Judul :
12 Menit
Penulis : Oka Aurora
Penerbit :
Nourabooks
Tebal :
348 hal
Terbit :
Mei 2013
“Kisah yang mencerahkan dan inspiratif.”
(Andy F. Noya, host Kick Andy)
“...........Cerita yang akan menyemangati dan
menginspirasi pembaca hingga lembar terakhir.” (Helvy Tiana Rosa, penulis)
Dua kalimat diatas adalah penggalan endorsement untuk novel buah karya Oka
Aurora ini. Menarik. Saat menemukan kata inspiratif dan menginspirasi pada
kedua kalimat tersebut. Seolah menegaskan kesamaan pendapat kedua endorser, bahwa novel ini memang layak
disebut sebagai novel inspiratif.
Lantas, novel macam apa yang sesungguhnya
layak menyandang predikat inspiratif? Apakah novel ini termasuk satu diantaranya
ataukah stempel yang “diselipkan” via endorsement
tersebut hanya strategi penjualan belaka?
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia),
kata “inspirasi” termasuk kata benda yang berarti “ilham”, dan kata “ilham”
sendiri memiliki tiga arti, yaitu : petunjuk Tuhan yang timbul di hati, pikiran
yang timbul dari hati, dan sesuatu yang menggerakkan hati untuk mencipta.
Dengan demikian, maka sebuah karya yang
dianggap “inspiratif” atau menginspirasi adalah karya yang setidaknya berhasil
memunculkan satu dari ketiga pengertian tersebut di hati pembacanya.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saatnya
kita telisik sisi internal novel ini melalui ulasan berikut.
Sekilas, judul novel ini mengingatkan pembaca
pada judul-judul cerita bergenre thriller.
Sebut saja diantaranya, film seri “24 Hours” yang bercerita tentang rencana
pembunuhan calon presiden Amerika Serikat. Apalagi, cover novel yang
menampilkan gambar rak kayu berwarna biru dan bernuansa muram, cukup mendukung
kesan tersebut, andai saja tidak terdapat tambahan gambar alat musik trompet dan mallet, serta insert foto
orang-orang yang sedang berlatih marching
band. Namun, novel ini sama sekali jauh dari unsur thriller, suspense dan sejenisnya.
“Dalam dua belas minggu ke depan, kita akan
habiskan ratusan jam, siang dan malam, demi dua belas menit. Dua belas menit di
Istora nanti.”
“Dua belas menit ini yang akan menentukan
apakah kita akan juara. Dua belas menit ini yang menentukan apa yang akan kita
kenang seumur hidup.” (Hal.83)
Inilah sesungguhnya inti dari novel berkapasitas 348 halaman ini. Inti yang kemudian terurai dalam lembar demi lembar yang bercerita tentang perjuangan keras Marching Band Bontang Pupuk Kaltim demi meraih kemenangan dalam Grand Prix Marching Band (GPMB), di mana waktu yang tersedia untuk penampilan puncak itu hanya 12 menit saja.
Siapa menduga, ada pengorbanan luar biasa,
tetesan keringat dan air mata, kerja keras dan lika-liku panjang selama
berbulan-bulan dan ribuan jam, dibalik sebuah penampilan yang “hanya” memakan
waktu 12 menit tersebut, yang disajikan secara apik dan menawan oleh Oka Aurora
di dalam novel ini. Novel yang juga merupakan novel pertama penulis dan diadaptasi
dari skenario filmnya yang keempat.
Adalah Rene, seorang mantan pemain marching band dengan kemampuan dan
pengalaman internasional, lalu meningkat menjadi pelatih marching band yang berhasil membawa anak asuhnya menjadi juara umum
GPMB berturut-berturut, akhirnya dipinang oleh sebuah perusahaan besar untuk
melatih marching band Bontang Pupuk
Kaltim. Marching band yang
beranggotakan anak-anak daerah dengan tingkat kepercayaan diri sangat rendah
dan selalu merasa kecil meski sesungguhnya mereka memiliki potensi.
Kemampuan dan pengalaman cemerlang Rene benar–benar
teruji disini, bukan hal mudah baginya menyuntikkan semangat kepercayaan diri
kepada para pemain, menjaga agar semangat ini tetap eksis dan konsisten hingga
akhir, ditambah lagi konflik internal yang melanda beberapa anggota inti, membuat
upaya keras Rene untuk mewujudkan tim binaannya menjadi juara, menemui berbagai
rintangan yang tidak mudah.
