Sinopsis :
Demi mimpi ingin menjadi diplomat terkenal seperti kakeknya, Syifa
Nabila terbang jauh dari Mesir ke Korea Selatan. Tentangan dari ibunya
tak membuatnya surut. Dia telah membulatkan tekad ingin kuliah ke Negeri
Ginseng.
Sementara demi ingin lepas dari cengkeraman ayahnya yang seorang
jenderal besar di Turki, Rashid Mahmud, pergi ke Korea Selatan.
Alih-alih melanjutkan kuliah, dia justru lebih banyak menghabiskan
hari-hari di Korea dengan bermain dengan mabuk-mabukan, berkencan dengan
para gadis, kemudian meninggalkan mereka.
Lalu, apa jadinya jika kemudian Syifa dan Rashid ditakdirkan bertemu?
Apa yang akan terjadi? Sementara tanpa mereka tahu, masing-masing
keluarga mereka ternyata menyimpan sebuah rahasia besar yang saling
berhubungan satu sama lain. Sebuah rahasia yang bisa jadi akan menjadi
bom waktu.
Sebelum meresensi
novel ini, saya terlebih dulu minta ijin sama boss Indiva : kira-kira, kalau
resensi buku terbitannya kali ini ada keripiknya, nggak apa-apa? Jawab beliau :
Nggak apa-apa, silahkan saja.
Tetapi, sebelum
itu ada beberapa kabar baik tentang novel ini. Pertama – ini merupakan novel
debut, dan semangat penulisnya layak diacung jempol. Saya pernah menyimak
twitalknya, bahwa panjang novel ini aslinya jauh lebih banyak dari versi
terbitnya. Nah, yang terbit ini saja tebalnya 456 hal, bagaimana versi aslinya
ya? Dan buat saya, untuk sebuah novel debut, ini sebuah start yang baik
sekali.
Kedua – novel ini
punya angka penjualan yang sangat bagus, dan tentu saja, ini adalah hasil yang membanggakan
untuk sebuah novel perdana.
Sesaat, saya teringat
sebuah situasi berbeda. Pada curhat seorang penulis debut tentang angka
penjualan novelnya yang sangat minim. Padahal, untuk ukuran novel perdana,
novelnya sangat bagus. Begitulah, nggak hanya dalam hal percintaan ternyata,
dalam industri buku pun, angka penjualan tak jarang “mengkhianati” kualitas.
Kembali ke resensi
novel Han River’s Love Story, sebagai pembuka, saya kutip kalimat perdana
prolognya :
Edirne, 1962.
Di sebuah
perkampungan kecil yang terletak dekat dengan kota Edirne, 38 tahun kemudian,
sebuah mobil sedan hitam, dst.....
Mengapa harus
ada kalimat “38 tahun kemudian” jika sebelumnya tidak ada peristiwa yang diceritakan
pada tahun 1962? Mengapa tidak langsung saja menyebut dengan tahun 1962 + 38 menjadi
tahun 2000?
Pada lembar
selanjutnya di bagian prolog ini terdapat adegan antara seorang pria bernama
Nabil Umar yang menemui Suleyman. Siapa mereka berdua? Clueless. Bahkan sampai
lembar terakhir, tetap clueless.
Lanjut ke bab
berikutnya. Disebutkan kalau Syifa Nabila, seorang gadis asal Mesir ingin
menuntut ilmu ke Korea Selatan karena ingin menjadi diplomat terkenal seperti
kakeknya. Seandainya saja Syifa ini nggak berasal dari Mesir, saya mungkin
nggak akan bertanya-tanya. Bukankah Mesir dengan universitas Al-Azhar-nya di
Kairo adalah salah satu pusat pendidikan terbaik yang diincar berjuta remaja di
dunia? Tetapi kenapa Syifa justru ingin jauh-jauh keluar negeri hanya karena
ingin menjadi diplomat? Dan kenapa pilihannya Korea Selatan? Apakah negara ini
memang terkenal sebagai tempat pencetak para diplomat ulung?
