Judul : Cinta Yang Membawaku Pulang
Penulis : Agung F. Aziz
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Tebal : 296 hal
Genre : Fiksi
Terbit : September 2013
ISBN : 9786028277624
Resensi :
Perang yang
melanda Afganistan selama bertahun-tahun telah mencabik-cabik kehidupan seorang
Shabana Ahmas. Ibunya meninggal dunia, dia pun terpisah dengan suami, anak
tunggalnya yang baru berusia lima bulan, juga dengan ayah dan adik kandungnya.
Enam tahun
berlalu, Shabana mendapat kabar bahwa ayahnya masih hidup dan tinggal di Saudi
Arabia. Dengan bermodal uang hasil menjual tanah ayahnya, Shabana kemudian
pergi ke Saudi Arabia untuk mencari ayahnya. Di negeri ini, ia diterima dengan
hangat oleh paman dan bibinya, Zaher Hashemi dan Saghar Hamraaz.
Siapa menduga,
di tanah suci Makkah, Shabana tak hanya berhasil menemukan jejak keberadaan
ayahnya, tetapi juga bertemu adik kandungnya, suami dan anak kandungnya.
Tetapi,
kebahagiaan itu tak berlangsung lama, serentetan peristiwa tragis terjadi, yang
kembali memisahkan Shabana dengan orang-orang yang dicintainya.
Membaca novel
bersampul warna kulit aprikot ini, sulit untuk percaya bahwa ini adalah sebuah
novel debut. Sejak lembar pertama, novel ini telah menarik perhatian dengan
sejumlah kelebihannya juga keunikannya, yaitu :
1. Penuturan
yang lincah, proporsional antara narasi dan dialog, juga diksi yang indah dan
kaya adalah satu kelebihan yang membuat novel ini menarik untuk dinikmati
hingga akhir. Dalam beberapa dialog, penulis juga menyelipkan percakapan yang
cerdas dan menggelitik hingga nuansa yang terbangun pada awal-awal cerita pun
terasa segar
2. Tak
dipungkiri, bahwa pengalaman pribadi memberikan sentuhan berbeda di dalam
sebuah novel. Pengalaman penulis yang pernah berada di kota suci Makkah membuat
penceritaan kota Makkah dan Madinah yang menjadi latar dominan tak hanya terasa
detail, tapi juga indah dan memukau. Penulis tak hanya bercerita tentang detail
tempat, tetapi juga suasana dan kultur masyarakat khususnya yang terjadi pada
musim haji. Tentunya, ini pun didukung kemampuan “show not tell” penulis yang
sangat baik
3. Tema,
alur dan plot novel ini tergolong tak biasa, dimana penulis dengan cerdik
membidik peperangan Afganistan sebagai kekuatan latar cerita hingga beragam
konflik yang tercetus karenanya pun terasa real dan memiliki keterkaitan yang
solid
4. Novel
ini tak hanya sekadar bercerita, tetapi juga menambah wawasan pembaca,
diantaranya adalah tentang permainan Buzkashi di Afganistan, yaitu pertandingan
para penunggang kuda untuk memasukkan bangkai kambing ke lingkaran nilai,
tentang sejarah penaklukan kota Hijaz oleh As-Sa’ud yang berdampak besar pada
penghancuran peninggalan-peninggalan bersejarah di negeri Saudi termasuk
jejak-jejak baginda Rasulullah SAW, tentang hukum qishas yang berlaku di Saudi,
dan sebagainya
Namun, novel ini pun tak luput dari
beberapa kejanggalan dan kekurangan, antara lain :
1. Pada
bab awal, terdapat adegan seorang lelaki tua Afganistan dan Farrukhzad yang
memaki-maki tentara Amerika di tengah berlangsungnya pertandingan Buzkashi.
Untuk sebuah negara yang dilanda konflik, apakah situasinya memang memungkinkan
untuk warga setempat memaki-maki tentara yang menduduki wilayahnya? Sedangkan
dalam beberapa visualisasi pendudukan Israel di Palestina misalnya, kita kerap menyaksikan
adegan warga sipil yang disiksa atau ditembak, ataupun anak kecil yang melempar
batu ke arah tank Israel
2. Pada
hal 19, terdapat percakapan ini :
“.............Sekarang, kau bisa
membantunya siuman atau tidak?” Farrukhzad merutuk dalam hati.
Perempuan paro baya itu terlihat salah
tingkah.
Kalau percakapan oleh Farrukhzad hanya
berlangsung di dalam hati, mana mungkin lawan bicaranya menjadi salah tingkah,
bukan?
3. Terdapat
beberapa kata sapaan pada bab-bab awal yang tidak dilengkapi glossarium seperti
bachem, khanum, dan agha.
4. Sampai
akhir cerita, tidak ada gambaran spesifik tentang sosok Shabana Ahmas yang
menjadi tokoh sentral cerita, selain berulang kali disebutkan sebagai wanita
cantik secara puitis dan sempat mengundang kedipan mata tentara Amerika juga
lirikan seorang supir taksi di Makkah. Tidak ada detail yang menyebutkan
seperti apa bentuk mata, hidung dan wajahnya, berapa usianya, serta busana apa
yang dikenakan Shabana. Apakah berupa jilbab lebar biasa, cadar ataupun burqa?
