“Ketahuilah!
Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing-masing kamu akan dimintai
pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpin. ....”
Kutipan
hadits Rasululllah SAW ini jelas mengisyaratkan bahwa setiap manusia terlahir
sebagai pemimpin. Dan kelak, setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban
atas apa yang ia pimpin. Minimal, sebagai pemimpin atas dirinya sendiri. Oleh
karena itu, setiap orang tua wajib membentuk karakter pemimpin dalam diri
anak-anaknya.
Lantas,
seperti apa karakter seorang calon pemimpin yang ideal?
Dari
beberapa sumber referensi dan quiz yang pernah saya gelar berjudul “ciri-ciri
pemimpin ideal”, jawaban yang paling
banyak dimunculkan responden adalah : bahwa ciri-ciri pemimpin ideal adalah
seorang yang beriman dan bertakwa, cerdas, disiplin dan bertanggung jawab,
serta punya semangat juang yang tinggi.
Kali ini saya ingin bercerita tentang
pengalaman saya bersama mama. Sosok yang menjadi contoh teladan saya dalam
mendidik anak, termasuk membentuk karakter pemimpin seperti yang tersebut diatas
meskipun beliau tetap tak luput dari kekurangan dan kealpaan. Tujuh tahun
berlalu sejak kepergiannya, namun kesan positif beliau dalam ingatan saya, tak memudar
sedikit pun.
Untuk lebih mudahnya, pelajaran-pelajaran
positif dari beliau saya rangkum dalam beberapa poin berikut ini :
Pertama – peduli gizi
Meskipun wanita bekerja, mama sangat
peduli soal gizi. Beliau mengharuskan anak-anaknya untuk makan tiga kali sehari
di rumah, tidak boleh jajan di luar kecuali hanya untuk jajan makanan ringan. Setiap
pagi sebelum pergi bekerja, mama pasti menyempatkan diri untuk memasak di
dapur. Siang harinya pas jam istirahat, mama juga pasti pulang ke rumah untuk
menyiapkan makan siang. Kami memang tinggal di kota kecil, dan dari kantor mama
ke rumah hanya butuh waktu sepuluh menit.
Mama selalu memastikan bahwa makanan
yang tersedia di rumah memenuhi syarat empat sehat lima sempurna. Nasi,
lauk-pauk, sayur, buah, dan juga susu. Untuk makanan cemilan di sore hari pun,
mama lebih suka membuat sendiri ketimbang membeli, alasannya tentu saja karena lebih
higienis dan murah.
Kepedulian mama dalam soal gizi ini, saya
sadari menjadi kontribusi terbesar terhadap diri saya dalam hal pertumbuhan
fisik dan perkembangan otak. Kewajiban menyantap sarapan pagi membuat saya
tidak mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi pada pelajaran di sekolah. Saya
juga tetap bersemangat untuk belajar dan mengerjakan pekerjaan rumah dengan
asupan nutrisi yang mencukupi.
Saya baru menyadari efek dari
ketidakseimbangan gizi ketika duduk di bangku SMA. Waktu itu, gara-gara ikutan
teman, saya coba-coba berdiet dengan mengurangi porsi makan dan lebih giat
berolahraga. Akibatnya, saya sering belajar dalam kondisi perut keroncongan,
dan itu tak hanya membuat saya sulit berkonsentrasi dalam belajar, tetapi juga
jadi gampang uring-uringan dan mudah terkena penyakit.
Dari pengalaman ini, saya mendapat satu
pelajaran berharga, bahwa benarlah jiwa dan pikiran yang sehat itu baru
terwujud jika tubuh kita berada dalam kondisi yang sehat. Fisik yang sehat
membuat daya serap dan daya pikir
menjadi lebih baik, jiwa lebih tenang saat menghadapi persoalan, rasa percaya
diri menjadi lebih besar, dan ini semua adalah modal penting untuk menumbuhkan
karakter pemimpin di dalam diri kita. Ya.
Bagaimana mungkin seseorang mampu
memimpin dirinya sendiri dan orang lain disaat tubuhnya gampang terkena
penyakit, jiwanya labil dan pikirannya pun sulit diajak berkonsentrasi? Oleh
karenanya, asupan gizi yang seimbang mutlak menjadi faktor penting untuk
menopang tubuh, jiwa dan pikiran yang sehat.
Kedua – menanamkan pentingnya pendidikan
spiritual
Sejak usia balita, saya sudah diwajibkan
belajar mengaji, sholat dan berpuasa. Semakin besar, mama mulai memberi target
pada saya untuk mengkhatamkan Al-Quran setiap bulan Ramadhan. Ketika itu, saya baru sekadar memahami bahwa
ibadah adalah kewajiban umat beragama yang jika dilakukan akan mendapat pahala
dan bila ditinggalkan akan berdosa.