Okelah, ini
sebenarnya bukan sesuatu yang nggak logis-logis amat. Dulu saya juga punya teman-teman
mancanegara, China, Thailand, Korea bahkan Jepang yang jauh-jauh datang bersekolah
ke Singapura. Padahal, kurang hebat apa pendidikan di China dan Jepang? Tetapi,
sepertinya akan lebih mudah dimaklumi kalau negeri asal sang empunya keinginan bukan
negeri yang di dalamnya terdapat universitas berkelas internasional. Ataupun jika
ingin tetap menggunakan benang merah yang sama dan negara yang sama, sepertinya
masih diperlukan penguatan alasan tokoh Syifa untuk menuntut ilmu di Korea.
Di dalam novel
ini, kita akan menemukan tokoh-tokoh remaja dari berbagai belahan dunia, ada Syifa
dari Mesir, Rashid dari Turki, Bayu dari Indonesia, Seung-Hee dari Korea, dan
lain-lain. Tetapi, deskripsi keberagaman ini justru terasa stereotype, terutama
dalam dialognya, seakan-akan mereka semua berasal dari negara yang sama.
Saya kutip satu
dialognya : “Memangnya kenapa? Tidak suka? Masalah buatmu? Oh, maaf deh, aku
seharusnya menjawab salammu dengan sopan, ya?” (hal. 85).
Mungkin, anda
akan mengira kalau kalimat ini terucap oleh tokoh remaja asal Indonesia, tetapi,
ini adalah ucapan tokoh Rashid, sang remaja asal Turki. Selipan bahasa Korea
pun tak banyak memberi perbedaan secara lekuk liku dialognya tetap sama. Sepertinya,
untuk novel berlatar luar negeri, dan tokoh-tokohnya memiliki kebangsaan yang
berbeda, lebih baik menggunakan bahasa baku dalam dialognya, sepanjang nggak
kaku-kaku amat dan too SPOK-minded.
Untuk penceritaannya
sendiri, sebenarnya tergolong bagus untuk ukuran novel debut, bahasanya mengalir,
ringan dan khas remaja. Tetapi, saya harus jujur bilang kalau pilihan kosakata,
adegan dan konfliknya masih sangat general dan sudah sering muncul dalam
novel-novel islami era awal tahun 2000an. Belum menghadirkan sebuah kebaruan.
Saat memilih
novel ini, saya diberitahu kalau di dalamnya terdapat nuansa politis. Sesuatu yang
lumayan menaikkan ekspektasi. Namun, nuansa ini hanya saya temukan dalam narasi
panjang (dan lumayan textbook) di hal. 412 – 415 tentang Gerakan Pembela
Khilafah dan Mustafa Kemal Attaturk. Saat saya membolak-balik lembaran sebelum
dan setelahnya, entahlah, saya tak merasakan latar ini punya relevansi yang
kuat dengan Rashid, sang remaja asal Turki yang berupaya mencari jawaban atas
rasa penasarannya terhadap sosok Syeikh Kheyrudin Umar, sehingga nuansa ini terkesan
hanya sekadar tempelan.
Dan kekecewaan saya
pun menemui pamungkasnya pada ending. Tidak ada kejelasan tentang hubungan
Rashid dan Syifa, yang sejak awal cukup mengalami intensitas naik turun dan
menjanjikan adanya sebuah solusi yang memuaskan, ternyata hanya berakhir dengan
pertanyaan dalam hati Syifa tentang rasa cinta yang mulai tumbuh.
Cerita ini pun
ditutup dengan adegan pembicaraan di telpon antara seseorang dengan Abdulhey
tentang rencana memasok senjata dari Korea ke Angkara. Siapa itu Abdulhey? Apa
hubungannya dengan semua kisah dalam cerita ini? Hanya Tuhan dan penulis (dan
mungkin plus editornya) yang tahu.
