Support Me on SociaBuzz

Support Me on SociaBuzz
Dukung Blog Ini

Review Buku Passport to Happiness : Perjalanan Panjang Menemukan Makna Cinta dan Kebahagiaan

(sumber : www.salsabeela.com)

Review :
Ada banyak cara bisa kita tempuh, untuk menyembuhkan luka sekaligus mencari makna kebahagiaan yang hakiki. Dan Ollie menempuhnya dengan cara melakukan perjalanan,  demi mencapai kedua tujuan itu.

Perceraian yang dialaminya menyadarkan Ollie akan satu hal, bahwa ia telah terlalu banyak mendahulukan kepentingan orang lain dan alpa untuk mencintai diri sendiri. Perpisahan membuat hatinya hancur, dan ia memutuskan untuk melakukan perjalanan. Karena ia yakin, perjalanan itu menyembuhkan.

Buku ini bercerita tentang perjalanan Ollie selama empat tahun di 11 kota di dunia. Kisah ini bermula dari perjalanan Ollie ke Ubud, Bali. Diakui Ollie, bahwa perjalanannya ini terinspirasi dari pengembaraan Elizabeth Gilbert yang tertuang dalam buku Eat, Pray, Love. Selain itu, alasan lain Ollie adalah untuk menghindari orang-orang yang pernah menyakitinya, dan keinginannya untuk mengetahui apa yang harus ia lakukan selanjutnya.

Di kota nan eksotis dan menawarkan kedamaian ini, Ollie lebih banyak menghabiskan waktu dengan dirinya sendiri. Saat Ollie mengunjungi Museum Antonio Blanco, ingatan saya sempat terbang ke drama televisi yang diangkat dari kisah nyata, belasan tahun yang lalu. Kisah tentang seorang pelukis genius bernama Antonio Blanco yang jatuh cinta kepada gadis Bali lalu memutuskan untuk tinggal di Ubud. Meskipun drama itu telah lama berlalu, beberapa kelebatan adegan romantisnya masih tertinggal dalam memori saya, begitupun makna kesetiaan cinta yang begitu kuat menafasi kisah itu.

Namun penemuan Ollie akan makna hidup di Ubud ini, baru terjadi pasca pertemuannya dengan Ketut Liyer, pria peramal yang pernah ditemui Elizabeth Gilbert dan menjadi kian terkenal setelah kisah perjalanan Gilbert diangkat ke layar lebar.

Ketut Liyer dan Julia Roberts dalam film Eat, Pray, Love. (sumber : www.baliorti.com)

Dalam pertemuan itu, Ketut tidak “membekali” Ollie dengan kata-kata mutiara yang menginspirasi, melainkan menyuruh Ollie untuk selalu tersenyum dan menggunakan make-up. Awalnya Ollie tidak memahami maksud saran Ketut. Tetapi, pada akhirnya Ollie mengerti makna tersirat dari pesan Ketut setelah ia melakukannya. Makna apakah gerangan? Well, saya sarankan kalian untuk menemukannya sendiri dalam bagian kisah ini.

Cerita perjalanan Ollie berlanjut ke  Dublin, Irlandia. Sebuah kota klasik yang sangat mengapresiasi karya puisi. Di sebuah toko buku bernama Books Upstairs, buku-buku puisi diletakkan di rak besar pada tempat paling strategis di sebelah pintu masuk, sebagai bukti akan penghargaan mereka yang begitu besar terhadap puisi. Di kota ini pulalah, Ollie jatuh cinta pada puisi. Ollie menemukan fakta bahwa puisi, bisa menjadi media untuk melebarkan perasaan bahkan menyentuh sudut-sudut terjauh di dasar hati. (hal. 30).

Kisah ketiga bercerita tentang perjalanan Ollie di Moskow. Kota dengan stasiun-stasiun terbaik di dunia ini, di luar dugaan saya, juga tak pernah terbayangkan oleh Ollie sebelumnya, ternyata  adalah kota dengan pria teromantis di dunia! Ya, di kota inilah Ollie melihat pria yang berlutut di depan kekasihnya, pria-pria yang tak sungkan membawa buket bunga untuk dihadiahkan kepada kekasihnya, dan beragam perlakuan gentleman lainnya yang kian mengukuhkan high standard akan keromantisan pria Rusia.