Diantara para anggota inti, terdapat Elaine, gadis
blasteran Indonesia – Jepang yang pindah dari Jakarta ke Kalimantan mengikuti
ayahnya yang pindah tugas. Elaine seorang pemain biola dengan kemampuan musikalitas
sangat baik, dan berkat kemampuannya, juga didukung penampilannya yang menawan,
Elaine terpilih sebagai field commander
dalam marching band Bontang. Namun passion Elaine dalam bermusik ditentang keras
oleh sang ayah. Beliau lebih menginginkan putri tunggalnya itu menjadi ilmuwan
menyusul jejaknya. Juga menganggap pendidikan adalah satu-satunya kunci pembuka
gerbang masa depan.
Selanjutnya ada Tara, gadis muda berbakat yang
memiliki keterbatasan pendengaran akibat sebuah kecelakaan yang merenggut nyawa
ayahnya. Tragedi tersebut membuatnya trauma, sehingga kerap menyalahkan diri
sebagai penyebab kematian sang ayah. Sementara itu, ibunya melanjutkan
pendidikan ke luar negeri dan Tara diasuh oleh opa dan oma yang sangat
menyayanginya serta sangat mendukungnya. Keterbatasan pendengarannya membuatnya
harus berjuang ekstra keras saat harus berlatih dan diperlakukan secara
“normal” dibawah tempaan tangan dingin Rene bersama anggota marching band yang lain. “Kombinasi”
kekurangan fisik dan tekanan psikis ini, hampir saja membuat Tara menyerah.
Juga ada Lahang, anak seorang tetua suku
Dayak yang hidup dalam kondisi serba kekurangan, dan harus pula melewati
perjalanan panjang nan penuh mara bahaya setiap kali pergi mengikuti latihan marching band. Lahang menghadapi dilema luar
biasa saat ayahnya sakit keras, antara tetap tinggal untuk merawat ayahnya,
atau pun mengikuti pertandingan marching
band di Jakarta. Di satu sisi ia takut kehilangan ayahnya saat tak berada
di samping beliau, di sisi lain ia tetap ingin mewujudkan janjinya pada sang
ayah serta mewujudkan impiannya sendiri.
Selain
keempat tokoh utama tersebut, terdapat juga beberapa tokoh pendukung lainnya, diantaranya
Pak Manajer, Rob, kedua orang tua Elaine, opa dan oma Tara, ayah Lahang,
Pemeliatn atau pemuka agama dalam suku Dayak, yang kehadirannya berhasil dioptimalkan
penulis untuk memperkuat alur cerita ini dan tidak sekadar tempelan belaka.
Di dalam novel ini, pembaca juga akan diajak mengenal
dan memahami dunia marching band lebih
dalam, tidak hanya sekadar mengenalkan nama alat musik seperti perkusi (alat
musik pukul), brass (alat musik
tiup), snare drum, mallet, dan
sebagainya, serta istilah-istilah di dalamnya seperti cadet band, drum corps, fouettes, field commander dan sebagainya, tetapi
juga sebuah gambaran holistik tentang marching
band sebagai sebuah aktivitas tim musikal yang membutuhkan kerja keras,
disiplin dan kekompakan dalam jangka waktu panjang demi menghasilkan penampilan
yang prima.
Novel ini mengambil latar utama kota Bontang
di Kalimantan Timur. Unsur budaya Dayak pun turut dihadirkan di sini melalui
ritual Beliatn yang dipercaya dapat mengusir roh jahat dari tubuh orang sakit,
meski untuk kedua latar tempat dan kultur ini, porsi penceritaannya tidak
terlalu besar.
