Support Me on SociaBuzz

Support Me on SociaBuzz
Dukung Blog Ini

Bab 1 - Camelia

Dalam proses revisi sebuah novel, ada bagian yang ditambah dan dikurangi itu biasa, dengan tujuan agar seluruh cerita bisa bergerak secara utuh, efektif dan harmonis. Nah, kalo sesudah tayangan film atau sinetron, kita terkadang disuguhkan tayangan yang di-cut karena ada kesalahan-kesalahan pengambilan adegan di dalamnya, maka di sini saya juga akan memuat bagian cerita yang di-cut dari novel saya yang sudah terbit. Bagian yang nggak akan ditemui pembaca dalam versi bukunya namun masih tersimpan dalam versi aslinya pra-revisi.

Nah, untuk yang di bawah ini, adalah isi Bab 1 dari novel Hati Memilih (masih dengan judul awal Camelia) yang udah di-cut alias nggak kepake. Yuk yang lagi suntuk boleh baca : :)

----------------------------------------------------------------------



Baru jam delapan. Malam masih muda. Papa dan mama pada jam-jam ini biasanya baru tiba di rumah. Lalu mereka berdua akan mengaso sejenak, dan mama yang kemudian akan menggedor pintu kamarku untuk mengajak makan malam bersama, dengan hidangan yang mereka beli saat mampir di restoran cepat saji. Berhubung mamaku adalah wanita karir yang sangat menghargai quality time, maka baginya kebersamaan di meja makan  jauh lebih berharga ketimbang menghabiskan waktu dengan bersibuk-sibuk di dapur.
Jika Ady adik satu-satuku yang super duper aktif itu sedang ada di rumah, maka acara makan malam kami akan komplit. Masing-masing saling berbagi cerita di meja makan, tak peduli apakah makanan yang dibeli itu enak atau tidak. Terlalu pedas atau kemanisan. Terasa asin atau hambar. Pas semua bumbunya atau malah terlalu ekstrim.
Diantara kami bertiga – aku, Ady dan papa - hanya papa, satu-satunya makhluk di rumah yang berani protes jika makanannya kurang enak. Sedangkan aku dan Ady, AMAT SANGAT jarang melancarkan protes, hingga papa menjuluki lidah kami berdua ‘lidah buaya’, tak bisa mengenal mana makanan enak dan mana yang tidak. Ujung-ujungnya papa akan meminta mama untuk memasak sendiri, karena sebenarnya, masakan mama jauuuh lebih enak.
Tapi itu dulu. Tepatnya setahun lalu, suasana kehangatan saat makan malam bersama masih kunikmati, sebelum lembaran putih berstempel Conoco Company itu ‘memerintahkanku’ untuk segera mengepak pakaian  dan memindahkan separuh isi lemariku ke apartemen Paman Fuad.
Bagaimanapun, aku tetap merasa beruntung. Tidak setiap tahunnya perusahaan gas alam cair itu memprogramkan beasiswa pascasarjana. Paling banter hanya sebatas bantuan uang kuliah beberapa semester di perguruan tinggi lokal. Dan bersama dua puluhan orang yang lolos, kudapatkan satu kursi magister akuntansi di universitas swasta yang menjalin kerjasama dengan Conoco itu.
Hm. Iseng aku memutar-mutar arloji yang terasa longgar di pergelangan tanganku. Tak terasa, genap setahun, telah kutinggalkan acara makan malam bersama mama, papa dan juga Ady. Rutinitas yang semula masih kerap menghantuiku dengan rasa kangen. Apalagi, dalam setahun ini, aku nyaris tak pernah pulang. Meski jarak penerbangan Jakarta – Tanjungpinang hanya butuh waktu kurang dari dua jam, tetap saja aku merasa lebih penting untuk berhemat, hemat uang dan hemat waktu.  Jadi tak perlu heran kalau masa studi pendek yang diprogramkan untuk delapan belas hingga dua puluh empat bulan, menjadi pilihanku saat mengisi formulir paket setelah ujian semester pertamaku berakhir. Tahu kenapa? Ssst, jangan dulu bilang pada paman Fuad kalau sesungguhnya aku sudah lama tidak betah, dan berencana untuk pindah ke kost-kostan saja.
Sebelumnya kuharap kau mau mendengar ceritaku dulu tentang kebiasaanku untuk nongkrong di balkon. Di rumahku dulu aku punya balkon persis didepan kamar tidurku. Bentuknya sebenarnya tidak terlalu istimewa sih. Nyaris tak ada bedanya dengan balkon biasa. Namun bagiku balkon adalah sepetak ruang privasi yang paling nyaman.