Rusia juga ternyata menyimpan fakta kontradiksi dengan informasi-informasi yang beredar selama ini. Orang Rusia ternyata berkepribadian hangat, tidak dingin dan angkuh seperti yang selalu diberitakan. Begitu juga dengan situasi kotanya yang jauh dari kesan menakutkan. Ollie menyebutkan, bahwa Rusia sebenarnya lembut dibalik keangkuhannya (hal. 40). Banyak sastrawan kelas dunia lahir di Rusia. Dan literasi Rusia yang dikemas dalam balutan dunia aristokrasi serta bersifat klasik-universal memiliki keunikan tersendiri. Tak heran, beberapa karya sastra Rusia menjadi sangat melegenda, diantaranya adalah War and Peace dan Anna Karenina.

Di kota ini pula, Ollie mendapatkan pemahaman baru akan cinta dalam versi Moskow, yaitu kebaikan dan kasih sayang yang diekspresikan dengan jelas, lugas dan tanpa ragu (hal. 42). Ya. Orang-orang Moskow adalah mereka dengan kejujuran yang ekspresif. Mereka akan mengekspresikan apa yang mereka rasakan dalam sikap. Tanpa basa-basi, juga tanpa manipulasi.

Bagian selanjutnya bertutur tentang perjalanan Ollie saat menjejakkan kakinya di London. Pada bagian ini, saya merasa seperti membaca sepenggal fiksi romance. Kisah pertemuan Ollie dan perjalanannya bersama Nathan, pria tampan yang pernah punya arti khusus dalam hatinya, membuat saya beberapa kali merasakan debaran halus dan sentuhan perasaan. Rasa yang kerap saya alami saat menikmati novel-novel romance. Meskipun di sini Ollie juga menceritakan pengalamannya mengunjungi berbagai tempat menarik di London, seperti Green Park, Buckingham Palace, National Gallery hingga Sungai Thames, tetap saja, kisah kebersamaannya dengan Nathan terasa lebih membangkitkan gejolak dalam hati. 

Britain National Gallery (Sumber gambar: yalesbookblog.com)


Sayang, cerita tentang mereka terlalu singkat. Tahu-tahu saja saya sudah sampai pada halaman terakhir dari kisah perjalanan Ollie di London. Bagaimana akhir kisah hubungannya dengan Nathan? Dan makna apa yang diperoleh Ollie dari sepenggal kisah romantisnya ini? Sekali lagi, saya pikir lebih baik jika kalian langsung menikmatinya sendiri.

Kisah Ollie berlanjut ke negeri ginseng Korea. Ritme cerita berubah menjadi sedikit lebih kocak saat Ollie bercerita tentang “kultur” masyarakat Korea yang doyan operasi plastik. Bahkan di sepanjang jalan, di setiap tempat-tempat umum yang didatangi Ollie bersama Amel temannya, nyaris semua wanita tampak sempurna dengan kecantikan artifisial. Dari perjalanannya di Korea ini, di tengah-tengah masyarakatnya yang memuja kecantikan sempurna, Ollie menemukan makna akan pentingnya menjadi diri sendiri.

Confidence is power. Dan menjadi cantik adalah salah satu jalan kesana. Namun, at the end of the day, kenyamanan dan kebahagiaan ada pada saat kita menjadi diri kita sendiri (hal. 76).


Cerita selanjutnya adalah tentang perjalanan Ollie di kota simbol cinta, Paris. Pada bagian ini, Ollie sempat bertutur tentang behind the scene dari novel lawasnya, Je M’appelle Lintang. Novel pertama Ollie yang saya baca,  kira-kira 8 tahun yang lalu. Ollie ternyata tak hanya sekadar melakukan riset, tetapi juga bela-belain ikut kursus bahasa Prancis selama 3 bulan demi menyusun novel itu, karena informasi tentang Paris yang ia temukan dari mesin pencari Google, rata-rata berbahasa Prancis. Buat saya, ini benar-benar sebuah effort yang luar biasa. Novel itu sendiri berhasil memukau saya dengan nuansa Parisnya yang benar-benar kental, seakan-akan penulisnya memang pernah tinggal di Paris. Siapa menduga, bahwa mimpi Ollie untuk menjejakkan kaki ke Paris, ternyata dipertemukan Tuhan dengan kenyataan.

