Sinopsis :
Gary Stewart,
Steve Higgins, Larry Watson dan Mary Olsen, keempatnya adalah detektif yang
tergabung dalam satu tim di unit kepolisian LAPD. Sebuah kecelakaan merenggut
nyawa Gary, dan semuanya pun berubah drastis. Larry yang sangat terpukul,
meyakini kalau Gary sengaja dibunuh, dan berusaha untuk bisa membuktikan
keyakinannya itu. Namun ketiadaan bukti membuat kasus itu akhirnya dipeti-eskan
dan tim mereka pun bubar.
Larry kemudian
memperoleh partner baru bernama Frank Russell yang kemudian menjadi sahabat
terbaiknya. Berdua, mereka mengungkap berbagai kasus kriminal termasuk
pembunuhan. Diantara rentetan kasus yang mereka tangani, terdapat satu benang
merah yang akhirnya berhasil menghubungkan sang pelaku dengan kasus kematian
Gary. Dugaan Larry benar, bahwa Gary memang mati karena dibunuh.
Namun nyawa
Larry juga ikut terancam. Beberapa kali ia juga hampir menemui ajal saat
berhadapan dengan musuh-musuhnya. Pada suatu kesempatan, Larry sangat terkejut
saat melihat Marry kembali, mantan partnernya dulu yang tengah masuk ke sebuah
gedung. Siapa menduga, hal tak terduga itu justru membimbing Larry menemukan
hidayah.
Bagaimanakah
akhir kisah yang berliku-liku ini? Siapa sebenarnya pembunuh Gary?
---------------------------------------------------------------------------------------------
Novel yang versi
awalnya pernah terbit pada tahun 2003 dengan judul Musim Semi di Wyoming ini,
mengambil latar tempat, alur cerita dan semua tokoh utama yang “beraroma” luar
negeri. Narasi yang rapi mengalir, dan cerita yang digerakkan oleh dialog
antar tokohnya menjadi andalan novel ini hingga cukup menarik untuk dinikmati
tanpa menimbulkan kesan boring. Pilihan genre dan tema yang tidak biasa juga
membuat novel ini tampil beda diantara novel-novel karya penulis lokal saat
ini.
Sebagai penyuka roman detektif, tentu, saya sangat mengapresiasi kehadiran novel
detektif yang ditulis oleh penulis lokal, setelah selama ini, rata-rata novel
detektif koleksi saya adalah novel terjemahan. Apalagi, saat sekilas membaca
behind the scene dari novel ini, yang ternyata memerlukan waktu lebih kurang
enam tahun, maka saya yakin, the writer has put very serious efford to make it
better and get republished.
Namun, terdapat
beberapa hal yang cukup mengganjal buat saya sepanjang membaca novel ini hingga
tuntas. Yang penasaran, berikut catatannya :
1. Kenapa
ya ketiga tokohnya harus punya nama serupa : Gary, Larry dan Marry,
padahal mereka nggak punya pertalian darah? Ini terkesan kurang natural dan nggak jauh beda
dengan kemunculan adegan kebetulan di dalam cerita.
2. Seorang
editor saya pernah memberi saran, jika kita (baca : penulis lokal) ingin
menulis latar kisah di luar negeri, setidaknya, tetap munculkan sesuatu yang
berhubungan dengan Indonesia, entah itu lewat satu tokoh utamanya yang masih
berdarah Indonesia atau apalah, jadi pembaca pun tetap merasa “terhubung” dan
tidak merasa berjarak dengan cerita.
Entah karena nggak ada hal yang
menghubungkan novel ini dengan Indonesia, ataupun karena keterlibatan emosinya
memang minim, “feel” dan “nyawa” yang menyertai sebagian besar novel ini memang
nyaris datar. Saya gagal merasakan kesan mencekam dan menegangkan dalam
beberapa adegan kriminal termasuk adegan tembak-menembak dan seru-serunya,
bahkan saat Larry berhadapan dengan pembunuh Gary yang sebenarnya, kesan
suspense-nya pun terasa kurang greget. Untunglah, pada bab-bab akhir terdapat
beberapa adegan yang cukup mengharukan tentang pencarian hidayah tokoh utamanya.