Memberi open
ending memang menjadi hak penulis, tetapi open ending yang meninggalkan banyak
lubang menganga dan ketidakpastian nasib tokoh ceritanya, saya ingin menamainya PHP-ending. (jangan cari
istilah ini di tips menulis manapun, karena nggak bakal ketemu :p)
Okelah. Mungkin
novel ini memang direncanakan untuk dibuat sekuelnya. Tetapi, mau berapa seri
pun kelanjutannya di kemudian hari nanti, tetap saja pembaca membutuhkan
kejelasan tentang tokoh-tokoh yang hadir dalam kisah pertamanya ini. Saya ambil
contoh novel trilogi De Winst. Meski sejak awal penulisnya telah merencanakan
akan membuat lanjutannya, di seri pertamanya pembaca sudah dikenalkan dengan
jelas siapa itu Rangga Puruhita, Sekar Prembayun dan Kareen Spinoza. Dan open
ending yang disajikan pun tetap memberi kejelasan akan nasib ketiga tokoh ini.
Terlepas dari
sejumlah kritik diatas, novel ini punya pesan-pesan islami yang bagus, diantaranya
yang berkesan buat saya adalah tentang kepribadian mulia Rasulullah yang digambarkan
laksana Al-Quran berjalan dan makna dari ucapan Insya Allah.
Dalam hal ini
saya nggak akan mempermasalahkan teknik penyampaianya yang masih menggunakan cara
“tell” secara langsung lewat dialog beberapa tokohnya. Karena secara pribadi,
saya pun termasuk pembaca yang masih butuh untuk “dinasehati”.
Sekadar saran
buat penerbit. Sejauh ini, saya nggak ada complain untuk novel-novel pada lini
dewasanya, tetapi untuk lini novel remaja, sepertinya perlu (sedikit) berbenah. Tetapi kalau angka selling yang bagus sudah cukup sebagai indikator, ya saran ini monggo diabaikan, hehe.
Untuk
penulisnya, maaf ya kalo resensi ini kelewat jujur :D. Saya yakin penulisnya
punya potensi besar dan semangat juang tinggi dalam berkarya. Dan, don’t
worry, yang nulis resensi ini bisanya baru ngomong doank kok, dalam prakteknya
juga masih banyak bolong-bolongnya kaya’ cokelat fullo :)
Judul : Han River’s Love Story
Penulis : Rama Firdaus
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Tebal : 456 hal
Jenis : Fiksi
Terbit : April 2014
Ahaaaa.....PHP-ending. Boleh juga istilahnya, xixixiiiii....
ReplyDeleteBtw, 400-an halaman itu lumayan tebal menerutku, setidaknya untuk novel debut. salut dah, biasanya novel debut suka tipis-tipis, tapi mungkin ini pengecualian ya mbak, hehee..
iya mbak eky, 456 hal, berarti versi A4-nya lebih dr 300 hal tuh, ckckck
ReplyDeleteKadang ada penulis pemula yang justru bingung mau akhirin novenya, Mbak. Hihi //////
ReplyDeleteEmang banyak notes nya ya? Hm...
Aku boleh tau nggak Mbak Lyta, yang dimaksud dengan "tetapi untuk lini novel remaja, sepertinya perlu (sedikit) berbenah." ini berbenah kayak apa? Dari segi penerbitnya sendiri kah atau isi/gaya tulisan yang diterbitin. Kalo tentang yang diterbitin, boleh tau nggak Mbak Lyta ngarepin tulisan genre remaja di indiva kayak gimana? *kali nanti kalo novelku selesai bisa masuk indiva* //////
Ruru : kan ada editornya, hehe. Minimal di sini editor bisa membantu memberi saran kalo endingnya kurang memuaskan.
ReplyDeleteYa berbenah untuk unsur-unsur penceritaannya. Aku baru baca beberapa novel remaja indiva, tetapi umumnya masih belum kuat dari unsur karakter tokohnya, pengemasan alur, kekhasan setting, dan masih stereotype novel2 remaja islami era tahun awal 2000an. Juga masih identik dengan menyampaikan pesan dgn cara menasehati. Seperti itu kira2 :)
Baru selesai baca novelnya, hanya sehari.. Tapi, lumayan untuk novel debut..
ReplyDeleteLumayan penasaran sama sama lanjutannya ....
ReplyDeleteDitunggu aja deh.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeletePenasaran sekali dgan kelanjutan kisah Syifa dan Rashi.. Sangat diharapkan kelanjutan novelnya ya mbak..
ReplyDelete