Support Me on SociaBuzz

Support Me on SociaBuzz
Dukung Blog Ini

Resensi Altitude 3676 Takhta Mahameru : Harmonisasi keindahan alam, kultur dan pencarian kebenaran







Sinopsis                      :
Mengejar jejak sebuah email, telah membawa Faras menjelajah satu tempat ke tempat lain. Dari Borobudur hingga Tanjung Bira. Hanya untuk mencegah luapan dendam sebuah hati yang merasa memiliki sepuluh alasan untuk membunuh ayahnya.

Namun, dengan sepuluh alasan pulalah, Raja Ikhsan, sang pendaki tangguh, akhirnya berhasil menguarkan dendam itu di puncak Mahameru. Dan, di altitude 3676, ketinggian 3676 meter di atas permukaan laut, Raja Ikhsan tak sekedar menjumpai sebuah ketundukan, tetapi juga beningnya sebuah cinta dan keikhlasan.


Ini adalah satu dari sedikit novel yang luar biasa. Bagaimana tidak? Dalam rentang waktu yang berdekatan, novel ini berhasil meraih dua penghargaan nasional sekaligus, yaitu pemenang dua lomba Novel Republika pada tahun 2012, dan pemenang IBF Awards 2014 untuk kategori fiksi dewasa.

Kali pertama membaca novel ini dalam versi terbitan Republika yang berjudul Tahta Mahameru, jujur saja, saya kurang tertarik. Pertama, karena teknis EYDnya yang sangat mengganggu. Saking ingin taat aturan mungkin, sampai-sampai sebutan “lu” dan “gue” pun dicetak miring, ini tak termasuk cetak miring untuk kosakata lain yang bukan berasal dari bahasa baku. Dengan novel yang cukup banyak memuat dialog, suer deh, mata saya rasanya hampir juling membaca lembar demi lembar yang bertaburan kata dicetak miring. 

Belum lagi minus keterangan waktu dan diksi oleh pov 1 yang mirip-mirip, membuat saya harus berulang kali bolak-balik untuk recheck siapa yang lagi ngomong, dimana lokasi, dan kapan setting waktunya. Ujung-ujungnya, saya menyerah di halaman berapa, saya lupa. Novel bersampul warna biru muda itu pun hanya tersimpan di rak buku sampai tahun berlalu.

Awal tahun ini, saya dibuat takjub dengan kabar bahwa novel ini meraih penghargaan IBF Award, dan karena sudah dicetak ulang oleh penerbit berbeda, rasa penasaran saya pun muncul lagi. Dan ternyata, edisi baru dengan judul Altitude 3676 ini, jauh lebih bagus dari versi pertamanya. Tak ada lagi lembar-lembar yang penuh dengan italic word, keterangan waktu juga dibuat lebih jelas hingga saya tak lagi merasa kebingungan kapan waktu ditarik maju dan mundur. Suntingan yang lebih rapi juga membuat novel ini menjadi lebih enak dibaca dan dinikmati.

Diantara semua unsur fiksi yang terangkum dalam novel ini, tentunya, faktor latar tempatnya paling layak diacungi jempol. Pengalaman penulisnya yang hobi travelling tertuang dengan begitu indah, rapi dan detail dalam novel ini, dan tidak hanya sekadar menyajikan deskripsi tempat, Yana, demikian biasa penulis dipanggil, juga melengkapinya dengan kultur masyarakat setempat, salah satunya kultur masyarakat Bugis dan pembuatan pinisi. 

Ini juga yang menurut saya sesuatu yang luar biasa. Mengingat selama ini, kebanyakan penggila travelling dan backpacker yang bisa menulis, cenderung menuliskan pengalamannya dalam bentuk buku travelling, sebut saja diantaranya The Naked Traveller-nya Trinity dan Love Traveller Windy Ariestanty. Namun di sini, Yana justru menuangkannya dalam bentuk fiksi. Kalau dibilang ini karena Yana memang penulis fiksi, rasanya kurang beralasan juga, mengingat saya pernah membaca novel karya penulis lain yang juga lebih banyak menulis fiksi dan hobi travelling, namun novel berlatar travelling yang ditulis beliau tidak sedetil penuturan Yana dalam novel ini.

Selain itu, tentu saja, unsur filosofis, religius dan pencarian kebenaran oleh tokoh utamanya, alur yang rapi menjadi faktor keunggulan lain dari novel ini. Lantas, kira-kira faktor yang kurang unggulnya ada dimana ya?

Sebenarnya, rada-rada sungkan juga sih. Sudah jelas ini novel pemenang lomba bergengsi, kok ya masih punya faktor kurang unggulnya?

Jadi, apa yang berikut ini saya tuliskan, anggap sajalah hanya semata-mata faktor selera.