3. Istilah
tentang penulis bertindak sebagai “Tuhan” terhadap karyanya juga berlaku dalam
novel ini, dan pada bagian plot, peran “Tuhan” yang dipegang penulis terasa
sedikit otoriter. Beberapa kali terjadi adegan flashback yang digambarkan
dengan cara sang tokoh mengingat kejadian lampau, namun menghabiskan narasi
hingga berlembar-lembar bahkan terkadang tanpa disertai pemisah dalam bab. Juga
tak jarang terjadi, kejadian yang melompat meninggalkan latar tempat
sebelumnya. Contohnya pada hal. 94. Tak ada angin tak ada hujan, juga tanpa
prolog apapun, tiba-tiba adegan berpindah dari markas kepolisian, dimana para
detektif tengah menghadapi anak dari korban pembunuhan bernama Michelle, ke
adegan Larry yang bertemu dengan Mrs. Stewart tanpa adanya keterangan lokasi
yang jelas. Dalam beberapa kali adegan juga, dimana Larry tengah menghadapi
musuh, tiba-tiba saja Frank muncul, tanpa disertai penjelasan sebelumnya si
Frank berada di mana.
Proses penemuan hidayah oleh Larry dan
Frank juga terasa tiba-tiba, tanpa diiringi eksplorasi akan kontemplasi yang
sangat mendalam, namun di sisi lain, bagian ini juga turut berkontribusi untuk
membuat cerita ini menjadi lebih dinamis.
4. Inkonsistensi
pun tak luput terjadi pada novel ini. Pada hal. 109, digambarkan Michelle
begitu gembira saat bertemu Larry Watson, padahal pada hal. 93, digambarkan
kalau Michelle sangat trauma melihat polisi. Mungkin, jika diantara rentang
halaman tersebut terdapat alur yang menggambarkan metamorfosis psikis Michelle,
inkonsistensi ini bisa terselamatkan. Dalam penggambaran latar tempat pula,
untuk kota Wyoming sendiri, saya menyukai detailnya yang terkesan indah dan
menyejukkan, namun dalam banyak adegan, gambaran tempat yang melatarbelakangi
kejadian justru terasa kabur. Mungkin ini juga sebabnya, mengapa saya gagal merasakan
unsur ketegangan dalam beberapa kali adegan pengejaran dan penangkapan
penjahat. Informasi yang minim tentang lokasi yang melatarbelakangi adegan
tersebut membuat saya sulit membayangkan bagaimana situasi sebenarnya saat
tokoh-tokohnya tengah beradu tembak dan sebagainya.
Inkonsistensi pada pov pun demikian. Ada
tiga bab yang dituturkan dengan pov 1 oleh sosok Marry yang diletakkan secara
acak (bab 1, 6 dan 19) tanpa saya mengerti apa maksud dibuat
demikian, sementara sebagian besar cerita dituturkan dengan menggunakan pov 3.
5. Pada
hal. 321, adegan ketika Mrs. Lindsay yang mengenakan cincin menampar wajah
Larry hingga berdarah dan meninggalkan kesan luka yang jelas terlihat, saya
jadi penasaran, cincin apa gerangan yang bisa membuat wajah seorang pria jadi berdarah-darah, dan sekeras apa pula tamparannya pada pria yang jelas-jelas polisi
itu sampai terluka?
