Resensi :
Jatuh cinta,
menikah, berumah tangga dan berkeluarga, adalah serangkaian fase dalam sebagian
episode kehidupan manusia. Dalam prosesnya, terkadang ada luka, kecewa, cobaan,
juga terpaan gelombang badai. Banyak orang berhasil melaluinya, namun ada pula
yang kandas, lalu terpuruk dalam duka nestapa. Padahal, keterpurukan tak perlu
terjadi, dan apapun bentuk cobaan, sesungguhnya dapat dilalui selama manusia
tetap bersandar pada ketentuanNya.
Inilah visi yang
coba dipaparkan dalam novel setebal 324 halaman ini. Kisah berawal dari
pinangan Ilham, seorang pemuda saleh kepada Zaida, namun sayangnya, pinangan
itu tidak sampai mengantarkan mereka ke jenjang pelaminan. Ilham dijodohkan
orang tuanya dengan seorang hafizah bernama Hamidah. Zaida yang kebetulan
menguping pembicaraan tersebut, merasa kecewa, hingga dia pun menolak pinangan
Ilham melalui sepucuk surat, dan memutuskan untuk menghapal Al-Quran di sebuah
sekolah Al-Quran.
Lagi-lagi,
kekecewaan harus dihadapi Zaida. Ia tidak lulus. Zaida kemudian melanjutkan
pendidikannya ke Belanda. Di kota inilah, dia kemudian menemukan cintanya.
Adalah Salman, seorang pemuda yang pernah dikenalnya pada acara diklat
kepemimpinan mahasiswa. Mereka pun kemudian menikah.
Namun, kerikil
kembali hadir dalam rumah tangga mereka. Anak bos tempat Salman bekerja yang
bernama Marijne, jatuh cinta kepada Salman. Akibatnya, Salman terpaksa keluar
dari pekerjaan dan bekerja di sebuah swalayan. Padahal, di saat yang sama
kebutuhan ekonomi keluarga mereka kian membengkak.
Di tengah
lika-liku tersebut, ternyata takdir kembali mempertemukan Zaida dengan Ilham di
Istanbul. Pertemuan yang sempat membangkitkan kembali luka lama, juga
kecemburuan di dalam hati pasangan hidup masing-masing, yakni Hamidah istri
Ilham juga Salman suami Zaida. Tak berhenti sampai di situ, Salman juga merasa
gundah karena hasil lab menyatakan bahwa dia mandul, sementara dari
pernikahannya dengan Zaida, mereka dikarunai seorang anak. Sementara itu nasib
berbeda menimpa Ilham, yang justru merasa gundah karena Hamidah belum juga
hamil.
Bagaimanakah
akhir kisah yang penuh lika-liku ini? Akankah kebahagiaan menjadi milik kedua
pasangan ini, Zaida dan Salman, juga Ilham dan Hamidah?
Membaca novel bertabur
endorsement dari beberapa selebritis ini,
sebut saja Oki Setiana Dewi (artis dan penulis), Meyda Sefira (artis) dan Nina
Septiani (pemenang World Muslimah Beauty 2012), sejenak mengembalikan ingatan kita
pada pakem novel-novel Islami yang sempat booming
pada era awal abad millenium. Novel yang sarat dengan pesan-pesan religius, didominasi
oleh tema-tema perjodohan, pernikahan dan rumah tangga juga bercirikan sebutan
semacam ukhti, akhwat, ikhwan, dan nama-nama tokoh yang bernuansa Islami.
Di satu sisi,
kemunculan novel ini boleh jadi mampu menjadi pengobat rindu pembaca, khususnya
penggemar novel-novel Islami dengan pakem yang sempat booming tersebut, di tengah kemunculan novel-novel bertema Islami
yang kian variatif dewasa ini.
Namun di sisi
lain, sebagai sebuah karya fiksi, sebuah novel yang mengandung pesan-pesan
bermanfaat pun, sudah selayaknya tetap memperhatikan unsur artistik dan pemenuhan
kriteria sebuah novel yang meliputi tema, latar tempat, karakter, plot, alur, dan
juga diksi.
Ibarat membangun
sebuah rumah, novel ini sesungguhnya telah memiliki blue print desain dan pondasi yang cukup baik. Plot yang lincah
membuat novel ini berhasil terhindar dari kesan membosankan. Berbagai konflik
yang berkelindan menunjukkan sisi dinamis dalam alur cerita, begitu pun latar
tempat yang membidik tiga negara: Indonesia, Belanda (Rotterdam) dan Turki
(Istanbul), serta kehadiran banyak tokoh dengan konflik berbeda-berbeda turut
memperkaya jalinan kisah di dalam novel ini.
