Support Me on SociaBuzz

Support Me on SociaBuzz
Dukung Blog Ini

MASIH INGIN JADI PENULIS (FIKSI) POPULER? :)

Gambar diambil disini


Aha, judulnya sengaja dibikin begitu :)
Jadi, udah bukan rahasia, melainkan udah jadi fenomena, kalau fiksi (novel) populer saat ini memang jadi penggerak roda industri (perbukuan). Di kota kecil saya aja, yang tobuknya juga kecil, mereka bahkan harus nyediain meja khusus untuk novel-novel beraroma Korea, sebelnya lagi, saking banyaknya novel-novel ini, di rak novel pun mereka pada berjejalan, menutupi novel-novel yang udah dipajang sebelumnya.

Di satu sisi, fenomena ini membawa angin segar, karena memberi kesempatan seluas-luasnya untuk setiap orang untuk menjadi penulis, tetapi, di sisi lain, hal ini turut berefek pada kualitas. Ketika buku menjadi bagian dari industri, maka unsur marketingnya pun menjadi nggak kalah penting (atau lebih penting?). 

Apa yang lagi digemari, itulah pasar yang diserbu beramai-ramai. Waktu AAC booming, nggak terhitung berapa banyak novel yang judulnya pake embel-embel Cinta, drama Korea booming, wah sampe ada penerbit yang khusus hanya nerbitin novel beraroma Korea.

Maaf, opini saya mungkin sedikit berbeda, terhadap fakta bahwa sastra tempo dulu jauh lebih berkesan dan lekang di ingatan ketimbang sastra masa kini. Saya akui, sastra masa lampau punya kekuatan yang nggak dimiliki karya-karya sekarang, mungkin, karena sastrawan jaman itu belum terkontaminasi hal-hal lain selain murni untuk berkarya. Sehingga jangankan setiap kalimat, bahkan setiap goresan kata yang mereka tulis pun seakan memiliki power.

Tapi, harus pula diingat, bahwa jumlah sastrawan jaman itu sangat terbatas, jadi karya mereka sangat mudah diidentifikasi dan memiliki keabadian yang panjang. Berbeda dengan masa ini, masa dimana semuanya serba massal dan instan. Banyak jumlahnya, cepat pula berakhir keabadiannya. Dan, ke-instan-an ini juga terkait erat dengan keterlibatan buku sebagai industri.

Maka, sedikit banyak penulis-penulis yang telah “jadi” pada masa sebelum lahirnya socmed, di mata saya cukup beruntung, terutama bagi mereka yang berhasil membentuk brandingnya. Kalo boleh menyebut beberapa nama sebagai representasi setiap genre, Mira W dengan roman-roman dewasanya, Hilman dengan serial lupusnya, Asma Nadia dengan fiksi islaminya, dsb. Sehingga ketika orang menuju tobuk, buku yang mereka bawa pulang ya karya penulis itu lagi itu lagi. Nggak banyak pilihan geto lo :)

Tapi sekarang, wuihh, nggak tahu deh udah berapa ratus jumlah penulis fiksi populer dan berapa ribu karya populer yang lahir. Hal ini jugalah yang kemudian membuat personal branding seolah menjadi barang “wajib” bagi penulis buku populer dewasa ini. karena untuk menjadi spesifik / prolific dan menonjol ditengah lautan (industri) buku populer dewasa ini, memerlukan usaha yang tidak ringan, sementara bagi penerbit, mereka lebih memilih penulis populer yang memiliki branding karena segmen pembacanya sudah jelas. 

Maka, dengan disupport oleh fasilitas socmed yang gratis, beragam cara dilakukan penulis buku populer untuk mempromosikan karyanya dan meraba-raba cara yang tepat untuk membranding dirinya. Hal ini juga melahirkan fenomena penulis-penulis selebtwit dan seleb fesbuk, bahkan nggak sedikit penulis yang dilibatkan pada acara-acara “semi-seleb” seperti talkshow, jumpa penulis, atau yang lebih intelek seperti bedah buku, seminar dan training.

Ketika ditanyakan kepada para penulis-penulis (buku) populer ini apa yang mendorong mereka melakukan hal itu? Tentu, ujung-ujungnya pasti nggak terlepas dari soal materi (atau plus popularitas?) selain keinginan positif untuk berbagi. Toh promosi dan branding juga bagian dari usaha me”laris”kan buku. Yang nggak promo-promo, bisa jadi sellingnya sepi, tapi ada juga yang bernasib baik, karyanya tetap laris tanpa harus repot-repot bernarsis ria di socmed. Yang sibuk promo-promo, harus siap nebelin kuping kalo ada yang ngerasa jenuh dengan promo-promo gratis “yang namanya juga usaha” itu.

Lalu, kalo ditanyakan, apakah dari sisi materi, perolehan penulis2 buku populer ini sebanding dengan kenarsisan mereka saat berpromosi?

Saya nggak mau mengiming-imingi atau mematahkan semangat. Yang jelas, bagi yang udah nerbitin buku, pasti tahulah, hehe :)

Nah, kalo sekadar menyorot sisi materi belaka, di luar sana, ada segolongan penulis yang nggak perlu repot-repot berpromo ria, atau membranding diri, tetapi penghasilan mereka bisa berkali lipat dari penulis buku populer. Siapa mereka?

Bambang Trim mengkategorikan mereka sebagai penulis jasa, termasuk di dalamnya copywriter, ghostwriter, penulis skenario, dsb termasuk juga penulis-penulis buku ajar dan buku antimarketing (ini istilah dalam buku Agus M. Irkham).  Seorang penulis skenario konon dibandrol minimal satu juta per episode sinetron stripping, disediakan tempat khusus dan fasilitas mobile, tim ghost writer seperti dalam sebuah wawancara teve, mengungkap rata-rata mereka menangani proyek penulisan hingga ratusan juta per naskah. Dan ini saya yakin bukan omong kosong. Sebagai gambaran, setiap tahun salah satu institusi pemerintah daerah di tempat saya selalu menggunakan jasa konsultan untuk menggarap penulisan dokumen-dokumen tertentu, dan total nominalnya bisa mencapai tiga ratusan juta per dokumen.

Tetapi, ada perbedaan sangat signifikan antara penulis jasa dengan penulis buku populer, diantaranya dari sisi eksistensi, aktualisasi dan kepuasan diri.

Ah, rasanya saya nggak usah berpanjang-panjang membahas tentang eksistensi, aktualisasi dan kepuasan diri ini ya, karena saya yakin, orang yang telah menjadikan menulis sebagai passsion-nya, pastilah menganggap ketiga hal ini adalah yang paling utama, dan tetap dapat menikmatinya tanpa peduli berapa nominal – entah banyak entah sedikit, entah berlebih atau kekurangan - yang menunggu kita di luar sana   :).

So, masih ingin menjadi penulis buku populer? :)



3 comments