Judul : Memori
Penulis : Windry Ramadhina
Penerbit : Gagas Media
Tebal : 304 hal
Genre : Fiksi
Terbit : Cetakan pertama, 2012
ISBN : 9789797805623
Resensi :
Kisah dituturkan
oleh Mahoni, seorang arsitek yang meniti karir di Virginia, namun oleh satu
panggilan dari tanah air tentang kabar kematian ayahnya, membuatnya harus
kembali ke Jakarta. Dan ternyata, masih ada hal lain yang menahan langkahnya
untuk kembali ke Virginia, sesuatu yang menjadi “peninggalan” sang ayah dan ibu
tirinya Grace. Dialah Sigi, buah perkawinan keduanya yang masih remaja, dan
tidak punya siapa-siapa sepeninggal keduanya.
Di mata Mahoni,
Grace ibu Sigi adalah wanita yang merebut ayahnya dari dirinya dan Mae, ibu
kandungnya, dan selama ini, Mae juga terus menanamkan kebencian di hati Mahoni
akibat peristiwa tersebut. Meski berat rasanya, mau tak mau, Mahoni merelakan juga
untuk melepas karirnya demi menjaga Sigi.
Pada kesempatan
lain, Mahoni kembali bertemu dengan Simon, teman “dekat”nya waktu kuliah dulu,
dan Mahoni ditawari bekerja di kantor arsitek MOSS bersama Simon dan juga Sofia,
kekasih Simon. Pertemuan yang membuka kenangan lama, namun semuanya tentu sudah
tak lagi sama dengan kehadiran Sofia diantara mereka.
Ini adalah novel
pertama Windry yang saya baca, dan sekaligus menjadi salah satu novel favorit
saya yang kondisinya sekarang sudah lecek dan terlipat-lipat karena keseringan
dibaca. Ya. Diantara sekian banyak novel koleksi saya, barangkali, novel ini
termasuk urutan tiga besar sebagai novel yang berhasil menarik saya untuk
membacanya hingga berkali-kali dengan impresi yang tak jauh berbeda setiap kali
membacanya.
Jika novel ini
diibaratkan sebuah rumah, sesuai gambar sampulnya, maka ini adalah rumah
berkonsep modern minimalis dengan penataan interior yang efisien dan efektif. Semua
perabotan terletak pada tempat yang semestinya dan memiliki alasan yang tepat
dalam setiap penempatannya.
Begitu pulalah
halnya dengan novel karya penulis yang juga seorang arsitek ini. Setiap unsur
pembangun ceritanya benar-benar ditempatkan pada posisi dan porsi yang tepat,
tidak berlebihan, plot dan alur yang saling menunjang sehingga tidak ada
jalinan cerita yang sia-sia. Karakter tokoh-tokohnya juga sangat kuat dan
natural, sehingga editor saya Iwid pernah merekomendasikan novel-novel Windry
sebagai novel dengan penokohan karakter yang sangat baik.
Selain itu,
kelebihan lain dari novel ini adalah pada penyampaian dengan metode “show”nya
yang layak untuk menjadi referensi. Windry tidak menamai karakter
tokoh-tokohnya dengan watak a, b, c, tetapi pembaca dapat mengidentifikasi
karakter-karakter tersebut melalui cara Windry mendeskripsikannya. Begitu pun
ketika Windry menggambarkan deskripsi setting, salah satunya saat Windry
menceritakan suasana rumah secara detil, membuat pembaca dapat merasakan dan
meyakini bahwa suasana yang dibangun Windry memang mencerminkan sebuah desain
rumah yang indah.
Sisi lain yang
juga meningkatkan bobot novel ini, adalah kisah tentang kekeluargaan yang
menyentuh, meski Windry menceritakannya tanpa unsur-unsur yang mengekspos sisi
humanistik secara berlebihan. Sehingga secara keseluruhan, porsi kisah keluarga
ini cukup dominan jika dibandingkan dengan kisah romannya bersama Simon.
Mungkin, jika
ada hal yang sedikit membingungkan, adalah pada penggunaan istilah-istilah
dalam dunia arsitektur tanpa disertai catatan kaki, yang tentunya diluar pemahaman
pembaca awam seperti saya, namun hal tersebut tidak sampai menimbulkan gangguan
yang fatal terhadap keutuhan novel ini.
Sejauh ini, saya
sudah membaca tiga novel Windry, dan tetap saja, saya belum bisa move on dari
Memori. Inilah salah satu novel yang tidak hanya saya jadikan bacaan untuk
tujuan hiburan dan pengisi waktu, tetapi juga sebagai referensi bagaimana menulis
sebuah novel yang padat, berpondasi kokoh, dan tetap memiliki nilai estetika
yang baik.
Sama, Mbak. Buat saya Memori teteup juaranya. Setelah membaca Montase dan Metropolis. 3 juga ternyata yang baru dibaca :-)
ReplyDeleteSaya Metropolis belum, London udah :)
ReplyDelete