Support Me on SociaBuzz

Support Me on SociaBuzz
Dukung Blog Ini

RESENSI NOVEL RINDU : Lima pertanyaan, lima jawaban, lima keunggulan, lima refleksi kehidupan


Setiap perjalanan selalu disertai oleh pertanyaan-pertanyaan. 
Kisah ini adalah tentang pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ada lima pertanyaan yang dibawa oleh lima penumpang dalam kapal Blitar Holland. 

Sayangnya, lazimnya sebuah pertanyaan, maka tidak otomatis selalu ada jawabannya. Terkadang, tidak ada jawabannya. Pun penjelasannya. (hal. 222).

Tere Liye, adalah salah satu novelis produktif tanah air. Lebih dari sekadar produktif, novel-novelnya juga selalu membawa kebaruan, pencerahan, dan kualitas yang tak diragukan. Tak heran, jika novel-novelnya kerap meraih best-seller, dan beberapa judul telah pun diangkat ke layar kaca maupun layar lebar.

Kali ini, Tere Liye mengangkat sebuah kisah berlatar waktu tahun 1938, berawal dari berlabuhnya sebuah kapal uap bernama Blitar Holland milik perusahaan Belanda di pelabuhan Makassar, dengan tujuan mengangkut para calon jemaah haji menuju tanah suci. Perjalanan menunaikan rukun Islam kelima pada masa-masa itu, bukanlah sebuah perjalanan yang bisa ditempuh dalam waktu yang singkat. Dalam perjalanan yang memakan waktu berbulan-bulan tersebut, menyinggahi beberapa dermaga dan negara, ikut serta para tokoh sentral dalam novel ini : Ambo Uleng, Ahmad Karaeng, Daeng Andipati, Bonda Upe dan juga Mbah Kakung Slamet. Dari kelima tokoh inilah, lima pertanyaan besar akan terlontar. Pertanyaan-pertanyaan itu, adalah refleksi batin dari peristiwa yang mereka alami dan membayangi perasaan mereka dengan kegelisahan kronis : jejak masa lalu, kebencian yang kesumat, kehilangan belahan jiwa, cinta sejati, dan juga....kemunafikan.

Perjalanan menuju tanah suci yang menjadi “kendaraan” utama jalinan cerita ini, juga menjadi saksi atas serentetan peristiwa. Diantaranya, serangan tiba-tiba penjajah Belanda di pasar Turi saat kapal berhenti di Surabaya dan rombongan turun ke darat, mesin kapal yang rusak hingga perjalanan pun terancam gagal, serangan perompak laut, percobaan pembunuhan di atas kapal hingga penumpang yang dijebloskan ke sel karena dianggap hendak mengkhianati pemerintah Belanda.

Dengan semua kelindan konflik dan peristiwa itu, akankah perjalanan kapal uap Blitar Holland tersebut berhasil membawa para penumpangnya dengan selamat sampai ke tujuan? Lantas, apakah gerangan jawaban atas kelima pertanyaan besar tersebut?

Semuanya akan kita dapatkan dalam novel dengan desain sampul minimalis ini.
Usai menuntaskan novel ini, dalam hati saya spontan terucap : G-R-E-A-T!

Tak cukup sampai di situ, saya juga mengunggah gambar novel ini ke fesbuk, menuangkan ucapan saya ke dalam status, dan dalam sekejap, unggahan tersebut telah menuai puluhan opini. Sebagian yang telah membaca novel ini mengaku sependapat, bahwa ini memang sebuah kisah yang hebat.

Tentu, bukan tanpa alasan jika sebuah reaksi positif terlontar secara spontan. Untuk sebuah novel yang memerlukan proses panjang dalam menikmatinya, reaksi positif dari pembaca hanya akan terbentuk sebagai hasil akumulasi dari penemuan-penemuan terhadap elemen-elemen yang positif pula di dalamnya.