Detail ini sebenarnya cukup penting disampaikan, mengingat tidak mungkin
kecantikannya bisa mengundang kagum kalau ternyata Shabana mengenakan burqa,
selain juga bahwa di negara-negara Timur Tengah, terdapat perbedaan antara negara
yang sebagian besar wanitanya mengenakan cadar, burqa ataupun jilbab lebar
5. Semakin
mendekati akhir cerita, konflik terasa semakin menumpuk-numpuk. Hal ini bisa
berpotensi menimbulkan plothole juga adegan kebetulan. Dan dalam novel ini,
yang terjadi adalah yang kedua, dimana terdapat beberapa adegan kebetulan saat
dalam waktu berdekatan Shabana bisa bertemu secara tak sengaja dengan adiknya
juga dengan Faisullah di Makkah setelah bertahun-tahun terpisahkan akibat
perang
Oh ya, saya belum menyebutkan keunikan
novel ini. Dalam beberapa resensi yang saya baca, banyak yang mengkritik
karakter Shabana yang terlalu tegar dan ceria meski dihantam oleh serentetan
musibah dan cobaan yang tidak main-main. Shabana bahkan masih bisa tertawa
disela-sela hari yang menegangkan menjelang vonis akhir ayahnya dan kerja keras
keluarga untuk mengusahakan diyat bagi membebaskan ayah Shabana.
Saya sepakat dengan pendapat ini, namun
sekali lagi, latar peperangan yang dipotret penulis menjadi alasan logis dan
cerdas bagi menumbuhkan karakter tersebut pada diri Shabana. Saya pernah
beberapa kali membaca atau menonton kisah nyata orang-orang di wilayah konflik,
dan pada faktanya, peperangan telah berhasil memetamorfosa mereka, tak
terkecuali kaum ibu dan anak-anak menjadi manusia dengan ketegaran dan ketabahan
luar biasa. Mungkin, luka, air mata dan kekerasan yang telah menjadi denyut
kehidupan mereka itulah, yang secara perlahan menumbuhkan darah daging kekuatan
dan ketangguhan jiwa dalam menghadapi berbagai kemelut dan cobaan.
Latar peperangan juga yang membuat saya
pada akhirnya dapat mengerti mengapa seorang Faisullah sanggup begitu tega
memisahkan Shabana untuk kesekian kalinya dengan orang-orang tercintanya.
Perang ternyata tak hanya berdampak “positif” pada ketangguhan jiwa, tetapi di
sisi lain, juga bisa membakar jiwa dengan dendam yang kesumat.
Keunikan lain juga terletak pada
sindiran penulis terhadap jejak-jejak sejarah di kota Makkah yang digantikan dengan
pembangunan peradaban modern, salah satunya seperti yang terjadi pada peristiwa
penaklukan kota Hijaz atas alasan untuk membersihkan aqidah dari perilaku
syirik. Apa yang menarik disini, pada halaman sebelumnya, justru digambarkan
adegan beberapa wanita Pakistan yang tengah mengaji sekaligus memohon berkah
dibawah tiang lampu yang dulunya adalah rumah baginda Rasulullah. Sebuah
perilaku yang justru menandakan bahwa gejala perbuatan syirik tersebut memang mungkin
terjadi.
Kisah menawan ini tak hanya mengajarkan
tentang makna ketabahan dan ketegaran, memperkaya wawasan dan menyajikan teknik
bercerita yang baik, tetapi juga menggugah kesadaran kita bahwa cinta yang
tertinggi tetaplah cinta kepada Allah. Cinta yang terbukti dapat menyembuhkan
sebesar apapun luka yang mengiringi perjalanan hidup kita.
Saya teringat catatan Afifah Afra
tentang novel yang baik menurutnya, yaitu novel yang kaya kosakata, detail,
orisinil, kaya referensi, adanya keterlibatan penulis, dan mengandung
dokumentasi peristiwa.
Maka, dengan berbagai kelebihan novel
ini, tak salah rasanya untuk menyebutnya sebagai salah satu novel yang cukup berhasil
memenuhi kriteria tersebut, sekaligus menahbiskan nama Agung F. Aziz sebagai
salah satu penulis yang karya terbarunya paling saya nantikan.
Another way of review, ini guwek banget ini mbak lyta, daku paling sering mengulas kekurangan dengan pakai list ginian :D
ReplyDeleteHihihi toss mbak eky deh kalo gitu :-)
ReplyDeletekalau kemaren ikutan, pasti juara dah ini mah..
ReplyDeletemantap surantap..
Yang lalu biarlah berlalu , qiqiqiqi
ReplyDeleteMemang sangat mengharukan bisa terlibat dalam proses penerbitan buku ini. Selalu senang jika berhasil berinteraksi dengan bakat-bakat baru yang punya kans besar untuk menjadi penulis besar. Seperti itu juga yang saya rasakan saat pertama kali membaca tulisanmu :-D
ReplyDeleteSebagai saran, biar tampilan blog enak, identitas buku ditaruh di bawah saja, Lyta...
oke boss, buat resensi yang nanti2 deh :)
ReplyDelete