Kembali pada pertanyaan di awal, apakah novel
ini layak disebut sebagai novel inspiratif, tentu, sangat dibutuhkan kejujuran
pembaca akan kesan yang diperoleh setelah aktivitas membaca berakhir. Tetapi,
setidaknya ada 3 (tiga) poin penting dari novel ini yang layak dicermati, dan
memiliki relevansi sangat erat dengan nilai-nilai pembangun inspirasi. Poin ini saya singkat dengan MAP, yaitu :
Salah satu
trik populer saat ini untuk buku bermuatan inspirasi dan motivasi, baik fiksi
maupun non fiksi, adalah dengan menyelipkan kalimat-kalimat motivasi atau motivational quotes didalamnya. Quotes semacam ini dapat mempertegas
gagasan untuk lebih mudah diterima dan dipahami oleh pembaca, membuat tulisan
menjadi lebih kaya makna, dan tentu saja, menyuntikkan semangat dan energi
baru.
Tak terkecuali di dalam novel ini, ada banyak taburan kalimat motivasi
yang tersebar di dalam narasi maupun dialog-dialognya. Berikut beberapa
kutipannya :
“Berapa pun
waktu yang diberikan, tak seharusnya dihabiskan dengan ketakutan, karena
ketakutan, anakku, tak akan pernah menyambung hidupmu. Yang menyambung hidupmu,
hanya keberanian.” (hal. 104, nasehat ayah Lahang kepada anaknya).
“Tapi,
ibarat sedang berenang, kalian semua sekarang sedang berenang melawan arus yang
sangat kuat. Begitu kalian berhenti, kalian akan segera terdorong ke belakang.
Untuk melawan arus, kalian bukan hanya butuh tubuh yang kuat. Kalian juga butuh
mental yang kuat.” (hal.134, ucapan Rene saat memotivasi tim marching band).
Buat apa
hidup jika tak bahagia. Apapun yang kita lakukan dengan hidup kita pada
akhirnya adalah untuk menuju satu. Kebahagiaan. Lahir batin. Dunia akhirat.
(hal. 165)
“Jika dirimu
sedang sedih, lihatlah ke bawah. Ada orang yang jauh lebih sedih darimu.
Sehingga kamu bisa belajar bersyukur.” (hal. 187)
“Berpikirlah
kalah, maka kalian akan kalah. Kalau ingin menang, berpikirlah sebagai
pemenang.” (hal. 307)
Kehadiran
kalimat-kalimat tersebut sama sekali tidak terkesan menggurui, karena penulis
berhasil menempatkannya secara tepat sehingga berhasil membangkitkan citarasa inspirasi dalam
porsi yang pas. Apalagi dengan ditunjang gaya penceritaan yang lugas, sederhana
namun energik, membuat pesan-pesan dari novel ini sangat mudah dicerna oleh
pembaca.
A = A novel inspired by true
story (novel yang terinspirasi dari kisah nyata)
Inspirasi
novel ini memang bersumber dari keberhasilan tim marching band Bontang pupuk Kaltim yang telah mengukir prestasi
sangat fenomenal, yaitu menjadi juara umum sebanyak sepuluh kali di dalam Grand Prix Marching Band (GPMB) atau
kejuaraan Marching Band tingkat
nasional, serta pernah pula meraih dua kali penghargaan internasional yaitu Sudlier Shield Award (1998) dan Band of the Year (2001).
Tak
dipungkiri, bahwa fiksi yang mengambil inspirasi dari kisah nyata, apalagi
kisah nyata yang inspiratif, memiliki kekuatan tersendiri untuk menggugah hati pembaca, ini mungkin terkait dengan semacam
“keyakinan”, sugesti, bahwa pada faktanya kisah tersebut – meski telah
bertransformasi ke dalam bentuk fiksi - benar-benar ada, pernah terjadi,
sehingga bukan hal mustahil untuk dapat terwujud, dan dapat dijadikan teladan
bagi pembaca.
Dan seperti
beberapa novel lainnya yang terinspirasi dari kisah nyata lalu diangkat ke
layar lebar, novel ini pun mengalami hal serupa, yaitu difilmkan oleh Big
Pictures Production dan disutradarai oleh Hanny R Saputra dengan judul “12
Menit untuk Selamanya”.
P = Positive Character (Karakter positif)
Melalui
tokoh-tokoh dalam novel ini, terdapat banyak karakter positif yang pantas untuk
dipelajari dan diteladani. Dari sosok Rene, pembaca akan belajar tentang
pentingnya sifat-sifat kepemimpinan untuk membawa tim mencapai tujuan seperti kemampuan
memotivasi, ketegasan, disiplin, pantang menyerah, profesional dan berdedikasi
tinggi. Satu hal yang unik disini, bahwa dalam versi aslinya, pelatih tim marching band Bontang yang bernama Rene
Conway adalah seorang laki-laki, tetapi dalam versi novel, sosok Rene adalah
seorang wanita.