Namun pembiasaan melakukan ibadah sejak
dini ini ternyata memberi efek sangat mendalam setelah saya tumbuh remaja dan
dewasa. Saya selalu merasa gelisah kalau belum sholat, tak peduli meski orang-orang
di lingkungan sekitar saya tidak satu pun mengerjakan shalat. Saya juga jadi
termotivasi untuk mengkhatamkan Al-Quran setiap kali bulan Ramadhan.
Dan tentu saja, spiritualitas yang
berorientasi pada Sang Maha Pencipta merupakan modal penting yang harus
dimiliki setiap calon pemimpin. Karena ketundukan pada Tuhan akan mencegah
seseorang dari berbuat hal-hal menyimpang. Jika diibaratkan pondasi, maka
penanaman pendidikan spiritual sejak dini adalah pondasi bagi seorang calon
pemimpin untuk selalu mengingat Allah dan berorientasi kepadaNya dimana pun ia
berada dan dalam apapun kondisinya. Seorang calon pemimpin harus memiliki
spritualitas yang kuat agar tak mudah goyah meski lingkungan di sekitarnya memberi pengaruh buruk yang tak
kalah hebatnya.
Ketiga – membentuk mental positif lewat
pengalaman berkompetisi
Mama kerap mengikutsertakan saya pada
perlombaan-perlombaan tingkat anak-anak. Dan Alhamdulillah, dalam beberapa kali
perlombaan, saya pernah jadi juara. Dorongan untuk mengikuti lomba-lomba,
perlahan saya sadari merupakan cara mama mendidik saya untuk mengerti arti
perjuangan, punya sifat berani, siap menghadapi kekecewaan jika kalah juga tak
lantas tinggi hati saat menang. Karena biasanya setelah satu lomba usai, lomba
yang lain sudah menanti, sehingga saya tak punya waktu lama untuk larut dalam
euforia kemenangan. Hal lain yang saya
kagumi dari mama, bahwa ia mengikutsertakan saya dalam lomba-lomba yang
bertujuan untuk syiar Islam dan mengasah kemampuan intelektualitas seperti
lomba mengaji, pidato dan cerdas cermat, dan bukannya lomba-lomba yang
mengandalkan kelebihan fisik semata.
gbr atas : saya dalam lomba MTQ anak-anak, gbr bawah : saya dan mama |
Menimba pengalaman lewat kompetisi, bagi
saya menjadi modal penting untuk mengasah jiwa pemimpin, karena seorang calon
pemimpin harus punya semangat juang, sikap berani dan mental yang kuat dalam menghadapi
berbagai kendala.
Keempat – menanamkan disiplin dan
tanggung jawab
Mama sudah menanamkan sifat disiplin
sejak saya masih kecil. Dimulai dari jadwal bangun tidur dan kembali tidur
malam yang harus selalu tepat waktu, harus tidur siang, harus selalu minum susu
dan belajar, juga harus menyiapkan sendiri keperluan sekolah sejak saya masuk
Sekolah Dasar.
Uniknya, mama tidak pernah menemani atau
mengawasi saya belajar, atau pun mengingatkan saya sudah membuat PR atau belum.
Tetapi setiap kali pembagian rapor, mama pasti sangat teliti melihat
perkembangan nilai-nilai saya. Jika menurun, mama akan bertanya kenapa. Dari
sini saya menangkap isyarat bahwa sayalah yang harus bertanggung jawab dengan
nilai-nilai pelajaran saya sendiri. Jika saya mau nilai bagus, maka saya harus
belajar tekun. Jika menurun, maka saya harus siap mengemukakan alasan yang
tepat dan berkomitmen untuk memperbaikinya.
Dan, tentu saja disiplin dan tanggung
jawab adalah karakter penting yang harus dimiliki seorang calon pemimpin.
Bahkan untuk mampu memimpin diri sendiri, kedua sifat ini mutlak adanya.
Lalu, jika ditanyakan kepada saya,
apakah didikan mama ketika itu berhasil
menjadikan saya seorang yang berkarakter pemimpin atau tidak?
Dari sisi organisasi, meskipun belum
pernah memimpin organisasi dalam skala besar, setidaknya saya pernah menjadi
wakil ketua kelas dan selalu menjadi ketua kelompok belajar saat duduk di
bangku Sekolah Dasar.
Ketika SMP, saya menjadi ketua regu pramuka putri. Saat
SMA, kemampuan oganisasi saya memang tidak menonjol, tetapi saya lebih banyak
mengikuti kompetisi, mulai dari cerdas cermat, pidato, lomba siswa berprestasi
hingga siswa teladan. Dan Alhamdulillah, dalam kompetisi pada usia yang sudah berangkat
remaja ini pun, saya beberapa kali meraih juara.
