Support Me on SociaBuzz

Support Me on SociaBuzz
Dukung Blog Ini

RESENSI NOVEL LABIRIN RASA : SEBUAH LABIRIN KE”BERANI”AN






Judul               :           Labirin Rasa
Penulis            :           Eka Situmorang-Sir
Penerbit         :           Wahyumedia
Tahun             :           2013
Hal                  :           394 hal

Sinopsis          :
Berawal dari rasa stres Kayla Ayu sang gadis tomboy atas nilai semester kuliahnya yang jeblok dan kekecewaan orang tuanya, Kayla lalu berlibur ke tempat kakek neneknya di Yogyakarta. Di dalam kereta, Kayla berkenalan dengan seorang pria tampan bernama Ruben. Di kota ini juga, Kayla mendapat “pesan” tersirat dari almarhum kakeknya tentang akan hadirnya seorang Pangeran Fajar dalam hidupnya. 
Dari tempat ini, petualangan Kayla pun berlanjut ke beberapa destinasi wisata di tanah air. Dalam petualangan itu, Kayla juga sekaligus melakukan pencarian sang Pangeran Fajar, yang mempertemukannya dengan beberapa pria tampan lain selain Ruben, yaitu Dani, David, dan Patar, serta seorang gadis lesbian bernama Chyntia.
Lalu, berhasilkah Kayla menemukan sang Pangeran Fajar, dan siapakah gerangan sosok tersebut?


Sisi positif novel ini adalah tampilnya deskripsi objek-objek wisata di tanah air yang menjadi tempat persinggahan Kayla mulai dari Yogyakarta, Malang, Bali, Lombok, Makassar hingga Medan, dalam penceritaan yang cukup detail, sesuai dengan hobi penulisnya yang penyuka travelling. Penuturan yang ringan dan lincah serta diselingi humor membuat novel ini cukup menghibur. Juga adanya quote-quote manis di setiap awal bab turut memberi warna yang romantis. Saya kutip salah satunya :
“Jatuh cinta itu nggak perlu rumus. Cukup dua hati yang berpendar penuh rasa.”

Di luar hal tersebut, sebagai sebuah novel pertama dari penulisnya, novel ini benar-benar tampil “apa adanya” sebagai sebuah novel pertama, ditandai dengan typo yang bertebaran, inkonsistensi penggunaan lo-gue-aku-kamu, pilihan karakter mainstream untuk para tokoh pria yang serba tampan, gagah dan seksi, tertukarnya sebutan nama tokoh Ruben dan Patar (hal.259), ritme plot dan alur yang labil, juga proses chemistry antar tokoh yang tiba-tiba. Semua unsur yang tentunya masih dapat berproses menjadi lebih baik.

Lantas, sesuai judul resensi ini, di mana letak ke”berani”an novel ini?

Bahwa sejak redupnya era sastra wangi, menjadi sebuah ke”berani”an saat menampilkan novel ini dengan meloloskan kosakata-kosakata dan adegan sensual yang sebenarnya hanya layak ditampilkan pada novel dengan label novel dewasa, dan bukannya label populer seperti novel ini. 

Satu pertanyaan, jika semua kosakata tersebut bisa tampil “bebas”, meski tidak diikuti oleh pendeskripsian yang bebas juga untuk merujuk pada masing-masing maknanya, kenapa kosakata f**k yang kurang lebih berkonotasi sama, masih memerlukan bintang-bintang saat dituliskan dalam novel ini?
Andai ke”berani”an ini dimaksudkan untuk menghidupkan kembali sastra wangi dalam tampilan yang lebih pop dan segar, maka dengan pilihan kata dan pola deskripsi adegan-adegan tersebut dalam novel ini, justru yang terbentuk adalah visualisasi film komedi lokal layar lebar yang menampilkan setting tempat yang indah, para aktor pria tampan, artis wanita seksi dan sederet adegan sensual sebagai jualan. Dan untuk masa ini, dengan telah beragamnya novel roman yang beredar, sepertinya butuh riset dan investigasi pasar, untuk menguji apakah novel-novel semacam ini masih bisa meraih pamornya.

“Sayang”nya, eksplorasi ke”berani”an dalam konten novel ini tidak didukung oleh eksplorasi ke”berani”an dalam kemasan. Kenapa tidak sekalian saja memasang stempel novel dewasa pada back cover sebagai pengganti stempel populer, atau mengganti judul Labirin Rasa menjadi Labirin Gairah, serta didukung pula oleh cover sepasang pria dan wanita yang saling bermesraan? Setidaknya, ke”berani”an ini menunjukkan pertanggungjawaban holistik terhadap konten, dan memberi kejelasan kepada pembaca segmen mana dan khalayak mana, novel ini pantas ditujukan. Karena bagaimana pun, terlepas dari sisi hiburan yang dimiliki oleh sebuah novel, ada misi lain yang juga semestinya menjadi perhatian para pihak, yaitu memberi hiburan pada batas usia yang sesuai.

Resensi diikutkan dalam Lomba Book Review Labirin Rasa







3 comments

  1. Wow.... novel harlequin-Indonesia ya, Mba? :D

    ReplyDelete
  2. stempel novel dewasa 17 tahun keatas.. jd yang beli kudu bw surat nikah dulu :D supaya aman

    ReplyDelete
  3. Paragraf terbawah perlu diperjelas agar tidak 'rancu'. Sikap peresensi sebenarnya bisa terbaca dari sindiran yang agak paradoksal. Tetapi karena kalimatnya bermajas, bagi orang-orang tertentu justru agak terbaca sebagai sikap setuju si peresensi :-D

    ReplyDelete