Novel pemenang unggulan DKJ 2012 ini bercerita tentang
cinta yang tumbuh di tengah
peristiwa perang saudara di Ambon, yaitu antara Sala, seorang pemuda Kristen
asal desa Watran, dan Namira, seorang gadis muslim asal Kei. Keduanya bertemu di pengungsian, dan dari
sanalah bibit-bibit cinta itu tersemai lalu tumbuh mekar.
Kei sendiri adalah nama pulau di Ambon yang
paling lambat mengalami riak kerusuhan, juga yang paling cepat bangkit dari
keterpurukan pasca tragedy berdarah di Ambon. Ini antara lain disebabkan
kuatnya pengaruh hukum adat serta keteguhan masyarakatnya dalam menjunjung
hukum adat tersebut sehingga mempercepat masa pemulihan.
Cinta antara Sala dan Namira sendiri tak
berjalan mulus. Keduanya terpisah saat Sala diajak temannya Edo merantau di
Jakarta dan Namira yang kebingungan terbawa seseorang naik kapal yang menuju ke
Makassar. Akankah keduanya ditakdirkan bertemu kembali? Dan apa yang dialami
keduanya saat hidup terpisah?
Cerita ini ditulis dengan diksi yang indah dan
variatif juga deskripsi setting yang benar-benar detil. Saking detilnya hingga penulis tak mengabaikan
satu elemen kecil pun seperti pemilihan nama tokoh, aksen dialog, nama makanan
khas daerah setempat, jenis tumbuhan dan pepohonan, terlebih-lebih jenis adat
istiadat dan bagaimana adat tersebut diberlakukan serta sanksi bagi yang tidak
mematuhinya.
Kisah cinta antar penganut agama yang berbeda –
dalam hal ini diwakili oleh kedua tokoh utamanya Sala dan Namira - juga turut
diangkat penulis di dalam novel ini. Tak hanya tentang cinta, tetapi juga
persahabatan, dan dalam novel ini juga terungkap fakta bahwa tragedy dan
kerusuhan Ambon sebenarnya bukanlah berpunca pada konflik antar agama, tetapi
memang sengaja direkayasa pihak-pihak tertentu yang ingin mengambil keuntungan
dari terciptanya instabilitas di tanah air.
Kelebihan lain dari novel ini juga terletak pada
karakter tokoh-tokohnya yang terasa hidup, plot yang rapi dan tentu saja pada
bagaimana penulis mengolah cerita ini dengan didukung riset yang mendalam serta
penulisan yang serius.
Jika membincang kekurangan, maka hemat saya, hal itu terletak pada bagaimana
cara penulis mendeskripsikan konflik. Dengan begitu banyak titik-titik api
dalam cerita yang sangat berpotensi untuk diolah menjadi konflik yang mencekam,
nuansa yang dibangun oleh penulis justru terasa lebih mirip reportase.
Reportase yang ditulis dalam bahasa literer dan “sedikit” berjejal informasi.
Hal ini membuat greget novel ini sedikit menurun pada pertengahan cerita, dan
faktor plus yang membuat saya tetap bertahan menyelesaikannya adalah pada
diksinya yang indah juga pada informasi-informasi baru tentang adat Kei yang
selama ini belum saya ketahui. Untunglah, pada bab-bab menjelang akhir, penulis
berhasil menaikkan ritme novel ini lewat adegan kejar-kejaran polisi dan Sala
juga gank mafia serta menutupnya dengan open ending yang sangat menyentuh.
Dengan semua kelebihan yang dimiliki novel ini,
tak salah jika juri memilih novel ini sebagai pemenang unggulan DKJ, dan
penulisnya sendiri, juga memiliki bobot penulisan diatas rata-rata. Ini
dibuktikan dengan keberhasilan penulis dalam ajang bergengsi lainnya seperti
memenangi lomba penulisan cerpen JILFest tahun 2011 dan sayembara cerber Femina
pada tahun 2012.
Semoga Kei dapat menginspirasi munculnya
karya-karya berbobot yang mengusung problema berlatar tempat dan adat lokalitas
Indonesia yang begitu kaya ini.
Judul : Kei ; Kutemukan Cinta di tengah Perang
Penulis : Erni
Aladjai
Penerbit : Gagas Media
Tebal : 250
hal
No comments