Setidaknya, ada 5 (lima) elemen positif yang dimiliki novel ini dan berkontribusi pada keunggulannya, yaitu :
1.      Deskripsi setting (latar)
Tak diragukan lagi, Tere Liye adalah seorang pencerita yang piawai. Deskripsi akan mekanisme kapal uap, suasana di dalam kapal dan kota-kota yang disinggahi, berhasil memvisualisasikan situasi pada masa itu menjadi begitu nyata dan meyakinkan.

Apalagi, cerita berlatar perjalanan dengan menggunakan alat transportasi laut masih terhitung langka dalam khasanah fiksi tanah air. Tak pelak lagi, novel ini berhasil mengenalkan sebuah “dunia” baru dalam benak pembaca meski latar waktu yang dipergunakan adalah masa lampau.

2.      Karakter
Seperti juga novel-novel Tere lainnya, kekuatan karakter menjadi kelebihannya yang cukup menonjol. Tere tak pelit menceritakan latar belakang setiap tokoh utamanya, mengembangkan karakter mereka dalam dialog, adegan dan narasi, hingga pembaca bisa dengan mudah memahami perasaan, pikiran dan pandangan para tokoh tersebut. Bahkan visualisasi tokoh tersebut masih tertinggal di dalam benak meski proses membaca novelnya telah usai.

Tere juga rajin menghadirkan banyak tokoh pembantu dengan tetap memberi porsi karakter yang pas serta berkontribusi terhadap jalinan cerita. Atau dengan kata lain, tak ada tokoh sampingan yang eksistensinya hanya sekadar tempelan.

Seperti di dalam novel ini, pembaca boleh jadi akan dibuat terpesona dengan sosok Ambo Uleng, sang pemuda Bugis yang pendiam, berpendirian teguh, berhati baik dan memiliki fisik serta mental yang kokoh. Atau terhibur dengan kehadiran Anna dan Elsa, dua bocah perempuan anak Daeng Andipati yang ditampilkan Tere sebagai bocah-bocah cerdas, usil dan periang. Atau juga gusar setengah mati dengan Sergeant Lucas yang mewakili karakter angkuh penjajah kompeni. Atau pun merasa hormat dengan sosok ulama Ahmad Karaeng yang di dalam novel ini kerap dipanggil gurutta.

3.      Cerita yang “bernyawa”
Bagi penggemar acara-acara kompetisi menyanyi di layar kaca, tentu tak asing lagi dengan komentar yang paling sering dilontarkan dewan juri terhadap performa kontestan yang tak hanya mampu bernyanyi dengan baik tetapi juga berhasil menyentuh perasaan.

Begitu pulalah halnya yang terjadi dalam novel ini. Tak sedikit adegan yang memancing keharuan bahkan air mata, meski Tere hanya sesekali menyelipkan kalimat-kalimat puitis untuk menggambarkan konflik batin para tokohnya. Tere lebih cenderung pada deskripsi dan narasi yang panjang dan denotatif. Namun saya yakin Tere tak alpa melibatkan perasaan dan emosi yang optimal saat menuliskannya, sehingga dengan teknik penceritaan yang tergolong general pun, sudah mampu memberi “nyawa” dan emosional yang kuat pada jalinan ceritanya.

4.      Pengemasan plot
Mungkin, pertanyaan bernada penasaran akan terlontar: dengan latar tempat yang nyaris seluruhnya terjadi di atas kapal, untuk sebuah novel setebal 544 halaman, tidakkah akan menyebabkan kejenuhan?

Di sini, Tere Liye kembali membuktikan kemampuannya sebagai penulis yang mumpuni. Tere berhasil mengikat rasa keingintahuan pembaca untuk terus membalik lembarannya dengan teknik yang lazim disebut the contract ataupun Chekov’s Gun. Yaitu teknik mengikat pembaca dengan cara memberi “janji” kepada pembaca untuk kemudian ditepati. Dalam novel ini, Tere kerap menyebarkan kalimat-kalimat janji tentang pertanyaan berikutnya yang bakal terucap, siapa pemilik pertanyaan tersebut dan kemudian menepati janji tersebut dengan memunculkan jawabannya pada bab-bab berikutnya. Teknik inilah yang akan mengikat pembaca untuk tak melewatkan detil sekecil apapun.