6. Terkait
narasi, pada hal. 100, narasi penulis untuk menceritakan pistol terasa sangat
textbook. Menurut hemat saya, informasi tertulis ini masih bisa dibuat lebih smooth dan melebur dengan cerita hingga tak terkesan seperti
menyalin langsung dari sumbernya. Di sisi lain, saya acungi jempol kepiawaian
penulis bertutur dengan dialog yang dominan, dan sebagian besar
dialognya juga cerdas dan rapi. Saya yakin, menulis banyak dialog untuk
novel setebal ini bukan hal mudah. Namun, di sisi lain juga membuat karakter
tokohnya menjadi seragam. Siapa pun yang bertutur, baik lelaki atau wanita,
bahasanya nyaris sama aja. (anggap aja lagi baca novel
terjemahan, cerewet amat sih, si mpok ini :p.)
7. Terhadap
karakter dan interaksi tokohnya pula, untuk sosok polisi detektif L.A, saya
merasa karakter dan interaksi antara sosok Larry dan Frank terlalu feminin,
terlalu lembut, terlalu akrab dan intim, dan penggambaran interaksi keduanya
dengan kalimat semacam ini : ‘saling bertukar senyum, saling berpandangan,
membuka mantel lalu menawarkan....., berpelukan, menghabiskan waktu bersama,
juga email Larry yang menceritakan penilaiannya tentang Frank, dan lain-lain, mengingatkan
saya pada novel dengan tokoh...... (ops, cut! dipelototin CEO Indiva tuh mpok :D),
saya ganti aja deh : it sounds too girly. Memang, bukan hal mudah untuk
menulis karakter sosok yang berbeda gender dengan penulisnya, namun, karena
interaksi Frank dan Larry sangat dominan dalam cerita ini, membuat kesan
feminin tersebut pun menjadi sangat dominan pula.
Untungnya, karakter Larry dengan semua
trauma psikis dan lika-liku hidup yang dialaminya, cukup membuat sosok ini
berkesan. Sayangnya, begitu banyak “penderitaan” yang dialami Larry, sedikit
banyak mengingatkan saya pada film-film india tahun 80an, dimana sosok hero-nya
harus berdarah-darah dan menderita lahir batin dulu sebelum meraih (atau tidak
meraih) kebahagiaan :D
8. Penyelipan
unsur islami dalam kisah ini, sebagian masih menggunakan cara yang ditempuh
fiksi islami pada era sebelumnya, yaitu disampaikan melalui ucapan salah satu tokoh yang
terkesan seperti isi ceramah yang cukup panjang. Juga proses keislaman
tokoh-tokohnya terasa sangat kebetulan, karena ternyata orang-orang
yang dicintai Larry, yaitu Marry dan Frank, keduanya sama-sama memeluk Islam
tanpa ada penjelasan yang cukup gamblang.
Terlepas dari poin-poin diatas, saya
pikir, bab-bab akhir yang berkisah tentang penemuan hidayah keislaman adalah
bagian paling cemerlang dari novel ini, sekaligus berhasil menghadirkan greget
pada penghujungnya, setelah kesan datar nyaris mewarnai sebagian isi novel
ini.
Dan sebagaimana komentator sepak bola, belum tentu mampu menggocek bola sebaik pemain aslinya, saya pun demikian. Kalo disuruh nulis novel detektif-poll setebal 400an halaman kaya' si L.A ini, saya pilih disuruh baca dan komen aja deh :) (si mpok curang :p).
Bagi anda penggemar novel-novel
detektif, dan ingin melihat bagaimana sebuah cerita yang panjang berhasil digerakkan dengan lincah oleh dialog yang dominan, novel ini layak dijadikan pilihan, apalagi di dalamnya juga terdapat “bonus”
berupa pencerahan akan nilai-nilai islami. Sesuatu yang layak diapresiasi, dan membuat
novel ini tampil beda dengan novel-novel detektif pada umumnya.
Judul : L.A The Detective
Penulis : Hikaru
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Tebal : 432 hal
Jenis : Fiksi
Terbit : Desember 2013
ISBN : 9786028277945
NB : pertanyaan
untuk penerbit, kenapa ya judulnya L.A The Detective? Kalau dilihat dari
english grammar, dan jika L.A itu mengacu nama kota, bukannya The
Detective of L.A ya lebih tepatnya?