Sisi-sisi kurang
dan lemah yang dilekatkan pada karakter tokoh-tokoh utamanya juga
“menyelamatkan” mereka dari watak hitam-putih yang menjadi stereotype
novel-novel Islami dengan pakem sejenis. Contohnya saja, kecemburuan terhadap seseorang
dari masa lalu pasangan hidup, adalah hal yang wajar terjadi pada siapa pun,
tak peduli meski si penyandang sifat cemburu itu adalah seorang hafizah seperti
Hamidah atau pun pria yang taat seperti Salman. Kecemburuan yang kemudian
menyeret mereka pada prasangka, dan sempat menghadirkan konflik internal pula di
dalam rumah tangga masing-masing.
Hanya saja, secara
keseluruhan, performa novel ini masih tergolong minimalis, minimalis dalam
makna harfiah. Diksi atau pilihan katanya sederhana, dialog cenderung textbook, dan sebagian besar deskripsi disampaikan dengan cara tell (mengatakan) ketimbang show (menampilkan).
Memang, dari
segi diksi, sebuah novel populer tidak menuntut pilihan kata yang terlalu
“nyastra” dan berbunga-bunga, bahkan diksi yang mudah dipahami lebih disukai, namun
setidaknya, pilihan kosakata yang tepat dan variatif serta rangkaian kalimat
yang tidak pure denotatif bisa meningkatkan
performa sebuah fiksi. Saya contohkan salah satu pilihan kosakata yang kurang tepat : kata “gumam” kerap digunakan penulis saat mengacu pada monolog dalam
hati oleh tokohnya. Padahal, arti “menggumam” menurut KBBI adalah berbicara
dengan suara tertahan di mulut. Itu artinya, sang pembicara masih melafalkan
kata tersebut, dan lawan bicara masih bisa mendengar, hanya saja, tidak dapat
mendengar jelas apa yang dikatakan.
Dari sisi
konflik, dengan beberapa konflik yang ada, baik mayor maupun minor yang dimunculkan
dalam novel ini, sebenarnya telah membuka titik-titik peluang untuk melakukan eksplorasi,
namun dalam eksekusinya, sebagian besar konflik diselesaikan dengan solusi yang
baru menyentuh taraf permukaan. Salah satunya saat Salman keluar dari pekerjaan
karena ditaksir anak bosnya, padahal ketika itu kondisi keuangan rumah
tangganya dan Zaida tengah mengalami masa-masa sulit, apalagi, Zaida juga
tengah hamil. Gambaran konflik ini hanya muncul sekilas, padahal ini sebenarnya
bisa dieksplor lebih optimal, mengingat kehidupan pasangan muda Indonesia di
luar negeri selalu memiliki sisi-sisi menarik untuk diceritakan dan memberi
pengetahuan baru pada pembaca.
Beberapa kali
adegan kebetulan yang “merekatkan” simpul-simpul plot, turut mewarnai perjalanan novel ini.
Dari sisi latar
tempat pula, adanya tiga negara yang menjadi latar novel ini, sebenarnya cukup
menjanjikan. Memang, terdapat beberapa deskripsi cukup menarik tentang kota
Rotterdam. Namun untuk kota Istanbul sendiri yang menjadi judul cerita, porsi
deskripsinya justru sangat minim, seolah-olah hanya menjadi simbol dari
kerinduan yang dialami tokoh-tokohnya saat takdir mempertemukan mereka kembali. Padahal, nama kota yang ditahbiskan sebagai judul, sudah selayaknya mendapatkan porsi deskripsi yang cukup besar.
Ini sebenarnya bisa disiasati dengan penulis lebih mengoptimalkan metode "show don't tell" untuk mendeskripsikan latar tempat.
Saya kutip
kalimat dari halaman 238 :
Begitu memasuki
kota Istanbul, ia merasakan suasana yang berbeda. Tak bisa dipungkiri, negeri
itu mengingatkan mimpinya pada puluhan tahun lalu ketika ia begitu ingin ke
negeri para nabi. Sebuah kota yang indah.
Tiga kalimat pada paragraph diatas, sebenarnya
sangat memungkinkan untuk dilakukan eksplorasi visualisasi atau melakukan
“show” untuk menggambarkan situasi kota Istanbul, cukup dengan memberi penjelasan atas
pertanyaan berikut : Suasana seperti apa yang dirasakan berbeda? Suasana keramaian kota, kondisi cuaca, bentuk bangunan? Lalu mimpi akan
kota seperti apa, yang ada dalam keinginan
sang tokoh? Relevankah mimpi itu dengan apa yang ia lihat di depan mata? Sebuah kota
yang indah, seperti apa gerangan keindahannya? Kota dengan arsitektur historis-kah, atau khas metropolitan, atau menyimpan jejak-jejak peradaban Islam, misalnya?
