
Resensi :
Kali ini Windry
berkisah tentang Kai dan Hanna. Kai yang seorang produk broken home, hidup
berantakan, nyaris putus kuliah, sering melarikan diri pada minuman beralkohol,
dan dalam soal asmara – tergolong penganut pergaulan bebas. Di sisi lain, Kai
sebenarnya seorang pria cerdas dan gitaris jazz yang sangat berbakat. Bersama kedua
rekannya, Gitta dan Jun, mereka membentuk grup bernama Second Day Charm.
Sedangkan Hanna,
seorang gadis yang mengalami trauma akibat diperkosa mantan kekasihnya, membuat
Hanna berubah menjadi gadis yang rapuh, lemah, dan membutuhkan seorang therapi
untuk membantu pemulihan psikisnya.
Pertemuan Kai
dan Hanna menghadirkan sentuhan yang berbeda dalam hati masing-masing. Sentuhan
yang dirasakan Kai, berbeda dari apa yang selama ini ia rasakan saat “bermain-main”
dengan banyak perempuan lalu meninggalkannya. Sementara dalam hati Hanna,
interaksinya dengan Kai selalu mendatangkan kehangatan dalam hatinya. Namun, kedua
rasa ini ternyata tidak mudah untuk saling bertaut. Saat Kai menyatakan
perasaannya pada Hanna, gadis itu justru menghindar, menjauh, sikap yang tak
lain adalah wujud traumanya atas peristiwa tragis yang menimpa dirinya.
Selain itu, terdapat
pula kisah tentang Gitta. Vokalis Second Day Charm yang juga tinggal di kompleks
apartemen yang sama dengan Hanna, punya sikap sinis dan protektif terhadap
Hanna, karena ia tak ingin Hanna dikecewakan oleh pria macam Kai meski ia juga
tidak terlalu dekat dengan Hanna. Namun, Gitta menyimpan masalah yang tak kalah
kompleks. Ian pacarnya adalah seorang pria psikopat, dan Gitta yang terlalu
mencintainya selalu luluh dan tak mampu melawan kekerasan yang dilakukan Ian.
Padahal, anggota grup mereka yang lain, yaitu Jun, juga punya perasaan spesial
terhadap Gitta.
Ini adalah novel
pertama Windry untuk genre roman new adult, yang juga merupakan lini baru di
penerbit Gagas Media. Lini yang khusus menerbitkan novel-novel roman dewasa,
atau boleh juga dianggap sebagai harlequin versi lokal.
Penampilan sampul
dan blurb novel ini, sebenarnya sudah memberi identitas atas “kedewasaan” muatan
level keintiman dalam novel ini, namun, sepertinya akan lebih baik, jika novel
ini juga memasang kode novel dewasa, kalau perlu dengan batasan umur seperti
pada tayangan televisi, meski pun pada kenyataannya, saat buku sudah dilempar
ke pasaran, tidak ada kontrol khusus yang bisa diberlakukan pada pembeli dan
pembaca.
Pada novel ini,
Windry kembali menunjukkan kemampuannya dalam mengolah diksi yang cerdas dan
efektif, dialog yang segar, latar kehidupan musisi dan karakter tokoh-tokohnya
yang hidup. Pembaca akan dengan mudah mengidentifikasi sosok Kai yang
berengsek, Hanna yang ringkih (sosok ini sedikit banyak mengingatkan saya pada
sosok Haru dalam novel Windry lainnya yaitu Montase), Jun yang terkendali dan
Gitta yang sinis. Pembaca juga bisa menikmati kehidupan musisi jazz yang disajikan
cukup deskriptif dan detail oleh Windry, dilengkapi dengan beberapa lirik lagu
yang indah.
Hanya saja,
kesan yang saya peroleh setelah menutup novel ini, berbeda dengan apa yang saya
dapat setelah membaca Memori, Montase dan juga London. Memori, sebagai novel Windry
terbaik di mata saya, mampu meninggalkan kesan akan kehangatan keluarga dan
pengorbanan. Montase meninggalkan jejak dalam benak saya akan perjuangan
tokohnya mencapai cita-cita meski dihadang berbagai rintangan, dan untuk
London, meski kesan-kesan itu sedikit memudar, berhubung saya memang kurang
klik dengan selipan unsur fantasi di dalamnya, tetapi latar kota London yang
diceritakan dengan baik cukup membuat terhibur.
Lalu, bagaimana
dengan Interlude? Jujur saja, setelah menutup novel ini, saya merasa....sesak.
Saya seperti tengah dihadapkan dengan orang-orang yang tumbuh dari latar
kehidupan yang rumit, memecahkan masalahnya dengan cara yang tak kalah rumit dan
memiliki karakter yang juga kompleks.
Lihatlah
bagaimana Kai melarikan persoalannya pada minuman keras dan berganti-ganti
pasangan kencan termasuk teman tidur. Atau Gitta yang rela “pasang badan” pada
perlakuan psiko kekasihnya atas nama cinta dan demi karir musik grup mereka, di
mana Ian sempat bergabung sebagai drummer. Hanna yang begitu sulit membebaskan
diri dari trauma meski telah didukung bantuan psikiater. Juga Jun yang dengan
sikap tenangnya lebih memilih untuk mengalah ketimbang memperjuangkan
perasaannya pada Gitta hingga apa yang dialami Gitta harus terjadi
berulang-ulang.