Di kota ini, Ollie bercerita tentang Catherine sahabatnya dan suaminya Arnaud, pasangan yang sangat romantis dan penuh cinta. Kehangatan pasangan ini meyakinkan Ollie bahwa cinta yang indah itu masih ada. Ollie juga sempat menjalani blind date dengan Youseff, pria muslim berdarah Prancis – Tunisia. Meskipun hubungannya dengan Youseff tidak berlanjut, tetapi Ollie mendapat pencerahan dari analisis Arnaud terhadap dirinya, terhadap harapannya untuk menemukan pasangan yang tepat.

Jika aku merasa belum juga bertemu orang yang tepat, mungkin saja aku belum menjadi seorang yang tepat. Mungkin aku belum mengangkat diriku sederajat dengan orang-orang yang ingin aku temui. (hal. 97).


Kisah berikutnya adalah perjalanan Ollie di kota Marrakech. Kota yang sarat kejutan dan merepresentasikan ciri-ciri kota di negara berkembang yang tergolong keras dan “sulit”. Contohnya saja, pengalaman yang dilalui Ollie saat seorang penari meminta uang dengan paksa karena Ollie telah memotretnya yang sedang menari, ataupun saat harus mengantri selama sejam di imigrasi.

Di sini, pengalaman berharga dirasakan Ollie saat menghadiri konferensi bisnis yang mempertemukannya dengan orang-orang hebat dari 35 negara di dunia.  Beberapa wanita pengusaha dari berbagai belahan dunia yang berkumpul di sini, telah menginspirasi Ollie akan pencapaian mereka. Salah satunya yang paling menginspirasi, adalah Maryam, startup founder dari Gaza. Meskipun hidup di negeri sarat konflik, hal itu tak menyurutkan semangat Maryam untuk terus berinovasi.

Kisah perjalanan Ollie berlanjut ke kota Istanbul, kota dengan para prianya yang tampan semua, dan memiliki pemandangan yang luar biasa indah. Di sini, Ollie bertemu sahabatnya Layla dan juga Peter, pria yang telah mengisi hati Ollie selama setahun lebih. Dari pertemuan inilah, Ollie memperoleh pemahaman baru akan makna bahagia.

Kebahagiaan bukan berada di suatu tempat, bukan juga berada di tangan orang lain, tetapi kebahagiaan itu ada di dalam diri sendiri. Menjadi bahagia itu pilihan. Dan hanya kita yang bisa mengambil pilihan itu, dengan segala konsekuensinya (hal. 128).


Pengalaman tak kalah berharga dirasakan Ollie saat berkunjung ke kota Almaty, Kazakhstan. Kehadiran Ollie di kota ini adalah sebagai pembicara dalam Tech Forum Central Asia 3. Ollie mengajar tentang kekuatan sosial media untuk mengubah dunia juga untuk berbagi cinta. Dikisahkan, seorang muridnya yang bernama Jamal, benar-benar terinspirasi dengan materi yang diberikan Ollie dan menjadi tersemangati untuk belajar menulis.

Kisah Ollie berlanjut lagi ke Alexandria. Dalam perjalanannya mengunjungi Karnak Temple dan Bibliotheca Alexandrina seraya merenungkan kisah cinta tragis antara Marc Anthony dan Cleopatra, Ollie terus dihantui pertanyaan besar dalam benaknya akan makna cinta yang sesungguhnya. Pertanyaan yang kemudian mengantarkannya pada keputusan yang tak kalah besar terkait hubungannya dengan Peter.
 
Karnak Temple (sumber : http://www.ancient-egypt-book.com)

Cerita perjalanan Ollie akhirnya bermuara di New York. Tempat yang menurut pengakuan Ollie, menjadi tempat sebenarnya dari perjalanan spiritualnya. Siapa menduga, spiritualitas dan energi Ollie bisa terbangkitkan di kota ini, dan cara pandangnya terhadap hidup bisa berubah, justru saat dipicu oleh gerakan dansa salsa? Ah. Saya tak akan menguraikannya di sini. Kalian sebaiknya membacanya sendiri untuk menemukan relevansi antara gerakan salsa dan “kebangkitan” spiritualitas di dalam diri Ollie.