Saya kutip dua paragraph dalam novel yang menggunakan teknik ini :
“Malam itu, satu pertanyaan siap keluar di perjalanan besar itu. Bukan, itu bukan pertanyaannya, itu baru pengantarnya saja. Ambo Uleng masih menyimpan pertanyaan pentingnya. Dan dalam kisah ini, Ambo Uleng bukan pemilik pertanyaan ketiga, belum, masih ada satu penumpang lain yang akan bertanya lebih dulu sebelum kelasi pendiam itu.” (hal. 407)

“Tetapi ada satu hal yang tidak disadari kapten Philips. Ternyata ada masalah baru yang jauh lebih pelik dibandingkan ketimbang Sergeant Lucas. Masalah itu siap tiba di kapal Blitar Holland beberapa jam lagi. (hal. 516)

5.      Pesan moral
Inilah ciri yang melekat pada setiap novel Tere, yaitu bertabur dengan pesan moral dan kebaikan. Dan Tere, adalah penulis yang menyampaikan pesannya dengan cara meleburkannya dalam karakter dan perjalanan hidup para tokohnya juga dengan cara menasehati secara langsung. Untuk cara pertama, Tere selalu menampilkan tokoh utama dengan karakter idealis yang layak diteladani namun tetap memberinya kekurangan, sehingga penokohannya pun terasa nyata.
Siapa menduga, dibalik sosok pendiam dan teguh Ambo Uleng, tersimpan sepotong hati yang nyaris luluh lantak oleh cinta yang tak kesampaian?
Siapa mengira, dibalik kesuksesan Daeng Andipati, tersimpan dendam dan kebencian yang begitu dalam terhadap sosok yang semestinya dicintai dan dihormati?
Dan siapa menyangka, bahwa dibalik kelembutan sosok Bonda Upe, tersimpan jejak masa lalu yang sedemikian kelam?

Dari pertentangan-pertentangan inilah, Tere menampilkan konflik batin para tokohnya, untuk kemudian membawa mereka (dan juga pembaca) pada pesan moral yang disampaikan dengan cara kedua, yaitu menasehati secara langsung.

Untuk cara kedua ini, biasanya dilakukan Tere lewat tokoh cerita yang memang punya kapasitas untuk melakukannya. Seperti dalam novel ini, maka sang tokoh penasehat itu adalah Ahmad Karaeng atau gurutta, yang memang digambarkan sebagai seorang ulama dan penulis yang masyhur di Makassar.

Cara ini bukannya tanpa resiko. Sudah tak diragukan lagi, kalangan kritikus, penulis dan pembaca dengan jam terbang tinggi, menganggap “show don’t tell” adalah kriteria yang “wajib” dimiliki seorang penulis dalam penyampaian pesan, dan sebaliknya, cara menasehati, menggurui dan berkhotbah, bukanlah cara penyampaian yang dianggap matang dan terampil.

Sementara di lain sisi, bagi kalangan pembaca awam, cara menasehati dengan menyampaikan secara langsung terbukti masih bisa diterima. Masih terdapat golongan pembaca yang lebih suka untuk “digurui” dengan makna harfiah ketimbang memikirkan pesan-pesan yang disampaikan dengan cara tidak langsung, atau melalui retorika dan perumpamaan.

Agaknya, Tere menyadari benar bahwa pembaca novel-novelnya berasal dari kalangan yang beragam, dan kalangan pembaca awamlah yang menempati jumlah terbesar. Sehingga Tere pun memilih jalan tengah dengan tetap menggunakan kedua cara tersebut untuk menyampaikan amanat ceritanya secara terang dan jelas.