Apa yang terpenting, bahwa di mata saya,
mama tergolong berhasil menanamkan karakter-karakter positif yang harus
dimiliki oleh seorang calon pemimpin dalam diri saya, minimal, untuk memimpin
diri sendiri. Saya jadi menyadari betapa pentingnya peranan gizi dalam
mendukung kesehatan jiwa dan pikiran, pentingnya pemahaman dan pembiasaan
aktivitas spiritual keagamaan sejak dini, pentingnya memiliki mental yang kuat juga
sifat disiplin dan tanggung jawab.
Hal-hal ini jugalah yang kemudian saya
tanamkan pada anak-anak saya saat ini. Meskipun dalam prakteknya, saya belum
bisa melakukan sebaik mama, dan dalam beberapa hal, saya juga harus melakukan
perubahan dan modifikasi dari cara yang diajarkan mama.
Dari segi menjaga asupan gizi misalnya,
karena kantor saya jauh dari rumah, maka saya tidak sempat menyiapkan makanan setiap
pagi seperti mama. Tetapi saya tetap mewajibkan anak-anak saya sarapan pagi,
dan melarang mereka jajan sembarangan. Saat ada di rumah, saya juga berusaha
memastikan mereka memperoleh asupan gizi yang seimbang.
Untuk aktivitas ibadah, saya juga mendorong
anak-anak untuk membiasakan melakukannya sejak dini. Sehingga pada usia Sekolah
Dasar sekarang, anak sulung dan yang nomor dua sudah rutin mengerjakan sholat
lima waktu dan mengaji, meski sesekali tidak melakukannya secara full. Anak sulung saya juga sudah mengkhatamkan
AL-Quran pertama kali saat usianya enam tahun.
Dalam hal kompetisi, saya juga meniru
cara mama untuk memberi kebebasan pada anak mengikuti kompetisi yang positif. Karena
dari pengalaman ini, mental yang positif termasuk karakter kepemimpinan dengan semangat
juang tinggi dan bermental baja akan terbentuk. Alhamdulillah, anak saya yang
sulung, pencapaiannya mampu mengalahkan saya ketika seusianya. Dulu, paling
tinggi saya hanya mampu mengikuti kompetisi sampai tingkat propinsi, dan sulung
saya, Alhamdulillah berhasil meraih penghargaan dalam olympiade sains mulai
dari tingkat kota, propinsi hingga nasional.
anak-anak saya dan pencapaiannya |
Hanya saja, untuk urusan disiplin dan
tanggung jawab, saya akui, saya masih keteteran. Menanamkan kedua karakter ini
terhadap anak lelaki ternyata jauh lebih sulit. Meski begitu, saya tak ingin
menyerah. Adapun cara mama yang saya modifikasi, adalah dengan lebih bersikap
terbuka dengan anak. Berbeda dengan jaman saya dulu, antara anak dan orang tua
seperti ada dinding pembatas, anak tidak bisa bebas bicara dan curhat pada
orang tua, tetapi sekarang, seiring dinamika dan perubahan jaman, orang tua
harus lebih dekat dengan anak sehingga anak tak sungkan menjadikan orang tua
sebagai sahabat. Lewat kedekatan ini pun, karakter positif yang harus dimiliki
seorang calon pemimpin bisa dibangun, diantaranya adalah sifat terbuka, jujur,
mau mendengarkan dan menghargai serta mengembangkan kemampuan berdiskusi dan bermusyawarah.
Demikianlah beberapa fase pengalaman
saya bersama mama, pelajaran berharga yang saya dapatkan darinya dalam mendidik
dan membentuk sifat kepemimpinan pada anak, serta hal-hal positif darinya yang
saya tiru dan lanjutkan saat mendidik anak-anak saya saat ini. Dan apa yang
membuat semua contoh teladan mama menjadi luar biasa di mata saya, karena mama
ikhlas dan gigih melakukan itu semua meski saya bukanlah anak yang terlahir
dari rahimnya.
Mama yang hebat ya... :)
ReplyDeleteMama tirinya, mba? Subhanallah ...
ReplyDeleteMakasih santi udah mampir:-)
ReplyDeleteBukan mama tiri mbak ela, tp mama angkat, kisah hidup sy wkt kecil agak2 nyinetron, hehe
Mamanya luar biasanya mbak, jadi belajar banyak nih
ReplyDeleteWah, lomba-lomba masa kecilnya 'shalih'. Klo saya malah lombanya baca puisi dan nyanyi :-D
ReplyDelete