, dialah buffer. Tentang seorang nenek yang
seharusnya hidup tenang di masa tua, namun selama belasan tahun dia merawat
anaknya yang sakit dan tak sempurna, dia juga buffer. (hal. 35).
Pada Jeda Kedua yang berjudul Cinta pada Jalan Cahaya, kita
akan diajak menelusuri kisah-kisah yang akan mengugah nurani kita tentang jalan
yang mendekatkan atau menjauhkan kita dari Nur Illahi. Kita mungkin sudah tak
asing dengan kisah Nabi Musa yang hendak berguru pada Nabi Khidir sebagaimana
termaktub dalam surah Al-Kahfi, namun, tahukah kita hikmah yang terkandung
dalam kisah tersebut? Pertama, bahwa dalam menuntut ilmu pun kita harus
memerhatikan adab. Rendahkan hati di depan guru, dan banyak-banyak berdoa agar ilmu
dapat tertuang dengan sempurna. Kedua, bahwa betapa banyak hal yang tak kita
pahami, hingga begitu gampang menyalahkan keadaan, padahal dibalik peristiwa
paling tragis sekalipun, tetap tersimpan hikmah yang besar. (hal. 83 – 84).
Terdapat pula sebuah analogi tentang Laci yang tak kalah
menarik (hal. 91). Saat kita membersihkan laci, kita tak jarang menemukan
begitu banyak benda tak berguna yang wajib dibuang. Dan setelah membersihkan
laci, maka laci kita pun akan menjadi lapang. Membersihkan hati pun demikian
adanya. Saat kita membersihkannya dengan membuang hal-hal yang dapat mengotori
hati, termasuk memaafkan, maka akan kita rasakan hati kita diliputi oleh
kelapangan dan ketenteraman.
Buku ini berakhir dengan Jeda Ketiga berjudul Dalam Perjalanan
Pulang, yang merangkum kisah-kisah bertema pertobatan, keinsyafan dan kematian.
Tak hanya sekadar menyuguhkan kisah-kisah yang ada pada keseharian, penulis
juga turut menyertakan kisah-kisah shahabiyah yang layak dijadikan contoh tauladan,
seperti kisah Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khatab. Tak lupa pula penulis
menyertakan beberapa buah puisi yang kian mempercantik isi buku ini.
Saat membaca lembar demi lembar buku ini, bibir saya tak
henti-hentinya berdecak kagum, subhanallah, subhanallah. Terkadang juga
berhenti sejenak untuk mengusap air mata yang jatuh karena rasa terharu sebelum
kembali melanjutkan. Dan saat membuka lembar terakhir untuk membaca biodata
penulis, sungguh saya kembali dibuat
terkagum-kagum. Siapa menyangka, ke-38 kisah inspiratif nan menawan ini, adalah goresan
hati dan pemikiran seorang penulis yang usianya belumlah melampaui seperempat
abad? Benarlah bahwa kedewasaan tak selamanya berbanding lurus dengan usia. Dan
Diena Rif’ah, atau nama penanya Arrifa’ah, melalui buku ini telah membuktikan
kedewasaannya dalam memaknai hikmah dari berbagai peristiwa, dan mengajak
pembaca untuk dapat mengambil jeda sejenak seraya mengasah nurani, agar mampu
melihat cahaya Illahi yang memancarkan hikmah pada sekecil apapun peristiwa dengan
kebeningan hati.
Sebagai pamungkas, serangkaian pertanyaan pada bab terakhir buku ini untuk kita renungkan :
“Seberapa banyak pun ibadah kita kepada sang Khalik, seberapa menumpuknya ilmu kita kumpulkan, kesemuanya baru dapat dirasakan manfaatnya jika terbungkus keindahan akhlak. Kita patut bertanya : Sudah berapa banyak orang yang merasakan indahnya agama ini lewat kebaikan kita? Atau justru lebih banyak hati terlukai dan tersakiti oleh keburukan sikap dan perkataan kita, bahkan meski kita tengah membawa kebenaran?
Sudahkah kita benar-benar merepresentasikan Islam sebagai rahmatan lil alamin? Tanpa peduli ada atau tidaknya seseorang kelak yang akan mengakuinya atau mengenangnya?"
Judul : Merajut
Benang Cahaya
Jenis : Non fiksi Islam/Inspirasi
Penulis : Arrifa’ah
Penerbit : Qibla
Terbit : 2014
Hal : 189 hal
Buku yang sarat perenungan rupanya. Subhanallah, penulisnya masih muda. Maluuu... hehe
ReplyDeleteInspiratif banget mbak.
ReplyDeleteBuku yang pernah diterbitkan indie ya mbak. Aku juga mau deh bukuku yg pernah diterbitkan indie, dikirimkan lagi ke penerbit mayor :D
ReplyDeleteiya Melani, saya juga malu nih belum bisa nulis yg kaya' gini
ReplyDeletebener mbak Eky, inspiratif
Ela : coba aja tuh yg pernah di Leutika, kayanya masih update koq tema novelnya
Inspiratif banget..membersihkan hati layaknya membersihkan laci...
ReplyDeleteResensi yang cantik kak Lyta. terima kasih.
Sama2 yunita :-)
ReplyDelete