Selain 5 (lima) keunggulan diatas, terdapat beberapa poin dari novel ini, yang boleh jadi memberi celah ruang untuk dikritisi. Tetapi, celah-celah tersebut masih berada pada batas kewajaran dan toleransi, serta mampu “ditambal” oleh 5 (lima) kelebihan yang telah dijelaskan sebelumnya. Berikut penjelasannya:

Pertama – dari pelbagai sumber referensi, rata-rata menyebutkan bahwa perjalanan haji pada masa itu adalah perjalanan yang sangat sulit. Selain para calon jamaah haji harus membayar biaya sangat besar, mereka juga tidak mendapatkan fasilitas memadai selama perjalanan, bahkan tak jarang dicurigai akan melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda sepulangnya mereka menunaikan ibadah dari tanah suci.

Namun di dalam novel ini, digambarkan bahwa Blitar Holland adalah kapal uap yang dilengkapi fasilitas superlengkap, dan semua ABK harus melayani dan memperlakukan semua penumpang dengan sangat baik.

Agaknya, sedikit banyak novel ini cukup terinspirasi oleh film Titanic, film berlatar perjalanan menggunakan kapal yang paling fenomenal. Dalam film tersebut, kita dapat menyaksikan kemewahan fasilitas sebuah kapal pada masa itu dan bagaimana para penumpang kapal dilayani selayaknya tamu istimewa.

Asumsi ini diperkuat oleh adanya fakta tentang Titanic yang turut disertakan Tere dalam novel ini : “Kapal mesin uap paling dikenal zaman itu adalah Titanic. Sejak dibuat di galangan kapal Belfast, Irlandia, hingga tenggelam karena menabrak es di hari kelima pelayaran perdananya tahun 1912, kapal ini sudah dikenal di seluruh dunia.” (hal. 110).

Jika ada peristiwa dalam novel ini yang relevan dengan fakta berdasarkan beragam sumber, maka itu tercermin pada interaksi antara Sergeant Lucas dengan Ahmad Karaeng. Sergeant Lucas mencurigai dan menuduh Ahmad Karaeng sebagai pembawa dan penyebar paham menentang pemerintah Belanda, sehingga ia pun memata-matai Ahmad Karaeng. Juga kisah tentang serangan tiba-tiba perompak laut dan kerusakan pada mesin kapal. Kedua peristiwa ini, adalah peristiwa nyata yang kerap menghantui perjalanan calon jamaah haji pada masa itu.

Kedua – sebagai penulis produktif, sulit dihindari terjadinya repetisi karakter. Sosok Ahmad Karaeng dalam novel ini sangat dekat dengan sosok Pak Tua dalam novel Tere berjudul Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah. Karakter Ambo Uleng juga seperti merupakan pecahan dari karakter-karakter yang disematkan Tere pada tokoh pria utama dalam novel-novelnya yang lain.

Ketiga – repetisi juga terjadi pada pengulangan adegan yang cukup sering saat gurutta atau Ahmad Karaeng meminta makan di tengah malam kepada kelasi yang masih berjaga di kantin. Namun dari sisi lain, hal itu mungkin sengaja dilakukan Tere untuk mencerminkan tabiat orang tua yang kerap mengulang-ulang perbuatan atau perkataan, dan kebiasaan itu pun tak luput dilakukan oleh orang tua sekelas Ahmad Karaeng. 

Keempat – masih tentang repetisi, bahwa empat dari lima pertanyaan dalam kisah ini, menjadikan Ahmad Karaeng sebagai muara solusinya. Jadi saat pertanyaan itu terlontar, Ahmad Karaeng-lah yang bertindak sebagai juru nasehat, dan nasehat itulah yang kemudian menjadi jawaban atas pertanyaan tersebut. Untungnya, Tere cukup berhasil menyelamatkan situasi ini dengan mematahkan “kesempurnaan” Ahmad Karaeng, dimana pertanyaan terakhir datangnya justru dari sosok Ahmad Karaeng sendiri, dan jawaban dari pertanyaan itu pun diperolehnya dari sosok yang tak disangka-sangka.