Dan, saya juga
menyimpan beberapa inkonsistensi yang berputar-putar dalam pikiran saya
terhadap novel ini : mengapa mama Hanna yang katanya over protective justru
membiarkan saja anaknya indekos di apartemen ketimbang tinggal bersama orang
tua, padahal mereka tinggal di kota yang sama juga mengingat apa yang dialami
Hanna?
Untuk sosok Hanna sendiri, jika melihat apa yang dialaminya, dalam
bayangan saya akan berubah menjadi sosok yang dingin berbalut ketakutan
bercampur kebencian terhadap lelaki, namun apa yang dia tunjukkan pada Kai, lebih
cenderung pada dingin yang malu-malu kucing, sikap yang justru lebih berpotensi
memancing rasa penasaran pria seperti Kai. Dan Gitta, sejak awal saya menangkap
kuatnya karakter sinis, keras, emosian dan egois pada dirinya, tetapi di sisi
lain, kenapa dia begitu mudah untuk tunduk bahkan mengalah pada kekerasan
pacarnya?
Saya sempat
berharap, dalam novel ini Windry juga akan menggambarkan perjuangan grup musisi
jazz dalam meraih impiannya, seperti juga apa yang berhasil dilakukan Windry
dalam Memori dan Montase pada profesi tokoh-tokohnya. Namun dalam novel ini, perjuangan
mereka terkesan mudah, dan konflik lebih fokus pada masalah internal yang dialami
tokoh-tokohnya.
Adanya latar kisah orang tua Kai yang ingin berpisah, dan
keluarga yang berantakan, sebenarnya cukup menarik dalam menjelaskan hubungan
sebab-akibat antara ketimpangan kecerdasan dan sikap yang dimiliki Kai. Betapa
kecerdasan dan kehidupan mapan tak mampu mencegah seseorang bertumbuh menjadi
pribadi yang berantakan saat keluarga telah kehilangan keharmonisan dan kasih
sayang yang dalam.
Namun,
barangkali “tuntutan” dari genre novel ini akan warna roman dewasa yang lebih “kental”,
membuat warna itulah yang lebih mendominasi kisah ini dan dengan sendirinya, muatan-muatan
lainnya menjadi sedikit memudar. Di lain sisi, kekentalan itu ternyata juga
harus berbenturan dengan kultur. Meski kultur yang tertuang dalam novel ini
boleh jadi adalah potret segelintir kehidupan masyarakat negeri ini, namun
tetap saja, siapapun bisa dengan mudah mengidentifikasi gaya pergaulan yang
dengan mudah “melegalkan” keintiman lewat sentuhan fisik (bibir-red) dan tidur
bersama, adalah kultur pergaulan ala western.
Jadi, bagi anda
yang penasaran dengan novel-novel dari genre ini, sebaiknya memastikan diri
terlebih dulu bahwa anda adalah seorang pembaca “dewasa”, bukan hanya sekadar
dewasa dalam usia, tetapi juga dewasa dalam pengendalian diri dan kemampuan
menyaring nilai yang terkandung dalam sebuah bacaan.
Judul : Interlude
Penulis : Windry Ramadhina
Penerbit : Gagas Media
Tebal : 371 hal
Genre : Fiksi (novel dewasa)
Terbit : Cetakan pertama, 2014
ISBN : 9789797807221
Jika dihadapkan pada buku ini, saya mungkin ingin membacanya. Untuk saya sendiri, mungkin saya sudah cukup 'dewasa' mengendalikan diri, ahahahh... Tapi mungkin tidak untuk remaja dan anak-anak ya mbak.
ReplyDeleteOkesip, mantap banget review-nya mbak.
nampak sekali reviuwer-nya...pintar dan cerdas..siiplah..
ReplyDeleteTafibya berharap interlude mirip2 memori tapi ternyata oh ternyata
ReplyDeleteSuka dengan endingnya
ReplyDeleteSeharusnya ada label dewasa di novel ini ya mbak :)
iya mbak Eky, kalo untuk pembaca dewasa sih no problem :)
ReplyDeletebelum masuk kategori review cerdas ini mbak Nita, hehe, makasih ya udah mampir
mbak ika, mungkin krn lini genre-nya juga beda
Esti, iya, harapannya sih begitu, walaupun covernya juga sebenernya udah menggambarkan ciri itu
Membaca resensi ini, seakan membaca tentang resensi saya sendiri. Saya juga sependapat dengan mbak Riawani apalagi di bagian
ReplyDelete"Dan, saya juga menyimpan beberapa inkonsistensi yang berputar-putar dalam pikiran saya terhadap novel ini : mengapa mama Hanna yang katanya over protective justru membiarkan saja anaknya indekos di apartemen ketimbang tinggal bersama orang tua, padahal mereka tinggal di kota yang sama juga mengingat apa yang dialami Hanna? "
:)
Resensi saya bisa di baca di sini
http://www.bebekbulat.com/2014/07/review-novel-interlude-selalu-ada-jeda.html#more
mantab ini novel, dan saya memilih novel ini sebagai bahan penelitian skripsi saya
ReplyDelete