Penulis : Riani Kasih
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 255 hal
Genre : Novel Amore
Terbit : Juli 2013
ISBN : 978-979-22-9759-1
Harga : Rp.45.000,-
Kisah ini
berawal dari kepulangan Hawa, adiknya Luna dan ayahnya Praba ke rumah omanya di
desa Seijeram, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Desa yang menyimpan banyak
kenangan akan masa kecil Hawa, juga kenangan Praba akan mendiang istrinya.
Kepulangan
tersebut, adalah disebabkan rasa malu dan patah hati Hawa akibat
pernikahannya yang batal dengan tunangannya Abhirama. Pernikahan yang kemudian dibatalkan
oleh Hawa secara sepihak, gara-gara Abhirama yang terlalu sibuk hingga
membatalkan rencana prewedding mereka di Bali sebulan sebelum pernikahan.
Di desa Seijeram
ini, Hawa berkenalan dengan seorang polisi tampan bernama Landu. Berawal dari
kejadian kurang mengenakkan, selanjutnya secara perlahan tapi pasti, mulai
tumbuh dan berkembang getar-getar cinta diantara keduanya. Tidak disangka,
Abhirama kemudian menyusul Hawa ke Kapuas Hulu untuk menyatakan penyesalannya,
dan diluar dugaan Hawa, bahwa antara Abhirama dengan Landu ternyata saling
mengenal.
Bagaimana kisah
selanjutnya? Akankah Hawa kembali pada Abhirama ataukah lebih memilih Landu?
Semuanya akan
terjawab dalam novel pemenang 2 Lomba Novel Amore 2012 ini. Penuturan yang bernuansa romantis dan lembut, juga kepiawaian penulis mendeskripsikan
latar tempat secara detail dan menarik, menjadi keunggulan tersendiri dari novel
ini. Menyusuri lembar-lembarnya, pembaca seakan dimanjakan dengan deskripsi pedesaan
Seijeram dan objek wisata danau Sentarum yang indah, hijau, sejuk dan asri.
Keindahan yang dapat membangkitkan keinginan untuk mengunjungi, menyaksikan
secara langsung dan merasakan pengalaman saat berada di tempat-tempat tersebut.
Hal ini menjadi nilai positif dari novel ini ditengah sejumlah novel lokal
yang justru menjadikan kota di luar negeri sebagai latar. Budaya agraris
masyarakat setempat dan kosakata daerah turut diselipkan sehingga nuansa
lokalitas Kalimantan dalam novel ini cukup terasa.
Namun novel ini
juga tak luput dari serentetan kejanggalan.
Pertama, pada plot cerita. Alasan
kekecewaan dan kepulangan Hawa ke Seijeram, yaitu pembatalan rencana prewedding
oleh tunangannya yang terlalu sibuk, terasa agak berlebihan dan
kekanak-kanakan. Apalagi, atas alasan itu pula, Hawa memutuskan meninggalkan
Abhirama dan membatalkan pernikahan secara sepihak, selain alasan lain karena
selama ini merasa diduakan oleh Abhirama yang lebih mementingkan pekerjaan. Sebenarnya,
hal ini masih bisa disiasati jika penulis memberikan ruang eksplorasi yang
cukup pada interaksi ataupun eksplorasi perasaan dan prinsip antara Hawa dan
Abhirama, karena salah satu “tuntutan” kepiawaian penulis fiksi, adalah pada
bagaimana mengondisikan plot yang terasa absurd menjadi jalinan kisah
yang setidak-tidaknya bisa ditolerir oleh pembaca. Sayangnya, porsi ini sangat
minim, hingga kemungkinan besar, pembaca gagal diajak bersimpati
terhadap kekecewaan dan patah hati yang dialami Hawa.
Kedua, menilik
genrenya, idealnya kisah ini lebih difokuskan pada pergulatan cinta segitiga
antara Landu – Hawa – Abhirama, namun sebagaimana disebutkan pada poin pertama,
porsi kisah Abhirama ternyata sangat minim, dan nyaris tidak tergambarkan perjuangan
sosok ini untuk mempertahankan cintanya pada Hawa. Penulis bahkan memberikan
porsi lebih banyak pada penceritaan latar belakang Praba ayahnya saat ditinggal
mati istrinya, padahal, fungsi Praba disini
hanyalah sebagai tokoh sampingan saja.
Ketiga, karakter
beberapa tokoh dalam cerita ini nyaris typikal atau serupa, tercermin dari cara
mereka bersikap dan bertutur. Karakter Landu yang semula digambarkan sebagai
polisi yang berdedikasi, makin menuju akhir ternyata kian tereduksi menjadi sosok
polisi yang selalu merasa tampan dan deskripsi ketampanannya justru semakin ditonjolkan.
Tentu, melukiskan gambaran fisik yang ideal adalah hal yang wajar dilakukan didalam
novel roman, namun sepertinya
akan lebih menarik, andai tokoh ini tetap dipertahankan sebagaimana karakter
awalnya, yaitu seorang polisi yang “lurus” dan menjalankan tugasnya dengan
baik. Semakin ke belakang, gambaran profesi Landu juga kian mengabur. Pada
sebagian lembar-lembar akhir cerita, pembaca justru lebih banyak disajikan
dengan adegan kebersamaan antara Landu dan Hawa.