Terlepas dari
beberapa hal tersebut, novel yang versi awalnya pernah terbit dengan judul Bulan
Sabit di Rotterdam ini, tetaplah memiliki keunggulan dari sisi muatan Islaminya
yang sarat, hingga rasanya tak ada bab yang hanya sekadar menghadirkan cerita,
semuanya selalu diiringi pesan-pesan Islami yang menggugah dan menyentuh. Sesuatu
yang sudah jarang diekspos secara kental dalam novel-novel populer dewasa ini
termasuk yang mengusung label Islami sekali pun.
Salah satunya
adalah pada bagaimana seorang Zaida “melampiaskan” kekecewaannya karena gagal
menikah dengan Ilham melalui cara yang sangat positif, yaitu berusaha untuk
menjadi seorang hafizah. Saat usahanya ini gagal, Zaida juga tidak lantas putus
asa, melainkan “melampiaskan”nya lagi dengan cara yang tak kalah positif, yaitu
melanjutkan pendidikannya di Belanda. Saya pikir, andai semua wanita bisa
meneladani sikap Zaida, tak akan ada lagi yang namanya patah hati karena cinta.
Karena patah hati sememangnya tak harus membuat orang tenggelam dalam kubangan
luka, dan cara paling cerdas untuk menyembuhkannya
adalah dengan segera bangkit serta melakukan hal yang berguna.
Pesan penting
lainnya yang juga tersemat dalam novel ini, bahwa cinta yang berlandaskan pada
niat untuk menggapai ridhoNya, akan menemui akhir yang indah meski banyak
kerikil dan duri harus dihadapi dalam menjalaninya.
Pesan akan
pentingnya ridho orang tua juga diselipkan melalui kisah pernikahan Nadia adik
Zaida dengan pemuda yang tidak direstui ibunya, dan pernikahan itu pun akhirnya
kandas.
Akan halnya
kecemburuan dan prasangka buruk yang dialami oleh Hamidah dan Salman terhadap
pasangan hidup mereka masing-masing, di satu sisi hal ini tampak mencerminkan
inkonsistensi karakter. Orang-orang yang hapal Al-Quran, dan notabene telah
paham pula akan kandungan ajaran Al-Quran, ternyata masih belum mampu
menyingkirkan penyakit hati yang bernama prasangka buruk (suuzhon). Namun, di
sisi lain, kemunculan sisi lemah dari watak kedua tokoh utama ini sebenarnya
cukup menggambarkan pesan bahwa di dalam rumah tangga, sikap saling percaya dan
berbaik sangka harus senantiasa dipelihara.
Satu keunikan
terjadi dalam hal penyampaian amanat ini. Jika dalam pendeskripsian tempat,
karakter dan suasana cerita, penulis lebih banyak menyampaikan dengan cara tell, sebagaimana telah disebutkan
diatas, namun dari segi penyampaian pesan moral, justru penulis berhasil
mengemasnya dengan cara show yang
cukup meyakinkan. Pesan yang melebur dengan baik dalam penggambaran prinsip, interaksi dan perbuatan para tokohnya.
Bagi anda yang
mendambakan novel populer dengan nuansa Islami yang tak hanya sekadar tempelan
belaka, novel ini layak menjadi pilihan. Nuansa yang tak hanya memberikan
pencerahan yang bermanfaat, tetapi juga meninggalkan kesan sejuk yang
menenangkan hati saat telah menuntaskannya.
Judul : Takbir Rindu di Istanbul
Penulis : Pujia Ahmad
Penerbit : Puspa Populer
Tebal : 324 hal
Genre : Fiksi
Terbit : 2013
ISBN : 9786028290937
Makasih Mb Lyta, duh senengnyaaa..... bagus banget euyyy...
ReplyDeletesama2 mbak, makasih udah mampir, mohon maaf kalo ada yg kurang berkenan :)
ReplyDeletewoww...sekali lagi salut dengan cara mb lyta mereview, detail dan apik bangeeeet euy. ini untuk lomba juga mbak?
ReplyDeleteiya mbak eky untuk lomba :) makasih ya udah berkunjung :)
ReplyDeleteBaca dulu ah, buat belajar dan ikut lomba PULANG yang deadline-nya sudah dekat. :)
ReplyDeleteExamine first all the facilities and the places you would probably always use or go to. Check the comfort and bath rooms. Look for a study area if your room is not conducive for studying. Find the water dispenser, Wi-Fi hotspots, and other necessities you may need. İstanbul yurtlar
ReplyDelete