Berikut kutipannya : “Gurutta mendongak, menatap langit-langit ruangan. Lihatlah ya Rabbi, betapa menyedihkan dirinya. Orang yang pandai menjawab begitu banyak pertanyaan, sekarang bahkan tidak berani menjawab pertanyaan diri sendiri. Ia menulis tentang kemerdekaan, tapi ia sendiri tidak pernah berani melakukannya secara konkret.
Tapi malam itu, kelasi yang pendiam itu berhasil mencungkil keluar pertanyaan tersebut. (hal. 532).

Sebuah novel yang baik – buat saya – adalah novel yang mampu memperkaya pikiran dengan informasi dan pengetahuan baru, memperkaya jiwa dengan nilai-nilai perenungan dan inspirasi, juga memperkaya pemahaman terhadap makna hidup. Dan novel ini, saya akui, mampu melakukannya dengan nyaris sempurna.

Kebencian, kehilangan, cinta sejati, kemunafikan dan dosa masa lalu. Kita mungkin pernah mengalami satu, dua, tiga atau bahkan kelima hal tersebut dalam hidup, dan saat ini masih terus menghantui hidup kita tak ubahnya bayang-bayang.

Kisah ini, boleh jadi adalah refleksi dari segelintir perjalanan hidup kita. Kisah yang akan menggiring pada perenungan, bahwa semua pertanyaan yang dihadirkan Tuhan dalam hidup,  pada hakikatnya adalah bukti kasih sayangNya, “mendidik” hambaNya untuk berjuang menemukan jawaban, dan perjuangan itulah yang akan me-metamorfosis sang hamba menjadi lebih baik. Inilah sesungguhnya rahmat dan “hadiah” dariNya, yang jauh lebih bermakna ketimbang hadirnya jawaban itu sendiri.

Sebagai penutup, saya kutip salah satu jawaban Ahmad Karaeng dari pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kepadanya : “Biarkan waktu mengobati seluruh kesedihan. Ketika kita tidak tahu mau melakukan apalagi, ketika kita merasa semua sudah hilang, musnah, habis sudah, maka itulah saatnya untuk membiarkan waktu menjadi obat terbaik. Hari demi hari akan menghapus selembar demi lembar kesedihan.
Dalam Al-Quran, ditulis dengan sangat indah, minta tolonglah kepada sabar dan shalat. Dalam situasi tertentu, sabar bahkan adalah penolong paling dahsyat. Dan shalat, juga penolong terbaik tiada tara. Sungguh beruntung orang-orang yang sabar dan senantiasa menegakkan shalat.”(hal.472).

Anda penasaran dengan jawaban-jawaban lainnya? Hanya ada satu cara untuk menemukannya, yaitu dengan membaca novel ini. Barangkali satu, dua, atau kelima jawaban tersebut, adalah juga jawaban yang anda cari-cari selama ini, untuk menuntaskan pertanyaan besar yang masih menggelisahkan jiwa anda hingga hari ini.

Judul                  : Rindu
Penulis              : Tere Liye
Penerbit            : Republika
Tebal                 : 544 hal        
Terbit                : Oktober 2014


16 comments

  1. Review yang amat super lengkap mbak.
    Sukaa :D
    Tapi tentang Mbah Kakung yang lancar pendengarannya saat Gurutta menasihati bukannya sudah dijelaskan ya, bahwa karena situasi sepi, maka ia tidak kesulitan mendengar. Lagi pula pendengarannya kurang hanya kadang-kadang saja kan Mbak (ada penjelasannya kok) :D

    ReplyDelete
  2. Selalu suka novel Tere Liye. Wah ini paling anyar ya mba...

    ReplyDelete
  3. Sepertinya saya akan suka novel ini... Soalnya saya suka Rembulan di Wajahmu yang juga bermain2 dgn pertanyaan. Nice review mba...good luck!

