Judul : Always, Laila
Penulis : Andi Eriawan
Penerbit : Gagas Media
Tebal : 240 hal
Genre : Fiksi
Terbit : Cetakan kedua, 2013
ISBN : 9797806308
Resensi :
Always, Laila,
bercerita tentang lika-liku hubungan antara Phrameswara (Pram) dan Laila sejak
SMA, kuliah hingga memasuki dunia kerja. Hubungan mereka tak selamanya berjalan
mulus, ada kehadiran Bubung, mantan teman SMP Laila yang pernah menaruh hati
padanya dan Laila pun menyimpan simpati tersendiri untuk Bubung, juga sebuah
fakta tentang Laila yang kemudian menjadi penghalangnya dari menerima lamaran
Pram.
Membaca kisah
ini, kita akan diajak menelusuri kota Bandung dalam kurun waktu 1995 – 2004
sebagai latar tempat utama, juga menyinggahi Kuala Lumpur dan Yogyakarta pada bab-bab
menjelang akhir cerita. Masa ketika gadget canggih belum lagi diproduksi,
hingga bagi pembaca yang melalui usia remaja atau dewasanya pada masa-masa itu,
kenangan akan sedikit terbangkitkan saat penulis mencantumkan sebutan “pager”
sebagai alat komunikasi dan “veronika” yang menjadi ciri khas suara mesin
penjawab panggilan.
Kisah ini
dituturkan dalam alur maju mundur dengan pov 3, dengan Laila dan Pram berperan
sebagai tokoh utamanya. Perpindahan alur ini dalam beberapa bagian terasa
sedikit membingungkan karena polanya yang kurang teratur, misalnya setelah dua
tiga bab alur ditarik mundur, pada bab berikutnya kembali ke latar waktu
penuturan tanpa adanya keterangan waktu, bahkan dalam beberapa bab, tarik ulur
itu dilakukan pada bab yang sama. Alur juga bergerak lambat pada bagian awal
cerita karena hanya berkutat pada kisah persahabatan Laila dan Pram ketika SMA.
Novel ini
merupakan bagian dari proyek Gagas Vintage, yaitu mencetak ulang novel-novel
lama yang pernah terbit di Gagas Media, dan untuk novel ini, cetakan pertamanya
adalah pada tahun 2004.
Meski ditulis
oleh penulis pria, penuturan novel ini terkesan manis, sederhana dan lembut,
diselingi bait-bait puisi, juga beberapa dialog bernada humor yang turut
menambah kesan manis. Unsur-unsur lainnya pun
terasa sederhana, mulai dari tema, premis, penggarapan latar tempat yang
tidak terlalu detail namun juga tidak minus, dan eksplorasi konflik yang terasa
datar. Padahal, ada beberapa titik potensial untuk dikembangkan menjadi konflik
yang lebih menggigit, misalnya pada saat pertemuan Pram dan Bubung, dimana
Bubung menegaskan bahwa dia juga mencintai Laila, atau ketika Laila menolak
lamaran Pram setelah tahu bahwa indung telurnya harus diangkat sehingga ia tak
bisa hamil, ataupun saat pertemuan sesaat Laila dan Pram di Kuala Lumpur,
dimana ketika itu, Bubung juga tengah berada di kota yang sama dan beberapa
kali pula sempat bertemu Laila.
Untuk hal ini,
saya ingin mengutip endorsement di sampul belakang : “Perempuan menulis dengan
‘jiwa’. Laki-laki menulis dengan ‘apa adanya’. Maka yang terjadi adalah cerita
dari dua sisi yang dilihat dengan ‘rasa’. – Anjar (penulis Beraja).
Ya. Inilah yang terkadang
terjadi pada novel-novel roman yang ditulis oleh penulis pria. Eksplorasi
perasaan dan emosi dari tokoh-tokohnya khususnya tokoh wanita terasa kurang
mendalam.
Saya juga
merasakan adanya keterlibatan diri dan pengalaman penulis didalam novel ini,
saat menceritakan tokoh Laila yang mengambil jurusan Teknik Penerbangan, dan
ternyata dari biodata penulis, beliau juga adalah lulusan jurusan tersebut,
serta pengalaman Laila di Kuala Lumpur terkait bidang kuliahnya itu,
seakan-akan menggambarkan pengalaman penulis sendiri, karena pada bagian-bagian
ini, detail penceritaannya memang terasa lebih kuat.
Di dalam novel
ini juga terdapat beberapa tokoh sampingan yang muncul hanya sekelebat,
termasuk tokoh seorang “datuk” di Malaysia yang sampai menulis resensi ini,
saya belum berhasil menemukan esensi sosok ini dimunculkan, selain hanya untuk
memperkuat kekonyolan cerita Pram pada Laila.
Terlepas dari
hal-hal diatas, saya cukup terkesan dengan kehangatan keluarga Pram dan Laila
dalam novel ini, dan untuk saya, ini menjadi novel yang tidak bosan untuk
dibaca berulang-ulang. Dalam kesederhanaannya, saya tetap dapat merasakan
keterlibatan perasaan penulis yang kuat saat menuliskannya. Lihatlah bagaimana
penulis menuangkannya pada separagraph kata pengantarnya :
Pram hanyalah
seorang lelaki biasa, baik tingkah maupun rupa. Tapi, lelaki ini memiliki apa
yang Laila cari : kunci membuka beribu rahasia, pintu menuju masa lalu, jendela
mengintip masa depan. Pram mempunyai kantung berisi semua hal yang Laila suka :
laci penyimpan keping demi keping kenangan, dan peti untuk menaruh sebentuk
rindu, segenggam cemburu, dan gairah menggebu.
Dan, sekali lagi
untuk saya pribadi, secara uniknya, kata pengantar dalam novel ini justru
menjadi bagian paling menyentuh dari keseluruhan isi novel ini. Baru pernah
saya jumpai kata pengantar novel yang merefleksikan perasaan penulisnya secara
mendalam.
Buat anda yang
berekspektasi akan sebuah kisah cinta yang berakhir bahagia, sayangnya, hal itu
tidak anda jumpai dalam kisah ini. Tetapi, percayalah, di tangan penulis ini, akhir yang terkesan tragis itu justru bisa tersampaikan dengan cara yang “manis”.
saya punya novel ini.. tp dulu kavernya warna biru deh..
ReplyDeleteWah mbak Lyta, ini resensinya padat bener. sedikit mengulas sinopsis dan banyak review. Tapi saya suka gaya resensi yang padat begini. Langsung tanpa basa-basi :D
ReplyDeleteIya binta, cetakan pertama warna biru covernya gbr cewek rambut panjang
ReplyDeleteMbak eky, karena ceritanya memang sederhana premisnya :-)
ReplyDeleterata-rata novel romance, tokoh cewe berhadapan dengan 2 cowo.. kenapa enggak, ada 3 gitu ya.. kalau 2 mah biasa.. hahaha.. *dijitak para penulis romance dah.. :P
ReplyDelete3 mah ditabok pembaca, qiqiqiqi
ReplyDeletesaya sudah lama sekali mencari buku ini,,apakah ad yg tau dmana sya bisa mendapatkan buku ini?
ReplyDeleteBagus resensi nya jelas
ReplyDeleteBagus resensi nya jelas
ReplyDeleteTerimakasih, mantull kk
ReplyDeleteKayaknya aku punya yg versi pertama deh... Nangis baca ni buku... Padahal sebentar lagi akan bertemu
ReplyDelete