Dari segi dialog, terasa inkonsisten, kadang gaul, kadang puitis, dan lebih banyak yang terasa kaku. Walaupun ketiga tokoh utama novel ini – Faras, Mareta dan Raja Ikhsan – digambarkan berasal dari suku yang berbeda, namun saya kurang mendapatkan nuansa kesukuan yang tercermin lewat cara mereka berbicara. Saya gagal merasakan kalau Faras itu orang Jawa, saya juga gagal merasakan feel orang Jakarta dalam sosok Mareta meski dalam dialognya tokoh ini menggunakan lu dan gue. Meski demikian, selipan bahasa Bugis dalam dialog keluarga Aros cukup memberi warna kultur Bugis yang khas.

Alurnya juga terbilang cukup lambat menuju konflik, diksi Yana yang tidak terlalu spesifik dan sedikit "longgar", juga membuat beberapa bagian terasa monoton. Untungnya ini bisa terselamatkan dengan deskripsi latar tempatnya yang detil, indah dan dinamis.

Ada beberapa kebetulan yang sepertinya menjadi benang perekat dalam cerita ini, seperti pertemuan Faras dan Mareta disaat Faras memang tengah mencari Raja Ikhsan yang ternyata juga adalah abang tiri Mareta. Pertemuan Raja Ikhsan dengan Aros yang ternyata adalah adik Fikri sahabat Ikhsan yang wafat karena mempertahankan adat.

Untuk latar dendam raja Ikhsan, saya pikir, mungkin akan terasa lebih smooth, jika narasi dari pov Ikhsan tidak terlalu banyak, namun lebih fokus pada adegan dan dialog dari kejadian tersebut.

Ada sedikit inkonsistensi dalam ucapan tertulis Raja Ikhsan dengan karakternya. Di awal kerap kali disebutkan kalau dia sering terpana bahkan protes, tiap kali mendengar Faras bicara puitis dan menyebutnya dengan bahasa langit, ditambah dengan karakternya yang kasar saat bicara, namun di hal. 291-292, terdapat tulisan tangan Ikhsan di buku tulis yang sangat puitis. 

Saya kutip satu paragraph saja :
Musim pertanyaan. Sedangkan musim jawaban belum lagi tiba. Masih jauh serupa negeri di kutub paling dingin di selatan. Dengan apa kujawab sebuah tanya, kalau burung-burung pun bersembunyi dan tak bisa diajak berbicara.

Selain itu, saya akui bukan orang yang romantis, jadi sedikit banyak, saya merasa sedikit terheran-heran ada orang seperti Faras yang hafal banyak puisi Khalil Gibran dan bisa memosisikan pada momen yang tepat saat berhadapan dengan lawan bicaranya. Saya pikir, selipan puisi sang maestro ini akan terasa lebih natural jika tertuang dalam bentuk quote di awal bab atau bahasa tertulis seperti dalam email-email Faras dan Ikhsan.

Melihat kriminalitas yang dilakukan Ikhsan terhadap saudara dan ibu tirinya, jelas-jelas itu tergolong penculikan dan pembunuhan berencana, yang secara hukum masa pidananya berkisar lima belas hingga dua puluh tahun. Namun di sini, Ikhsan hanya diganjar dua tahun penjara, itupun masih mendapat pengurangan masa hukuman atas faktor sogokan sang ayah yang kaya raya. Okelah, anggap saja ayah Ikhsan memang konglomerat sekelas ARB atau yang lebih dari itu, hingga bisa membeli hukum di negeri ini dengan uang.

Dan, selayaknya novel-novel islami yang booming di era awal tahun dua ribu, novel ini pun masih menampilkan cara serupa dalam penyampaian pesan islaminya, yaitu melalui sosok “putih” bernama Faras, dengan semua karakter baik budi pekertinya dan nasehat-nasehatnya kepada Ikhsan, dan inilah yang mengambil peran penting terhadap perubahan seorang Ikhsan. Mungkin, novel ini bisa menjadi lebih “menantang” andai metamorfosis Ikhsan lewat kontemplasi, pengalaman dan perjalanannya jauh lebih dominan ketimbang lewat interaksinya dengan Faras dan nasehat-nasehat Faras.

Saya yakin, novel ini pasti menjadi oase buat para penyuka travelling, dengan nuansa perjalanannya yang sangat kental, indah dan dinamis. Ditambah unsur pencerahan dan pergerakan tokohnya mengatasi konflik dalam dirinya untuk mencari kebenaran, serta ending di Puncak Mahameru yang mendeskripsikan  Ke-MahaBesar-an dan Ke-MahaTinggi-an Sang Maha Pencipta yang sukses bikin saya merinding, menjadi elemen penting yang membuat novel ini memang layak juara.


Judul                          :            Altitude 3676 Takhta Mahameru

Penulis                        :            Azzura Dayana

Penerbit                      :            Indiva Media Kreasi

Tebal                          :            416 hal

Jenis                           :            Fiksi

Terbit                          :            Juli 2013

ISBN                          :            9786028277921


No comments