Resensi :
Tanggal 1 Mei,
bertepatan dengan peringatan Hari Buruh Sedunia. Dan di Indonesia, tanggal ini
sudah ditetapkan sebagai salah satu hari libur nasional. Meski demikian, masih
banyak hal yang belum tuntas, terkait dengan hak-hak serta kesejahteraan buruh.
Salah satunya
adalah hak bagi buruh atau pekerja difabel, alias penyandang cacat, yang sampai
saat ini masih mengalami diskriminasi dalam hal pilihan pekerjaan dan
aksesibilitas.
Inilah yang dialami
oleh Tiara, tokoh utama novel ini, seorang penyandang cacat yang harus menggunakan
kruk untuk menyangga sebelah kakinya. Saat mencari pekerjaan, tak banyak
pilihan yang bisa diambil Tiara, karena harus disesuaikan dengan kondisi
fisiknya. Diantaranya adalah sebatas pekerjaan di depan komputer, berurusan
dengan huruf demi huruf dan tak mengharuskannya berpenampilan menarik atau
menjalani mobilitas yang tinggi (hal.14).
Meski demikian,
Tiara tak ingin menyerah. Dia berusaha mandiri dengan menekuni bisnis online
dan kreasi craft. Seorang temannya lalu menawarinya bekerja di Sarwo Batik,
sebuah perusahaan kecil yang merintis usaha handicraft, dan kebetulan sedang
membutuhkan karyawan untuk mengelola web dan penjualan online. Tiara mencoba
melamar, dan diterima.
Di sini, Tiara
memiliki atasan yang tampan dan baik hati bernama Hakam. Hakam juga sangat
perhatian pada Tiara. Perasaan simpati Tiara pun mulai tumbuh dan berkembang
kepada Hakam. Namun ia cepat menepis perasaan itu, karena baginya, perempuan
cacat tak akan pernah diinginkan para lelaki untuk dijadikan kekasih atau istri
(hal. 8).
Sahabat SMA
Tiara bernama Antariksa, yang baru pulang dari luar negeri, memberi warna baru
dalam kehidupan Tiara. Antariksa atau dipanggil Anta juga adalah seorang
difabel yang harus duduk di kursi roda. Bermodalkan pengalamannya selama berada
di luar negeri, Anta mengajak Tiara membentuk komunitas difabel di kota Solo,
dengan tujuan memberi pemahaman kepada para difabel akan hak yang harus mereka
milki, mengetuk hati pemerintah untuk lebih memperhatikan kaum difabel. (hal.
53), serta mendorong agar kaum difabel bisa mandiri dan memiliki bargaining
position di dunia kerja (hal.65).
Rencana mereka
akhirnya terwujud. Terbentuklah Komunitas Difabel Solo (KDS), dan para
anggotanya dilatih membuat kerajinan tangan. Tidak hanya itu, Anta dan Tiara
juga getol mempublikasikan aktivitas dan kemampuan para anggota kepada
masyarakat.
Usaha mereka
membuahkan hasil. Perusahaan Sarwo Batik tempat Tiara bekerja, setuju untuk
menyerahkan beberapa pesanan konsumen kepada KDS. Masalah mulai muncul saat
beberapa order tak mampu dipenuhi para anggota KDS tepat waktu karena
keterbatasan mereka. Belum lagi masalah minimnya dukungan dana.
Ketika seorang tokoh
masyarakat berkenan memberikan dukungan dana, pada awalnya ini dianggap angin
segar oleh Tiara dan Anta, namun pada perkembangannya, ternyata tokoh tersebut
ingin memanfaatkan KDS untuk memuluskan rencananya menuju kursi legislatif.
Tiara dan Anta sepakat menolak. Lebih baik KDS tetap berjalan dengan segala
keterbatasan fasilitas, daripada menjadi alat untuk meraih kekuasaan seseorang
(hal.234).
Anta kemudian
menyerahkan pengelolaan KDS pada Tiara, saat aplikasi beasiswa yang sudah lama
dia ajukan, diterima. Meski pada awalnya meragukan kemampuannya, tetapi berkat
dorongan orang-orang terdekatnya, Tiara akhirnya memberanikan diri untuk
mencobanya. Dalam segenap keterbatasan, dana dan fasilitas, aktivitas KDS tetap
berdenyut.
Cinta Tiara pada
Hakam ternyata tak bertepuk sebelah tangan. Hakam berniat menikahi Tiara. Cinta
inilah yang juga meyakinkan Tiara bahwa wanita sepertinya pun berhak meraih
kebahagiaan seperti wanita normal. (hal. 321).
Judul : Her Beautiful Eyes
Penulis : Rien Dj
Penerbit : Qanita
Tebal : 328 hal
Genre : Novel
Terbit : 2013
ISBN : 9786029225907
Dimuat di : http://www.indoleader.com/index.php/resensi/2753-difabel-bukan-halangan-untuk-menjadi-pekerja-mandiri
baca revie nya mba Lyta...bagi saya sudah cukup...^_^
ReplyDeletehehe, makasih mbak Nita :)
ReplyDelete