Support Me on SociaBuzz

Support Me on SociaBuzz
Dukung Blog Ini

Kenapa Saya (suka) nonton Indonesian Idol? (part-1)



 Malam final Indonesian Idol 2014 udah lama berlalu. Dan saya, termasuk penonton yang nyaris nggak pernah miss untuk nonton acara ini sejak pertama kali diadakan. Hanya saja, nggak setiap tahunnya saya nonton mulai dari awal. Pada beberapa even, saya hanya nonton pas udah babak-babak akhir doang.

Sebelum even ini digelar di Indonesia, saya juga udah setia ngikutin even ini di negeri asalnya, yaitu American Idol. Tetapi sejak jurinya Simon Cowell cabut, saya nggak nonton lagi. Tahu deh kenapa, rasanya nih acara jadi kurang greget setelah ditinggal juri yang komentarnya pedes banget ini.


Simon Cowell
Trus, kenapa sih suka nonton acara beginian? Kalo ditanya apakah karena saya suka musik? Suka sih, tapi juga nggak banget-bangetlah. Artinya, sehari nggak denger musik juga, saya nggak ngerasa ada yang kurang dalam hidup saya, tsahh.

Pingin tahu nih alasan saya? Pertama, karena di dalam acara ini ada unsur kompetisinya. Terlepas soal voting-voting yang juga bisa dicapailewat cara yang kurang sehat,  acara beginian nggak hanya bikin saya terhibur pas lihat pesertanya nyanyi, tapi juga ada unsur deg-degannya. Beda dengan nonton video clip doank, kesannya ya lempeng-lempeng aja.

Kedua, setelah saya terjun bebas ke hobi nulis nih, saya jadi demen nyimak komen dewan jurinya. Karena nurut saya, selalu relate dengan aktivitas nulis. Mungkin karena keduanya sama-sama mengandung unsur karya, kreativitas dan seni kali ya. Tapi jangan tanya soal penghasilan pelakunya ya, jelas beda jauhlah, hehe.

Trus, komen macam apa emangnya, yang relate dengan aktivitas nulis?

Saya bagi dalam beberapa part deh ya catatan ini. Sebenarnya sih pingin nulis begini setiap habis even berlangsung per minggunya, tetapi berhubung kelarnya nih acara udah malem banget, besok paginya saya juga udah lupa apa yang mau ditulis :p

  1. Jadilah dirimu sendiri dengan karaktermu sendiri
Ini komen yang paling sering diucapin Ahmad Dhani. Dan juri satu ini sepertinya memang yang paling apresiatif sama orisinalitas peserta. Biar aliran lagunya nggak biasa, contohnya aja nih, kalo dari Idol yang baru lewat, seperti style-nya Yuka si blasteran Jepang, dan termasuk Husein juga kali yaa, walaupun musik metal juga penah digdaya jaman-jaman saya abege dulu, tetapi kalo untuk di even Idol, ya baru ini deh metal bisa “mentas” lagi. Apa pengaruh performa Husein-nya juga kali ya? Saya nggak pinter ah ngebahas soal ini :)

Foto profil biodata Husein Alatas Indonesian Idol 2014
Husein Alatas
Yuka
 
Kita balik ke topik aja deh ya. Komen ini relateable kok dengan dunia nulis. Ketika kita menulis sebuah novel misalnya, yang bikin karya kita beda dengan penulis lain ya karakter spesifik yang bisa kita munculkan dan kuatkan.

Coba deh lihat di tobuk, ada berapa banyak novel populer yang mejeng di rak? Berapa banyak pula penulis yang saat ini bermain di genre romance or teenlit misalnya? Diantara lautan buku dan genre ini, satu hal yang bisa bikin penulis tampil beda atau bahkan menonjol, ya si karakteristik orisinil itu tadi. Jadi ketika ada temen yang nanya, ini buku karya si A bagusnya dimana? Yang udah baca akan bilang, oh si A itu tulisannya bla3x. Kalo buku si B? Nah, kalo si B ini bla3x.

Coba deh kalo si penulis nggak punya karakteristik khusus yang “nempol” di ingatan pembaca, mungkin jawaban si pembaca yang ditanya ya : so-so deh, kaya’ novel pop yang lainnya juga gitu deh. Nah lho?

Trus, cara kita mengetahui karakteristik kita gimana dong?

Ini jawabannya relatif deh, nurut saya. Rata-rata penulis, biasanya belum bisa mengetahui karakteristik mereka yang menonjol di awal-awal menulis. Tapi dalam beberapa kasus, terdapat beberapa penulis yang langsung bisa “mentas” dengan karakter mereka yang kuat pada karya perdana, bahkan bisa menjadi pelopor yang gaya tulisannya coba-coba diikutin ama penulis-penulis lainnya. Sebut saja deh kaya’ Kang Abik, Andrea Hirata, Dewi Lestari,dll.

Nggak sedikit juga, penulis yang pada masa awal-awal menerbitkan buku, masih terinspirasi oleh gaya tulisan penulis favoritnya. Jadi ketika baca bukunya, kita seperti diingetin dengan tulisan milik siapa gitu.

Tetapi, seiring waktu, biasanya karakteristik ini akan muncul dan menguat perlahan-lahan. Apalagi di jaman medsos begini, respon pembaca sedikit banyak bisa mempermudah identifikasi ini. Tinggal lagi bagaimana kita mempertajam sensitivitas  kita terhadap identitas tersebut dan juga menajamkannya agar menonjol. Salah satunya, ya harus dengan rutin nulis. ibarat pisau, makin diasah ya makin tajam.

Kalau belum ketemu juga? Jangan pesimis dulu. Kita masih bisa membuat “identitas” pada konten dan unsur tulisan kita. Kalo untuk novel, bisa lewat tema, penokohan, gaya tulisan, dsb, dan konsistenlah dengan itu. Ada penulis yang konsisten dengan setting luar negeri, ada yang konsisten dengan genre suspense, ada juga yang konsisten dengan style bertutur yang humoris, dsb.

Bagi yang udah baca minimal tiga biji novel saya, biasanya udah bisa-lah menyimpulkan karakteristik novel-novel saya seperti apa. Tapi nggak perlu saya bocorinlah, saya serahin aja ke pembaca untuk menilai karya saya dan membentuk persepsi mereka terhadap tulisan saya itu seperti apa.:)

Next part: seorang penyanyi harus bisa nyanyi apa aja dan nggak boleh egois.
Nah, yang ini rada berlawanan lho dengan komen yang pertama. Kalo yang pertama nyuruh konsisten,yang ini nyuruh fleksibel. Gimana tuh? Tunggu aja deh yaa ;)


2 comments

  1. Wah, analisa yang cakeeep. analogi ke dunia menulisnya juga daleeeem.
    Ternyata bersambung, bisa jadi satu buku nih kakaaaa, xixixixiii

    ReplyDelete
  2. qiqiqi, tengoklah, mudah2an rajin ngelanjutinnya, hihi

    ReplyDelete