Selama bertahun-tahun lamanya, saya tidak pernah lagi membaca buku Ollie setelah novel Je M’appelle Lintang, Finding Soulmate for Mei, Alpha Wife dan Cinta. Jadi, saat membaca buku ini, saya merasakan kualitas tulisan Ollie telah melesat jauh dibandingkan novel-novelnya terdahulu.

Ollie dengan fasih dan jeli memotret beragam keunikan dari masing-masing kota yang dikunjunginya, lalu menyajikannya secara informatif tanpa mengabaikan unsur keindahan dalam bertutur.

Jujur saja, selama ini saya tidak begitu tertarik membaca buku travelling. Karena belum apa-apa, saya sudah terbayang akan isinya yang melulu memaparkan serba-serbi itinerary, tips-tips perjalanan dan tempat-tempat yang layak dikunjungi. All about travelling guide. Tak ubahnya sebuah peta perjalanan yang dinarasikan tanpa ada unsur-unsur yang menggerakkan perasaan. Dan buat saya yang tidak terlalu hobi travelling ini, informasi yang disajikan dengan cara semacam itu baru terasa menarik saat saya memang benar-benar berniat mengunjungi suatu destinasi.

Tetapi, Passport to Happiness bukan sekadar kumpulan cerita perjalanan biasa. Kemampuan Ollie dalam menulis fiksi dan nonfiksi, melebur dengan manis di dalam buku ini sehingga penuturannya terasa asyik dan menyenangkan untuk dinikmati. Beberapa kali deskripsi Ollie akan tempat-tempat yang dikunjunginya, mampu membuat khayalan dan keinginan saya melambung tinggi, bahwa suatu hari nanti, saya juga akan menjejakkan kaki di sana. Saya kutip salah satunya :

Aku terpukau saat kali pertama melangkahkan kakiku di lantai kayu perpustakaan ini. deretan buku sepanjang enam puluh lima meter dengan lemari setinggi rumah dua tingkat dan dua ratus ribu buku tertua di dunia, membuatku seakan berjalan di masa lalu. Saat ingin membaca, mahasiswa zaman dulu harus mencari buku dengan tangga berulir. Setelah mendapatkan buku yang mereka inginkan, mereka bisa membaca sambil memandang ke jendela besar yang menghadap ke taman hijau di luar gedung perpustakaan. Indah sekali! (hal. 23).


Sungguh, gambaran Ollie tentang Long Room di kota Dublin ini, membuat saya benar-benar ingin merasakan sensasi mencari dan membaca buku di perpustakaan tertua di Irlandia ini.

Beberapa kota dan tempat lainnya yang dikunjungi Ollie juga mengisi list keinginan saya, diantaranya adalah Trinity College, universitas tertua di Irlandia, Sungai Thames di London, Kota Alexandria yang menyimpan pesona magis tersendiri, dan tentu saja...kota Istanbul yang prianya tampan semua, hehe. Oh ya, ada satu tempat yang cukup berkesan buat saya di Kota Istanbul, yaitu Museum of Innocence. Museum yang menjadi saksi kisah cinta sejati antara Kemal dengan Fusun. Museum berisikan barang-barang yang dikumpulkan Kemal dan ada hubungannya dengan Fusun. Kisah cinta mereka ini sesungguhnya hanyalah fiksi belaka. Tetapi, kisah yang diwujudkan dalam bentuk museum berikut isinya, adalah sebuah cara inspiratif untuk menyampaikan pesan akan cinta yang obsesif dan penyesalan akan masa lalu yang tak mungkin terulang kembali.

Kumpulan cerita perjalanan Ollie ini juga menyingkap banyak fakta tentang kota-kota yang dikunjunginya, kultur dan karakter penduduknya, ciri khas dan destinasi yang menarik, yang selama ini terasa asing atau bahkan tidak pernah saya ketahui sebelumnya. Satu hal yang saya tangkap, bahwa Ollie adalah seorang pecinta buku, seni dan literasi. Ollie selalu meluangkan waktu untuk mengunjungi galeri seni, perpustakaan dan membeli buku yang mewakili karya sastra dari kota-kota yang ia kunjungi.