Dari sosok
Tara, pembaca mendapatkan pelajaran berharga bahwa kekurangan fisik bukanlah
hambatan untuk merealisasikan mimpi.
Sosok Lahang
dengan jalinan kisahnya yang dramatis, akan menggugah hati pembaca bahwa
kekuatan mimpi dan keteguhan akan janji merupakan faktor substansial dalam
mewujudkan cita-cita.
Dan sosok sang field
commander marching band, yaitu Elaine, juga ikut menyumbangkan pelajaran
tak kalah berharga, bahwa ketekunan dan kegigihan dalam menggeluti passion - meski bidang passion yang ditekuni itu mendapat perlawanan dari keluarga
sendiri, dalam hal ini ayahnya – pada gilirannya kelak akan membalikkan semua
perlawanan dan cemoohan menjadi dukungan dan bahkan kebanggaan.
Beberapa
tokoh-tokoh lainnya juga mengajarkan pembaca akan betapa pentingnya dukungan
positif dari orang-orang yang dicintai. Diantaranya adalah yang apa ditunjukkan
oleh opa dan oma Tara, ayah Lahang juga ibunda Elaine. Mungkin, tanpa dukungan
oleh orang-orang terkasih ini, sosok Tara akan tetap berkubang dengan trauma
masa lalunya, Lahang akan tetap memilih terus berada di samping ayahnya yang
sakit keras ketimbang mewujudkan impiannya, dan Elaine memilih mundur teratur
dari pembuktian diri di depan ayahnya.
Semua
karakter ini pun berhasil dibangun oleh penulisnya secara natural, dengan
metode “show” yang sangat baik, yaitu
kemampuan untuk memvisualisasikan karakter lewat emosi, ekspresi, gestur dan
dialog tokoh sehingga pembaca dapat langsung mengidentifikasi karakter
masing-masing tokohnya tanpa perlu sang penulis menamai masing-masing karakter
tersebut.
Dengan
beberapa poin diatas, sungguh tak berlebihan rasanya, jika novel ini layak
distempeli predikat sebagai novel inspiratif, dan sangat direkomendasikan bagi
anda yang saat ini tengah berjuang merealisasikan mimpi, serta yakin bahwa setiap
orang pasti akan sampai pada tujuannya saat menjalaninya dengan keteguhan hati
dan tak pernah takut meraih mimpi. Hal ini sesuai bunyi firman Allah swt yang
ditampilkan di awal lembar novel ini, yaitu :
Sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah keadaan sebuah bangsa sampai mereka mengubah keadaan
mereka sendiri (QS Ar-Ra’d (13) : 11).
Juga quote
pada lembar berikutnya, yang semoga dapat meyakinkan anda bahwa novel ini
memang mampu menggugah semangat anda untuk menjadi pemenang kehidupan :
“Perjuangan
terberat dalam hidup manusia adalah perjuangan mengalahkan diri sendiri. Buku
ini adalah bagi semua yang memenangkannya.”
Resensi ini diikutkan dalam lomba menulis resensi novel 12 Menit : Dreaming is Believing
Singkat, padat, dan tepat sasaran. Review yg enak dibaca. Novelnya sepertinya memang inspiratif. Boleh pinjem? :P
ReplyDeleteboleh. Alamat masih sama?
ReplyDeleteadududuh, novel ini berarti hebat bener kalau mbak Ria udah kasih resensi sehebat ini.InsyaAllah menang mbak Ria^^
ReplyDeletemakasih anggun. Amiiin
ReplyDeleteWow .... resensinya oke sekali. Detil dan tajam. Kalo dari resensi ini, sepertinya novelnya oke sekali.
ReplyDeleteMoga menang ya mbak :)
Makasih mbak Niar. Amiin. Iya novelnya keren :)
ReplyDeletebaru baca, sempat terbawa emosi pada bagian akhir buku ini
ReplyDeleteKalau ada novelnya bisa di shere
ReplyDelete