Judulnya sebenarnya LA (The Detective), 2 kata itu tidak dijadikan satu frase. Krn itu, tulisan detective-nya ditaruh di bawah.
ReplyDeleteBtw, masukannya 'nendang banget' hehe... semoga bisa menjadi bahan perbaikan di kemudian hari.
Sebagai sebuah rumah, novel ini sudah cukup kekar dan menarik, layak dihuni. Tetapi memang ada ornamen-ornamen yang belum terpasang dengan baik. Saya kira, si penulis ini akan menjadi penulis besar di kemudian hari, jika mau merapikan detil-detil yang terlewat dalam penggarapan.
assalam kak Riawani Elyta review ini cakep :) oh ya aku ngereview Ping! di blog aku, maaf baru sekarang sempet bikin reviewnya :)
ReplyDeleteYeni : oh, begitcu...aye mah komentator doank, disuruh nendang beneran blm tentu gol, hehe
ReplyDeleteDedul : waalaikumsalam, makasih ya udah ngereview Ping :)
Terima kasih masukannya mbak Riawani. Seneng banget dapet review dari penulis senior. Memang ada hal-hal yang saya luput. Bagian itu insya Allah jadi bahan perbaikan ke depannya. :)
ReplyDeleteTentang PoV : terinspirasi dari bukunya John Grisham dan James Petterson, yang juga melakukan hal serupa agar pembaca tahu jalan pemikiran tokoh-tokoh pentingnya.
Tentang penjelasan senjata yang terkesan dicopas dari literatur : Benar sekali. Saya memang copas dari sebuah buku pinjaman yang saya baca waktu SMA, tapi lupa judulnya. Berhubung saat itu belum ada serial CSI, saya sempat catat penjelasan tentang senjata-senjata tersebut. Beberapa hal kecil sebenarnya sudah saya ganti, misalnya jenis pistol yang dipakai polisi di Amerika sekarang, jenis pelurunya, perbedaan setiap peluru saat ditembakkan ke tubuh, dsb. barang kali karena berusaha membuat hal itu up to date dengan kondisi nyatanya sekarang, membuat saya luput memoles literatur menjadi lebih smooth. Terima kasih banyak masukannya.
Tentang Indonesia yang tidak saya masukkan sama sekali dalam novel ini. Di naskah aslinya sebenarnya ada, tapi kemudian saya buang. Sengaja saya buat seperti novel terjemahan, karena memang saya menulisnya untuk teman-teman saya yang non muslim di luar negeri. Itu sebabnya pertanyaan-pertanyaan tentang Islam adalah pertanyaan-pertanyaan dasar, yang memang pernah ditanyakan langsung kepada saya. Terkesan ceramah? Bisa jadi. Saya memang agak 'memaksakan' bagian tersebut, karena merupakan jawaban dari saya pribadi dan berbagai literatur. Jawaban pertanyaan tentang Islam bersebut ada yang saya copas langsung dari buku. (saya copas dua paragraf, dari buku sejarah dunia setebal sekitar 600 halaman), dan copas hasil wawancara ust. Syamsi Ali (Imam masjid New York) di CNN pasca peristiwa 911.
Tokoh Larry dibuat sangat menderita? Lagi-lagi, sengaja, hahaha. :D. Supaya masuk akal perubahan psikologis dan keinginannya untuk mencari kebenaran. Saya pribadi kenal orang yang masuk Islam setelah melalui berbagai keterpurukan dalam hidup, jadi fase itu yang saya masukkan dalam cerita.
Tentang judul : tadinya novel ini akan diberi judul 'The Agent', tapi saya yang protes ketika novel ini sudah siap naik cetak. Karena istilah agent hanya berlaku untuk kalangan federal dan intelejen (FBI dan CIA). Jadi, judul L A the detective dengan dua kata yang terpisah saya pikir win-win solution. :D
Novel ini sengaja dibuat terkesan terjemahan. Foto penulis pun sengaja tidak dipampang di cover belakang. Nama pena saya sebagai penulis pemula tadinya memang bermaksud untuk mengecoh pembaca agar novel ini justru dibaca oleh orang-orang 'umum'.