Dan tentu saja, penemuan makna hidup, cinta dan kebahagiaan yang diperoleh Ollie dari setiap kota yang dikunjunginya, menjadi nilai plus dari buku setebal 176 halaman ini. Ya. Inilah kumpulan cerita yang berhasil merepresentasikan sisi humanis sekaligus inspiratif dari sebuah perjalanan. Tak sekadar menyajikan pengalaman penulisnya, tetapi juga merangkum hasil perenungan, pengamatan dan pemikiran Ollie akan makna hidup sebagai hasil interaksinya dengan orang-orang, kultur dan lingkungan yang ia temui selama melakukan perjalanan.

Lembar-lembar buku ini, tak hanya menjadi saksi akan sekelumit perjalanan dan pengalaman hidup seorang Ollie, tetapi juga akan membuka mata kita bahwa melakukan perjalanan, akan mengantarkan langkah-langkah kita pada pengalaman-pengalaman yang sangat berharga, membuka wawasan kita terhadap hal-hal baru yang tak pernah kita ketahui, membuat kita lebih bersyukur akan nikmat Tuhan, juga mengajarkan kita akan makna hidup, cinta dan kebahagiaan.

Sebagai penutup, saya kutip beberapa kalimat inspiratif yang mewakili penemuan Ollie akan makna hidup, sepanjang perjalanannya di 11 kota di dunia yang terangkum dalam buku ini :

  • Bagiku happy ending adalah saat kita berbahagia dan berdamai dengan situasi, dilihat dari sudut pandang kita sendiri, bukan orang lain (Crossroads in Ubud, hal. 15).
  • Bukankah untuk ini puisi dituliskan? Untuk menyampaikan yang tak tersampaikan, dari rangkaian kata berangkat ke jiwa, dari hati langsung ke hati lewat media puisi (Dublin in Poetry, hal. 30).
  • Kindness is a universal language to express love (From Moscow with Love, hal. 42).
  • Menjadi bahagia itu pilihan. Dan hanya kita yang bisa mengambil pilihan ini, dengan segala konsekuensinya. Pertanyaannya, apakah kita sudah siap untuk menjadi bahagia? (The Colors of Love in Istanbul, hal. 128).
  • One day, when life brings you to a crossroad and asks you to choose, I hope you’re always choose the comfort of flow. (Pindah Hati di Alexandria, hal. 150).
  • Funny how love shows us path to love, when we open ourselves to new experiences (Last Dance in New York City, hal. 168).
Jadi, tertarikkah kamu menempuh cara serupa Ollie untuk mencari (makna) bahagiamu? Atau barangkali, telah kau lalui sebuah perjalanan berharga yang berhasil mengantarkanmu pada makna kebahagiaan itu?

Judul               : Passport to Happiness
Penulis             : Ollie
Penerbit           : Gagas Media
Tebal               : 176 hal
Tahun              : 2015

17 comments

  1. jadi pengen beli bukunya.. kayanya terasa ikut jalan2 :-)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya...deskripsi masing2 tempatnya bikin mupeng :)

      Delete
  2. Penasaran dengan bagian "perjalanan spiritualnya Ollie di New York". Perjalanan spiritual yang seperti apa dan apa efek yang kemudian terjadi setelahnya.

    ReplyDelete
  3. Ini kategorinya nonfiksi ya?
    Nonfiksi yg memikat nih kyknya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mbak. Nonfiksi yang asyik dibaca kaya bc fiksi

      Delete
  4. Waduuuh.. Makin ngiler deh sama bukunya... Pengin baca :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalo baca ntar tambah ngiler mau ke 11 kota itu yant hehe

      Delete
  5. Recomended ya Mbak? Hbis baca reviewnya ini jadi pengen baca..

    ReplyDelete
  6. abis baca reviewnya jadi pengen baca bukunya

    ReplyDelete
  7. walopun sempat gimanaaaaaa gitu dgn keputusan jeung Ollie yang tak lagi menngenakan hijab, tapi baiklaaaah, sepertinya novel ini emang super-duper-enligtening yak

    bukanbocahbiasa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini bukan novel mbak. Kaya memoar perjalanan gitu

      Delete