Judul : Menjadi Djo
Penulis : Dyah Rinni
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Mei
2014
Halaman : 290 hal
Sinopsis :
Apa yang ada di pikiran anda saat
mendengar sebutan “china”? Sebuah negeri dengan tembok raksasa, hewan panda, orang-orang
dengan kemampuan bisnis yang brilian, ataukah hadist Nabi tentang anjuran untuk
menuntut ilmu hingga ke negeri China?
Diantara semua fakta tersebut, tak dipungkiri,
masih terdapat fakta miring tentang diskriminasi rasis yang dialami orang-orang
etnis China atau Tiongkok di negeri ini sebagai kaum minoritas.
Ini jugalah yang mewarnai perjalanan hidup
A Guan, tokoh sentral novel ini dalam metamorfosisnya menjadi seorang
“Indonesia”. A Guan menjalani masa kecilnya di Medan pada tahun 1960-an dalam
keluarga yang cukup berada. A Guan bersahabat dengan Yanto, anak pembantunya
yang seorang Jawa tulen. Suka duka dan lika-liku terkait perbedaan suku dan
warna kulit, turut mewarnai persahabatan mereka, hingga akhirnya, tragedi
pemberontakan PKI pada tahun 1965 membuat mereka terpisah. Isu bahwa
orang-orang china membantu orang komunis berdampak pada keselamatan kaum
minoritas. Atas alasan itulah, keluarga A Guan kemudian memutuskan untuk
meninggalkan Medan dan pindah ke Jakarta.
Bagian kedua dari cerita ini pun
dimulai, dengan A Guan yang menjalani kehidupan barunya sebagai seorang remaja
tanggung di Jakarta. Sesuai peraturan pemerintah waktu itu, semua orang harus
menggunakan nama Indonesia, tak terkecuali orang-orang tionghoa. Maka A Guan
pun berganti nama menjadi Djohan.
Saat duduk di bangku SMP, Djohan
menunjukkan minat dan bakatnya dalam bidang penulisan. Bersama teman-temannya,
ia membuat majalah Samantha. Kisah cinta monyet khas remaja juga turut dialami
Djohan pada fase ini. Ia tertarik dengan Rinai, teman satu sekolahnya. Namun
belum sempat ia mengutarakan perasaannya, mereka keburu berpisah.
Fase ketiga dalam kehidupan Djohan
dimulai pada tahun 1972. Saat ini, Djohan sudah duduk di bangku kuliah. Siapa
menduga, orang-orang yang pernah mengisi masa lalu Djohan, hadir kembali pada
masa ini. Mereka adalah Rosie, teman SD yang dulu pernah membela Djohan saat
dikeroyok teman-temannya dan sekarang dijodohkan orang tuanya dengan Djohan,
Alvaro, mantan musuh Djohan, dan juga....Rinai.
Melalui novel ini, kita tak hanya diajak
menelusuri kehidupan warga Tionghoa di Indonesia pada era tahun 1960an –
1970an, tetapi juga representasi suara hati mereka untuk dianggap sebagai orang
Indonesia seutuhnya, sebagaimana yang dikatakan Djohan pada Alvaro di bumi
perkemahan : “Apa hanya karena lahir di Indonesia, otomatis kita menjadi orang
Indonesia? Kalau begitu, bukankah aku berhak disebut sebagai orang Indonesia
juga? Tetapi tidak. Hanya karena kulit kami yang berbeda, seumur hidup
keberadaan kami akan selalu dipertanyakan apakah kami setia? Apakah kami akan
membelot? Apakah kami akan menjual negara ini? Sepanjang hidupku, aku hanya
mengenal satu negara, Indonesia. Aku lahir di sini,makan di sini, dan kelak
akan mati di sini. Aku berdarah ketika Indonesia disakiti. Bagaimana mungkin
aku tidak memikirkan negeri ini sementara semua yang aku cintai dan perjuangan
ada di negeri ini?” (hal. 262 – 263).
Menjadi Djo, sebuah novel yang
terinspirasi dari kisah nyata Johari Zein, orang yang berada dibalik kesuksesan
JNE sebagai salah satu perusahaan ekspedisi terbesar di negeri ini, akan
mengajak kita merenungkan makna keyakinan, dan perjuangan mewujudkan keyakinan
itu menjadi kenyataan.
Resensi dimuat di www.indoleader.com edisi Jumat 27 Juni 2014
Oh jadi ini kisah nyata si pemilik JNE...
ReplyDeleteSuka resensinya kak Lyta...
Aku jadi bisa membayngkan isi ceritanya.
Aku juga setuju dengan perasaan kaum minoritas yang seolah tersisihkan hanya karena perbedaan warna kulit.
Temanku banyak yang keturunan China tapi mereka asyik kok dan enak bersahabat dengan mereka. Oh persahabatan Yanto dan A Guan mirip Hassan dan Amir ya? Aku juga selalu terkenang kenang dengan dua sahabat ini.
Musah mudahan bisa baca Buku Menjadi Djo ini...mupeng :D