Support Me on SociaBuzz

Support Me on SociaBuzz
Dukung Blog Ini

KRITIK YANG 'JUJUR', BERANI?

Hari itu, saya melihat pengumuman lomba resensi sebuah buku yang hadiahnya sangat 'wow', berupa gadget dan hadiah-hadiah lainnya. Jujur, saat memutuskan untuk membeli bukunya, saya melakukannya karena ingin mengikuti lomba tersebut dan lumayan tergiur dengan hadiahnya.

Tetapi, saat saya mulai membacanya lembar demi lembar, ada gelisah yang bergolak di dalam hati saya, ada banyak hal dalam buku tersebut yang menuntut saya untuk bicara jujur, tidak seperti resensi-resensi lain untuk buku tersebut yang pada umumnya serba baik-baik belaka. Saya tak ingin berprasangka, kalau resensi-resensi yang serba baik itu memang ditujukan untuk kepentingan lomba, bisa jadi, yang tertangkap oleh mereka ya memang demikian adanya.


Akhirnya, saya lupakan bayangan akan hadiah gadget, saya turuti nurani saya untuk bicara apa adanya, meski resensi itu - atas masukan beberapa teman yang menganggapnya terlalu tajam - sempat saya rombak sampai tiga kali sebelum mendaftarkannya pada panitia lomba.

Dan, sesuai dugaan saya, resensi saya itu sukses kalah, tetapi di sisi lain, saya lega, saya tidak kecewa, karena saya bisa menulis resensi sesuai kata hati. Toh dengan belasan resensi lain yang serba memuja-muji, apalah artinya satu resensi saya yang bicara apa adanya? Lagipula, pembaca jaman sekarang sudah cerdas, saya yakin mereka punya pertimbangan yang baik saat memutuskan untuk membeli sebuah bacaan dan melakukan penilaian tanpa harus terpengaruh opini orang lain.

Saat ini, jujur, saya selalu khawatir setiap kali hendak meresensi sebuah karya. Resensi-resensi yang saya ikutkan dalam #31hariberbagibacaan akhir-akhir ini pun, hanyalah catatan-catatan lama yang saya revisi sedikit, saya buang bagian-bagian yang terlalu tajam. Saya khawatir, kalau resensi saya tidak bisa diterima oleh penulisnya, karena saya juga seorang penulis, dan bisa merasakan betapa beratnya proses menulis itu.

Saya sudah melalui banyak kritik yang serba tajam dan pedas, karena semua karya saya terdaftar di GRI, tempatnya para pembaca bisa berkomentar apa saja untuk karya-karya kita yang mereka baca, dan karena sudah cukup sering, Alhamdulillah, kian hari saya kian kebal, hehe. Tapi, tentu saja bukan kebal yang masa bodo, melainkan kebal untuk menahan emosi saat membaca kritik sepedas apapun lalu menjadikannya pembelajaran untuk "modal" menulis buku selanjutnya. Tapi, tentu saja nggak semua penulis punya ilmu kebal. Alih-alih bisa berkembang, sebagian justru merasa tersilet dan "terbunuh" saat ditempa lewat kritikan.

Dan untuk jujur dalam meresensi, sepertinya saat ini saya ingin sedikit mengerem diri. Kalau ada buku yang saya baca benar-benar nggak terasa klik buat saya, lebih baik saya diamkan saja. Biarlah menjadi tugas para kritikus saja, atau para pembaca murni, untuk menyampaikan kritik mereka dalam versi sejujur dan sepedas apapun.

Hari ini, saya membaca berita tentang Malala Yousafzai, seorang aktivis rmaja Pakistan berusia 16 tahun yang gigih mengkampanyekan hak-hak pendidikan untuk anak perempuan. Dia bicara jujur tentang kondisi anak-anak perempuan di negaranya melalui blog. Dan atas kampanyenya itu, ia pernah tertembak di kepala. Namun hari ini, kegigihannya membuatnya berhasil meraih penghargaan Hak Asasi Uni Eropa.

