-------------------------------------------------------------
Suatu pagi, tujuh tahun silam,
Pria itu duduk di sofa dengan gelisah. Sesekali
menyatukan buku kedua tangannya dan meremas jemarinya. Memutar matanya pada
sekeliling dengan ekspresi mengambang, tanpa ada selera apalagi rasa tertarik.
Karena sesungguhnya ia pun telah hafal nyaris setiap inchi dan lekuk liku ruang
tamu rumah ini. Rumah tua yang menjadi destinasinya setiap kali ia menginginkan
keberuntungan terjadi pada dirinya, ataupun saat ingin menghindarkan diri dari
hal-hal yang ia benci.
Terkadang, nasehat guru agamanya saat SMA dulu sempat
bergaung di telinganya. Jangan pernah menggantungkan nasib pada selainNya.
Ataupun meyakini kebenaran ramalan terhadap peristiwa yang belum terjadi. Namun
nasehat itu setiap kali pula harus terkalahkan oleh keinginannya untuk
lagi-lagi melangkah kemari.
“Sudah lama?” Teguran suara berat itu mengakhiri
gelisahnya. Ia berdiri. Menyalami seorang pria seusia ayahnya yang
menghampirinya dari belakang. Pria bertubuh gemuk itu lalu duduk di kursi sofa
dihadapannya dan mulai menyalakan cerutunya.
“Lumayan,” Ia menjawab singkat. Dari ekspresi wajahnya
jelas tergambar bahwa kali ini ia tak ingin terlalu lama berbasa-basi.
“Ada apa lagi sekarang? Ingin mendapatkan perempuan yang
kau incar, hm?” Pria itu mengepulkan asap cerutunya, menatapnya dengan tatapan
menyimpan senyum.
“Bukan. Malah sebaliknya. Aku justru ingin mencari cara
agar bisa terlepas dari wanita yang akan dijodohkan denganku.”
“Oh ya? Menarik sekali. Tidak menyangka ayahmu punya niat
‘suci’. Lalu, kenapa kamu berpikir untuk menolaknya?” Pria gemuk itu
menyandarkan punggungnya ke sofa. Tatapannya menyipit memandang pria muda
didepannya yang mulai menggaruk-garuk pipinya dengan gelisah.
“Bukan ayahku. Tapi ibuku.” Suaranya meriap getir.
“Penyakit komplikasinya membuat akhir-akhir ini kondisinya terus menurun.
Katanya, dia ingin aku menikah sebelum dia meninggal. Dan sudah sejak sebulan
ini, tiada hari tanpa bibirnya menyebut permintaan konyol itu.”
“Lalu?”
Ia terlebih dulu menghembus nafasnya kuat-kuat sebelum
menjawab. “Aku mengenal baik wanita itu. Dia tetangga kami sejak kecil.
Sebenarnya, dia cantik, juga baik, sayang, belum lama ini rahimnya harus
diangkat. Ada infeksi ganas menyerangnya. Begitu yang aku dengar. Sebenarnya
aku tak terlalu ambil pusing dengan rahimnya, hanya saja, aku belum ingin menikah!
Dan sekarang, aku yang jadi bingung sendiri. Apapun caranya, aku ingin
pernikahan itu nggak pernah ada!”
“Boleh....aku lihat foto wanita itu?”
Ia lalu mengeluarkan dompetnya. Telah belasan kali datang
kemari membuatnya hafal luar kepala apa yang harus ia bawa setiap kali datang
untuk meminta pertolongan.
Pria separoh baya itu sejenak mengamati selembar foto
yang telah berpindah ke tangannya. Tampak serius saat jemarinya membolak-balik
dan matanya membeliak lalu kembali menyipit.
“Saranku, sebaiknya kau penuhi saja permintaan ibumu.”
“Apa?” Saran itu tak urung membuatnya nyaris terlonjak.
“Ya. Menikahlah dengannya. Dia keberuntungan untukmu.
Meski dia tak bisa memberimu keturunan, tapi dia adalah dewi fortuna untukmu
mereguk gelimang materi. Yang perlu kau lakukan hanya bersabar, dan bawa ia
pergi jauh dari keluarganya. Aura wajahnya menghembuskan isyarat bahwa kalian
akan lebih cepat kaya kalau terbentang jarak dari orang-orang yang selama ini
ada di sekelilingnya.”
Ia terhenyak. Tak menyangka kalau ‘analisa’ pria
andalannya itu hari ini justru menghasilkan alternatif yang sangat kontradiktif
dengan keinginannnya.
Tapi, apa alibi yang pantas ia tegakkan untuk membantah
atau menolak? Sementara selama ini nyaris semua kemujuran yang ia raih ataupun
menghindarkan diri dari kesialan, diakuinya tak terlepas dari campur tangan
pria ini?
“Sekarang pulanglah. Katakan ‘ya’ didepan ibumu sebelum
dia menemui ajalnya dan kau hanya bisa menangisi penyesalanmu. Dan ingat,
setelah ini, jangan pernah lagi hubungi aku. Sudah saatnya kau bertobat anak
muda, sebelum Tuhan menghukum kita berdua atas semua kerjasama kita yang begitu
solid selama ini, heheheh...”
Pria itu terkekeh-kekeh. Kekehan yang berubah
menjadi tawa lebar saat selembar amplop tebal menyelip manis dalam genggaman
jemarinya yang gempal. Mengiringi kepergian sang pemuda dengan ekspresi yang
sama sekali berbeda dengan saat kedatangannya beberapa menit lalu.
Harisssss..........
ReplyDeletebagusnya ditonjok apa disimpen di museum ya? hihi
Deletebener2 dibuang sayang ya :)
ReplyDeletemungkin, krn emang kurang diperlukan adegan ini
Delete