Sepertinya, keinginan saya utuk meng-up date novel yang telah saya nyatakan selesai lebih dari 10 tahun lalu, membuat saya lebih fokus ke literatur dan agak lalai meramu berbagai bumbu yang pas. Terima kasih sekali lagi, mbak Riawani. Insya Allah ke depan, saya kan berusaha lebih baik. :)
Terima kasih kunjungannya Hikaru, mohon maaf untuk poin2 yang mungkin kurang berkenan. Yang jelas saya enjoy koq baca L.A, saya malah nggak kelar2 baca John Grisham karena muatannya terlalu berat buat ukuran saya. Saya lebih suka yang mengalir seperti L.A :)
ReplyDeleteWah, mantep banget reviewnya Mbak. Jadi pengn suatu hari nanti tulisan saya direview sama Mbak. (nulis dulu Ru!) Hahaha....
ReplyDeleteAh, aku setuju banget untuk catatan nomor 2! Saat baca novel lokal, aku lebih suka kalau menemukan unsur Indonesia di dalamnya, walau cuma sedikit.
Tapi kalau alasannya kayak kata Mbak Hikaru sih bisa dimengerti juga. Walau tetap menurutku sayang kalo sama sekali nggak ada tempelan Indonesianya, padahal cepat atau lambat akan ketauan juga kan yang nulis orang Indonesia. Kalau pun orang masih mengira itu novel terjemahan, masukin unsur Indonesia malah bisa menarik juga. "Wah, Indonesia disebut-sebut!" gitu rasanya. Hehehe...
Hai ruru, Makasih kunjungannya:-) buat membangkitkan rasa terkoneksi n memiliki x ya, hehe
ReplyDeleteIya. Hehehe.... :)
ReplyDeletewah resensi mbak ria yg ini lbh seger deh drpd biasanya.. ada emot senyum dan melet2nya wkwkw..
ReplyDeletepoin pertama jg sy rasakan aat baca buku ini.. nemu 3 nama yg mirip.. larry, garri dan marri.. jd krg enak ngingatnya.. :D
resensi khas nan cakep kayak biasanya :)
qiqiqi, emot melet2 :D, makasih binta udah berkunjung :)
ReplyDeleteNice review! Saya belum baca novelnya.. Tapi saya seakan deja vu dengan sebuah novel yang pernah saya baca semasa SMA dulu. Judulnya kalo' gak salah "Musim Gugur Di Wyoming", atau "Musim Dingin di Wyoming" - entahlah- pokoknya ada Wyomingnya. Dan saya dl emang gak terlalu merhatiin penulisnya. Tapi alur ceritanya hampir mirip sama ini, dengan jumlah halaman yang lbh sedikit. Atau ini emang reborn dr buku yg dl, dg tambahan cerita? *serius nanya*
ReplyDeleteA dependable online journal organizer enables you to import email contacts from different email applications with the goal that you don't need to type names of contacts in, physically.private investigator in noida
ReplyDeleteBe that as it may, the world has changed essentially and now sensor systems are vital in numerous applications.home security camera systems reviews
ReplyDeleteHow can he recover the plans to his command post? He whips out his cutting edge spy camera and takes photos of the considerable number of archives, obviously! Witty Spy
ReplyDeleteIn the event that you require clear video and great sound quality, ensure the camera you're thinking about has the quality you require. see the website
ReplyDeleteWith smaller scale spy babysitter cams, a similar theory applies - aside from you can't drink them with a straw! Susie
ReplyDelete
ReplyDeleteWe discussed edge rate (outlines every second) as far as caught video film and its quality.hikvision cctv kits ireland