Support Me on SociaBuzz

Support Me on SociaBuzz
Dukung Blog Ini

THE DEADLINE BRINGS ME HERE


Hari ini, saya mampir di blog mbak Windy Ariestanty, dan menemukan satu tulisannya yang berjudul "Tenggat Waktu". Jujur, saya terkesan dengan tulisan ini, dan beberapa bagian dari tulisan ini, saya setuju.
Mbak Windy bilang, kalau deadline-lah yang membuatnya memiliki pencapaian-pencapaian, dan tak dapat membayangkan hidupnya tanpa deadline.



Saya merasakannya. Dulu, saya tak pernah punya target khusus dalam menulis. Yang penting tulisan saya kelar. Mau kelarnya kapan, saya nggak ambil pusing, karena namanya juga baru belajar nulis. Sekitar tahun 2006, pertama kali saya mencoba belajar menulis novel. Saya tulis tangan di buku nota. Saya menulis kapan saja dan dimana saja sesempatnya. Sambil menunggu mama yang lagi opname di rumah sakit, sambil liburan ke rumah mertua, hanya satu yang tidak saya lakukan, nulis nyambi kerjaan kantor, sesuatu yang justru saya lakukan sekarang, haha *tidak untuk ditiru*.

Lalu, saya baru mengetik di komputer sesempatnya juga. Dan, setiap kali menulis, yah, namanya juga baru belajar, setiap kali pula saya hapus, jadinya kalau misalnya saya nulis 20 hal, besoknya bisa separuhnya saya hapus karena tulisan saya terasa aneh. Jadi kapan selesainya? Wallahu 'alam.

Hal ini terus berlangsung sampai novel duet perdana saya terbit, Tarapuccino. Novel yang baru lahir setelah setahun saya menulisnya. Cukup lama ya? Yah begitulah, namanya juga nulis tanpa target waktu.
Lalu, tahun 2010 saya berkenalan dengan fesbuk, juga berkenalan dengan audisi antologi. Disini jugalah, pertama kalinya saya menjalani hari-hari berpindah dari satu deadline ke deadline berikutnya. Ya. Jujur saja, waktu itu saya sempat terseret euforia antologi. Setiap ada audisi antologi, nggak peduli siapa penyelenggaranya, asal temanya cocok, saya ikuti.

Alhamdulillah, ada hasilnya juga sih. Saya jadi punya banyak kenalan penulis dan penulis wanna be seperti saya, nama saya sempet nyangkut di beberapa antologi, tapi kalo urusan royalti, ya emang lumayan juga...lumayan dikit maksudnya, hehe, sebagai perbandingannya, dari sekitar 20an antology yang nama saya ikut nyempil, ada yang terbit major ada yang indie, ada juga yang free-royalti, kalo ditotal semua royaltinya, masih dibawah DP 1 (satu) buku solo, hehe.

Sekitar tahun 2011, adalah pertama kali saya berkenalan dengan deadline yang lebih serius. Ketika novel Hati Memilih masuk finalis kompetisi Gagas Media, lalu diterbitkan oleh Bukune, dalam proses revisinya saya hanya diberi waktu 3 (tiga) minggu. Setelah Hati Memilih terbit, beberapa bulan kemudian, penerbit request novel lagi, saya diberi deadline 3 bulan, dan dari deadline ini, lahirlah novel Yang Kedua. Bahkan untuk revisi Yang Kedua lebih singkat lagi, saya hanya diberi waktu 3 hari, dan waktu itu, saya mengerjakannya dalam kondisi baru usai melahirkan.

Tahun 2012, ternyata saya kembali dihadapkan pada deadline yang bukan hanya serius, tapi kalau orang di tempat saya bilang, itu "kerje gile". Pada waktu bersamaan, saya mendapat request menulis novel - ada juga yang saya tulis sendiri diluar request, untuk ikut lomba - yang masing-masing jatah deadline nya hanya 1,5 - 3 bulan. Totalnya waktu itu ada 5 novel yang saya tulis. Alhamdulillah, semuanya selesai tepat waktu.

Saya kutip tulisan dari blog mbak Windy:
"Persoalan deadline adalah persoalan persepsi. Saya percaya itu. Deadline bisa menjadi momok, juga bisa menjadi pelontar yang membawa kita ke batas yang mungkin kita sendiri tak percaya. Sebagian lagi menganggap ini target."

Saya setuju. Saat menjalaninya, deadline memang terasa menyeramkan, tetapi deadline jugalah yang membuat saya menyadari, bahwa ketika kita yakin kita mampu menyelesaikannya, insya Allah kita akan menyelesaikannya. Inilah yang disebut persepsi. Dan manusia sesungguhnya punya kekuatan yang ia sendiri tak pernah mampu menduganya.

Alhamdulillah, 3 dari novel yang ditulis pada masa superhectic itu sudah terbit, 1 sedang cetak, dan 1 masih dalam antrian. Saat menengok ke belakang, sungguh, saya tak pernah menyangka kalau hari ini saya bisa sampai di garis ini.  Bahkan dua tahun lalu, batas keberanian saya hanyalah memimpikan bisa menerbitkan 1 (satu) buku per tahun.

novel-novel saya (2011 - 2013)

Ke depan, andai usia saya masih dipanjangkan olehNya, saya tidak tahu deadline seperti apa lagi yang bakal menanti. Yang jelas, terlepas dari semua hal-hal yang terasa menekan, dari deadline jugalah, saya belajar banyak hal, saya belajar untuk memotivasi diri meski saya tak pernah menghadiri workshop kepenulisan, saya belajar untuk lebih dewasa, dewasa dalam mengendalikan diri untuk tak mudah panik, belajar mengatur waktu dan disiplin, belajar mengurai writer's block dalam waktu cepat, juga belajar untuk fokus. 

Saat ini, saya sedang ingin rehat sejenak, memberi waktu untuk diri saya terbebas dari deadline-deadline superketat. Saya memang sedang tidak menulis satu novel pun. Tetapi, bukan berarti saya benar-benar "bebas". Rasanya malah ada yang kurang, saat tidak berkejaran dengan deadline. Walhasil, saya pun mulai beralih pada beberapa lomba blog, sekalian untuk penyegaran.

Ya. Barangkali  saya memang sudah kecanduan deadline, hehe, atau sang deadline secara diam-diam sudah menyatu bak aliran darah dalam hidup saya? Entahlah. Yang jelas, saya menikmati adrenalin yang mengalir saat mengejar deadline, saya menikmati hal-hal luar biasa saat deadline berhasil teratasi, saya merasakan euforia saat melihat hasilnya, dan seberapa besar pun kebencian saya terhadap deadline, saya akan tetap merindukannya.

4 comments

  1. Menarik. :)
    Menulis tanpa ada deadline rupanya malah membuat karya tidak kunjung selesai, ya. Intinya mesti punya target. *dicatat
    Terima kasih sudah sharing, Mbak. :)

    ReplyDelete
  2. Inspiratif banget tulisan ini mbak Lyta. Like it ;)

    ReplyDelete