Tanpa disadari, kehidupan modern saat
ini telah terkepung oleh produk-produk buatan manusia sendiri. Produk yang
membuat manusia mengalami ketergantungan, bahkan kecanduan, hingga rasanya ada
yang kurang jika sehari, atau bahkan sejam saja berpisah dengannya. Ataupun
jika hidup tanpa melibatkan kehadiran produk tersebut di dalamnya. Sebut saja
diantaranya gadget, internet, televisi, game, termasuk produk-produk kecantikan
bagi wanita.
Inilah yang kemudian membentuk budaya
pop. Atau budaya komersil, atau juga dalam istilah lain disebut budaya massa. Sebagaimana
dikutip dari Pikiran Rakyat, menurut Idi Subandi Ibrahim, budaya pop merupakan
kebudayaan massa yang populer dan ditopang oleh industri kebudayaan serta
mengonstruksi masyarakat tak sekadar berbasis konsumsi, tapi juga menjadikan semua
artefak budaya sebagai produk industri. (hal. 3).
Dalam buku bersampul kuning ini, penulis
dengan gamblang dan lugas membeberkan fenomena dan dampak negatif dari pengaruh
budaya pop ini terhadap masyarakat.
Pada bab 1 yang berjudul Berhala itu
Bernama Budaya Pop, yang sekaligus menjadi judul buku ini, penulis terlebih
dulu memberikan pengertian untuk istilah-istilah yang erat hubungannya dengan
fenomena budaya pop itu sendiri, diantaranya mencakup pengertian budaya, budaya
pop, masyarakat modern, komersialisasi, rasionalisasi, dan monetisasi.
Pada bab 2 yang berjudul Mazhab Kritis
sebagai Alat Baca, penulis menjelaskan tentang makna kritis baik secara harfiah
maupun historis, mengapa sikap kritis diperlukan dan tanda-tanda dari sikap dan
pikiran kritis. Adapun maksud penulis menghadirkan pembahasan tentang ini, adalah
agar pembaca dapat menyikapi budaya pop dengan sepenuh kesadaran dan bukannya
terlena oleh gemerlapnya budaya tersebut.
Penulis menggunakan bab-bab selanjutnya
untuk menguraikan efek negatif dari elemen-elemen budaya pop. Diantaranya efek
bermain games yang dapat menyebabkan kecanduan, siaran televisi yang tidak
bermutu dan dapat memberi pengaruh buruk pada anak-anak, ketergantungan pada
gadget dan internet, mall dan cafe sebagai pembentuk budaya hedonis dan mematikan
ekonomi masyarakat kecil, juga bagaimana kaum wanita sangat mendewa-dewakan
fashion dan kecantikan.
Tidak semuanya berfokus pada efek
negatif budaya pop, pada beberapa bagian, penulis mengulasnya dalam kapasitas sebuah
fenomena, dimana penulis sendiri mengaku ia pun pernah terjebak didalamnya.
Sebut saja tentang bagaimana pengguna internet begitu “menuhankan” google
hingga setiap kali ingin mengetahui sesuatu, cukup melakukannya dengan mengetik
di kolom pencarian google. Dan tentu saja, fenomena media sosial seperti
facebook yang bisa bikin penggunanya kadang tertawa-tawa sendiri seperti orang
gila saat asyik mengaksesnya.
Buku ini disajikan dengan penuturan
campuran, ada dalam bahasa serius saat penulis menguraikan tentang pengertian,
makna etimologi dan histori. Dan lebih banyak yang dituturkan dalam bahasa
gaul, dilengkapi ilustrasi-ilustrasi kartun sebagai pemisah antar bab, serta
istilah-istilah guyon dalam versi penulis sendiri, seperti tampangisme, wajahisme, zaman goblogisasi
dan gombalisasi. Pada beberapa lembarnya,
“celetukan” penulis cukup memberi kesan tertohok dan tertampar. Misalnya saja
saat penulis menguraikan tentang fenomena jilbab dewasa ini, dimana jilbab
lebih menonjolkan sisi modis dan gaya ketimbang memenuhi aturan. Para jilbaber
dewasa ini, banyak yang tak bisa menghindar dari serangan virus “aku bergaya,
maka aku ada”, yang merupakan saduran dari pernyataan Rene Descartes, filsuf
Prancis yang berbunyi “aku berpikir, maka aku ada,” juga yang lumayan tajam,
saat penulis menganalogikan eksistensi internet saat ini tak ubahnya sebuah “agama”,
yang membuat penggunanya asyik masyuk dengan dunianya sendiri, dan menganggap
internet selayaknya orbit kehidupan.
Buku ini memang tidak secara nyata memaparkan
langkah-langkah solusi untuk mengantisipasi efek negatif budaya pop. Penulis
sepertinya memang sebatas menggiring pembaca pada kesadaran dan perenungan
untuk kemudian memutuskan sendiri sikap yang tepat terhadap gerak laju budaya
pop yang telah kian jauh merasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat dewasa ini.
Judul : Berhala itu Bernama Budaya Pop
Penulis : Ridho “Bukan” Rhoma
Penerbit : Leutika
Tebal : 91 hal
Jenis : Non Fiksi
Terbit : Juni 2009
No comments