    ReplyDelete
  4. Wow! Aku mau bilang ini adalah resensi yang panjang tapi bernas, berisi, dan berilmu. Aku baru membaca satu buku Tere Liye yaitu buku pertamanya Hafalan Salat Delisa, buku pertama yang tulisannya masih mentah banget. namun membaca resensi ini, sepertinya Tere Liye sudah menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Mau beli ah kapan-kapan. Penasaran :D
    Nice banget mb Lyta, semoga menang ya mbak.

    ReplyDelete
  5. Kritis sekali seperti biasa.
    Hanya ada yang aneh ... di daerah kami (Makassar) tak ada itu nama Ahmad Karaeng, itu tak lazim. Yang lazim itu Karaeng Ahmad. Karaeng itu gelar bangsawan Makassar.

    Nama Daeng Andipati juga aneh. Tidak lazim di sini ada "Andi" yang nempel dengan nama belakangnya. Kalo ingat ada tokoh perempuan yang terlibat masalah itu ... anggota apa ketua KPU ya namanya Andi Pati .... nah itu baru cocok .. itu pun perempuan. Jadi nama Andi Pati itu biasanya nama perempuan dan orang Bugis - bukan Makassar (Bugis dan Makassar adalah dua suku berbeda - walau serumpun). Dan kata Daeng di depan Andipati .... rasanya kurang pas. Karena kata Daeng tidak disebut oleh sembarang orang (kalo Bugis), biasanya yang menyebutkan gelar Daeng dlm budaya Bugis itu adalah yang dekat/akrab dengan orang yang bersangkutan. Sementara kalau dalam budaya Makassar, sapaan Daeng itu bisa saja disebutkan oleh siapa pun .... hm ... sepertinya di sini juga letak kekurangannya. Seharusnya penulis lebih berhati2 lagi dalam hal ini.

    Btw, ini resensi yang keren ... lengkap sangad :)

    ReplyDelete
  6. Belum baca buku ini, baru masuk antrean. Jadi belum bisa sepenuhnya komentar. Kritik pertama akan terjawab dari siapa sebenarnya para pengguna kapal tersebut. Dan apakah kapal tsb memang tujuan Makkah-Madinah, atau kapal jurusan Eropa yg 'hanya mampir' di kawasan Arab? Klo kalangan high class yg dekat dengan Belanda, ya memang nyaman perjalanannya. Banyak kok referensi yg menyebutkan perjalanan nyaman pada kapal2 kelas satu milik orang kaya Eropa.

    ReplyDelete
  7. @Mugniar: saya juga merasa aneh dg nama2 itu... hehe

    ReplyDelete
  8. Sama Mba Mugniar. Iya agak aneh nama2nya meski belum baca novelnya. Karena saya orang bugis dan dipanggil Daeng sm keluarga.

    Selalu suka sm resensi Mba Lyta.. tulisan yg cantik dan manis ^^

    ReplyDelete
  9. cakeeep.. bukunya menyajikan ilmu yg bagus.. meresensinya jg mampu mengambilkan ilmu2 dalam bukunya dengan gambalng.. gutlak mbak ria :)

    ReplyDelete
  10. mantep reviewnya...

    mungkin tere liye terinspirasi dr captain philips jg :D

    ReplyDelete
  11. blitar holland :D
    penasaran. makasih mbak :)

    ReplyDelete
  12. resensinya kereeeeeen. bikin saya penasaraaaan, sukses bingit. Moga mendapatkan yang terbaik ya mba :)

    ReplyDelete
  13. keren sekali saya mau baca nih ..hahaha

    ReplyDelete
  14. Ugh..harusnya baca review ini setelah baca novelnya. Diriku baru sampai halaman 82, Mbak (>_<)
    Tapi jadi tertrik untuk tahu tentang pertanyaan-pertanyaan itu

    ReplyDelete
  15. masih penasaran banget dengan buku ini, dan masih tetap penasaran dengan cara menulis tere liye yang sederhana tapi tepat sasaran.

    ReplyDelete