Karakter Hawa
sebagai sosok sentral kisah ini pun kurang menimbulkan simpati. Begitu mudahnya dia meninggalkan Abhirama lalu secepat kilat pula jatuh cinta
pada Landu, dan chemistry antara keduanya pun lebih ditonjolkan melalui ketertarikan
fisik ketimbang pada kesesuaian sikap atau prinsip. Padahal, dengan “dukungan”
profesi Landu, penulis sebenarnya punya peluang untuk memunculkan adegan-adegan
heroik untuk menguatkan chemistry ini, misalnya adegan Hawa yang dikejar hewan
buas saat berjalan-jalan ke hutan ataupun dikejar perampok, lalu Landu muncul
sebagai penyelamat.
Keempat, pada
salah satu halaman ketika Abhirama mencari Hawa, seorang penduduk mengatakan
bahwa Hawa adalah seorang perempuan yang cacat mental, pernyataan ini juga tak
kalah janggal, mengingat sejak awal tidak ada gambaran sedikit pun bahwa
Hawa adalah seorang yang cacat mental, melainkan seorang wanita yang awalnya suka
mengurung diri, namun perlahan-lahan mencair setelah dekat dengan Landu.
Mungkin, istilah cacat mental bisa diperhalus dengan menyebut Hawa sebagai
seorang perempuan berperilaku aneh saja.
Kelima, cerita ini
ditutup dengan epilog yang sangat menghunjam, ibarat menuruni jurang terjal
setelah sebelumnya bergerak menuju lembah yang tinggi, dari kebahagiaan yang langsung berubah menjadi musibah dalam sekejap. Namun, satu hal menarik disini, bahwa musibah yang menimpa Hawa dan kesetiaan Landu
terhadapnya, sedikit banyak “menyelamatkan” kedua tokoh ini dari (kemungkinan)
persepsi tidak simpati pembaca terhadap inkonsistensi karakter keduanya yang
dibangun sejak awal.
Saya pernah
bertanya pada salah satu editor amore disela-sela revisi novel amore saya : apa
sih yang sebenarnya menjadi syarat utama novel amore? Apakah terletak pada
alurnya yang dramatis? Jawab beliau waktu itu : cerita yang meninggalkan kesan
“manis”.
So, this is the
key point. Inilah (mungkin) yang menjadi faktor pendukung mengapa novel ini kemudian terpilih sebagai pemenang 2 Lomba Novel Amore. Terlepas dari beberapa kejanggalan diatas, juga
kritik-kritik lumayan tajam di goodread terhadap novel ini, Hawa adalah novel
yang berhasil memenuhi syarat “kesan manis” tersebut lewat penuturan dan
deskripsi latar tempatnya yang memesona. Hal ini tentunya berlaku bagi pembaca
yang menyenangi kisah-kisah romantis dan bernuansa lembut. Juga nuansa lokalitasnya yang terasa eksotis. Bahkan saat menutup
novel ini, keindahan Seijeram dan Danau Sentarum masih tertinggal kuat di dalam
benak saya. Dan bagi saya, ini adalah kelebihan yang patut diapresiasi. Saya yakin, melihat potensi yang ditunjukkan penulis
pada novel debutnya ini, sangat mungkin baginya untuk ke depan berproses
menjadi penulis amore yang layak diperhitungkan.
Ihiy... Suka dengan resensinya Mbak Lyta. Baru tau kalau novel ini settingnya Kalimantan. Makin banyak aja novel dengan setting Kalimantan :D
ReplyDeleteWah,, makin penasaran aja. Semoga cepat nyampe berdua dgn Miracle of Touch... Kemarin liat terpajang manis di Gramedia...
ReplyDeleteWah, kritikannya sama persis kayak kritikan mba Lyta, tapi bahasa kritikan mb Lyta lebih halus dan lebih enak dibaca, hehee
ReplyDeleteBtw, ini diikutkan ke IRC mbak
Yanti , sy jd pingin ke kalimantan gara2 bc novel ini:-)
ReplyDeleteEyi , baru hari ini dikirim, gabung sama paket untuk pemenang twitpic n resensi:-)
ReplyDeleteMbak eky, iya mbak:-)
ReplyDeletesuka sama resensinya, tidak berkesan menjatuhkan sebuah karya tapi berisi masukan yang PAS banget, jadi pengen bisa ngeresensi apik begini
ReplyDeleteMakasih mbak eni kunjungan:-)
ReplyDeleteAsyik nih kalau baca resensi yg dibuat oleh penulis, apalagi penulisnya itu Mbak Lyta. Analisis unsur intrinsiknya dalem. Ibarat dokter, ini mah analisanya bukan ala dokter umum tapi dokter spesialis.
ReplyDeleteEmang bedaaaaa yah resensi yang ditulis oleh penulis novel juga, daleeeem. Suka deh, baca resensi ini jadi dapet dobel, pengetahuan tentang novel Hawa dan juga pengetahuan tentang teknik menulis novel :)
ReplyDeleteOalah mbak Linda, kuliah dokter umum aja blm lulus2, qiqiqiqi
ReplyDeleteThanks oci udah mampir:-)
ReplyDeleteOh begitu ya *apa seh
ReplyDeleteSelalu bagus resensinya. Kalau Amore itu skrg nerima naskah reguler nggak, sih,, Dek?
Kayanya terima selalu sih mbak rini, yg bareng jebolan lomba amore kemaren ada bbrp yg reguler yg terbit
ReplyDelete