Saya mungkin belum sejujur dan seberani Malala, meski itu hanya sebatas kejujuran dalam mengkritisi karya. Meski sejauh ini, niat saya hanya satu, agar pada karya selanjutnya, penulisnya bisa berbenah. Saya sadar, saya tinggal di negeri yang "ramah-tamah dan menyenangi basa-basi", bukan negeri yang terbiasa dengan sesuatu yang lugas dan apa adanya. Negeri yang lebih menyenangi kebohongan yang manis ketimbang kebenaran yang pahit. Sehingga 32 tahun lamanya berhasil dininabobokan dengan manisnya kebohongan, dan butuh waktu lama untuk bangkit karena sulit untuk menerima betapa pahitnya kebenaran itu.

Ah, mulai ngelantur saya :D Lalu, apakah saya tetap akan jujur saat meresensi? Jawabnya, iya. Hanya saya akan belajar cara menyampaikan yang lebih baik, jika tidak bisa, lebih baik saya diam. Lebih baik saya membenahi karya-karya sendiri dulu sebelum berniat membenahi karya orang lain, karena niat baik pun belum tentu baik pula penerimaannya, hehe.





12 comments

  1. Kalo buku yg itu, aku gak mau ikutan lombanya, mba :-)
    Mengkritik memang gak mudah, klo buat aku. Kecuali bukunya bener2 enggak banget hehe...

    ReplyDelete
  2. Aq orangnya suka penasaran, untuk yg lomba itu, bukan penasaran sama bukunya, tapi koq bisa keren hadiahnya? Wkwkwk. Tapi resensi yg itu malah masuk popular post di blogku, pdhl biasanya yg masuk popular post GA2 doank, hihihi

    ReplyDelete
  3. Tentang Malala Yousafzai, cari beritanya yang berimbang mpok. Tadi pagi saya baca tautan yang dishare sama Fatih Seferagic, ttg surat terbuka pimpinan Taliban terhadap Malala. Jauh bertolak belakang dengan 'kejujuran' Malala selama ini mpok. :)

    ReplyDelete
  4. kejujuran itu kadang pahit, tapi yang pahit itu biasanya obat, dan obat katanya menyembuhkan... eh malah saya ikut nglantur. tapi pas di lanturanmu tadi, i like it hehehe

    ReplyDelete
  5. pintar memilah aja mba, kalau buku tsb merusak generasi WAJIB hukumnya kita resensi sesuai dengan kondisi si buku agar pembeli aware, tapi kalau sekedar hal-hal kecil yang tidak membahayakan, dan bertujuan membangun, maybe bisa diperhalus, dikritik membangun, dicermati bagian yang juga bagus. Jadi ketika membaca penulis akan memiliki jiwa maju walau sdikit sedih. bukan down dan berniat menaruh penanya ^_^

    ReplyDelete
  6. rizki : iya pernah baca juga sekilas ttg Malala, lagi males aja nh cari link-nya, hny mengyubungkan dgn keberaniannya, intinya, kalo emang si Malala kejujurannya berpihak or pro tertentu, dia berani sampe segitunya, harusnya kita yg gak berpihak berani juga dunk ya ngomong apa adanya

    ReplyDelete
  7. Jujur itu pahit, tapi obat yang paling manjur...

    Lagi blogwalking

    ReplyDelete
  8. Berkunjung! Begitu buka dashboard blogger-ku, sederet panjang postingmu menghias di sana, haha... suka banget melihat keaktifanmu ngeblog :-D

    ReplyDelete
  9. saya malah gak bisa meresensi mba... harus banyak belajar dulu :)

    ReplyDelete
  10. thank you Senyum, Santi, mbak Eni udah mampir
    Yeni : itu kemaren utk battle challenge resensi, skrg udh nyerah, haha

    ReplyDelete
  11. Membaca tulisan mbak, mengingatkan saya tentang Kiera Cass, pengarang dari The Selection (Amerika) yang nggak bisa nerima kritikan pedas & tajam dari pembaca.

    Dia dan mangernya menjelek-jelekkan pembaca itu dan berniat untuk voting semua komentar positif di Goodreads untuk memendam komentar pembaca yg populer tersebut. Selain itu dia juga pernah meminta tolong pada semua orang yg membaca bukunya untuk memberi komentar positif. Karena itu ia menjadi tidak disukai oleh orang-orang baik yg membaca bukunya maupun tidak.

    Sekedar cerita mbak, moga bermanfaat bagi pembaca dan author-author lain :)

    ReplyDelete