Karena disana, aku memiliki jendela pandang yang lebih luas saat menikmati suasana di sekeliling rumah, mulai dari lalu lalang para pejalan kaki, pedagang keliling, juga sesekali kendaraan roda dua atau empat yang melintasi jalan kecil depan rumahku. Sedangkan di malam hari, balkon menjadi tempat paling indah bagiku saat menikmati pemandangan di langit dengan bintang yang berkerlap kerlip dan sang bulan yang memantulkan cahaya matahari dalam bias warna yang putih lembut.
Ah. Jangan kau bayangkan aku duduk di balkon bersama pacarku. Aku melakukannya sendirian saja. Bertemankan alunan instrumentalia yang mengalir pelan melalui iPod, lalu membiarkan angin malam yang sejuk menerpa dan meredupkan kedua mataku hingga akhirnya aku sering menemukan diriku terbangun di tengah malam dalam posisi setengah berbaring dan menyelonjorkan kaki di atas kursi.
Tapi di apartemen paman Fuad ini, anehnya ukuran balkonnya hanya seupil. Tak sampai separuh ukuran balkon rumahku. Letaknya didepan ruang keluarga yang disesaki pula oleh tanaman bunga yang berjejer didalam pot. Tidak ada kursi untuk bersantai, dan tak seorang pun penghuni apartemen ini yang senang berleha-leha di balkon.
Maka, aku pun cukup tahu diri dengan menggantikan kebiasaanku itu dengan duduk di tepi jendela kamar saja. Kebetulan, ranjang kamar ini persis berada dibawah jendela, jadi hanya dengan menyilangkan kedua kaki dan meletakkan kedua tanganku di tepi jendela seraya menumpangkan dagu diatasnya, cukuplah bagiku untuk bisa menikmati pemandangan diluar sana yang tentu saja jauh berbeda dengan pemandangan depan rumahku dulu.
Paman Fuad adalah sepupu mamaku, istrinya bernama bibi Salma. Mereka berdualah yang telah menawariku untuk tinggal di apartemennya saat papa mengabarkan bahwa aku mendapat beasiswa untuk kuliah di Jakarta.
Sejauh ini, apa yang bisa kukatakan tentang paman Fuad dan bibi Salma, bahwa mereka sebenarnya sangat baik. Tapi tidak dengan keempat anaknya yang …. punya tabiat sangat buruk dan bertolak belakang, juga seringkali membuat ritme jantungku meningkat dan kepalaku berulang kali menggeleng-geleng meski tak ada suara musik dari headphone yang tengah menyumbat telingaku.
Tunggu! Sepertinya aku baru saja melihat sesuatu yang ‘menarik’. Sosok sepasang remaja yang masih mengenakan seragam putih biru dan berjalan bergandengan saat menyeberang jalan itu, tentu saja aku mengenalnya. Dia Anita, putri bungsu paman Fuad, bersama seorang cowok yang juga berseragam yang sama, dan ini bukan kali pertama aku memergoki mereka berjalan berduaan pada jam-jam begini.
Padahal usia Anita baru lima belas, tapi lihatlah! Sekarang ini sudah hampir jam sembilan. Setahuku seorang pelajar seperti Anita, dengan segala kegiatan ekskul yang seabreg sekalipun, tak semestinya pulang selarut ini. Tapi pada kenyataannya akulah yang selalu menjejakkan kaki di apartemen ini berjam-jam lebih dulu jauh sebelum kepulangan Anita.
Kedua remaja itu berhenti, persis didepan apartemen. Dan remaja pria yang tubuhnya sekurus tiang listrik itu perlahan membelai rambut Anita lalu mencium gadis itu – astaga - tepat di bibirnya!
Oke. Kau boleh bilang aku kampungan. Dan kau juga boleh menganggap kalau itu bukan lagi pemandangan aneh. Apalagi dilakukan oleh seorang gadis yang dibesarkan di kota metropolitan. Tapi tetap saja perbuatan mereka barusan membuatku sesaat tercegat oleh kekagetan yang akut. Tak pernah ada dalam sejarahnya, papa dan mama mengijinkanku berkeliaran diatas jam delapan malam dengan masih berseragam sekolah. Apalagi…berciuman!
Ting tong! Aku segera meloncat. Itu pasti Anita. Awalnya aku berniat untuk keluar kamar saja. Karena aku seringkali merasa tak nyaman jika harus mendengar dan menyaksikan apa yang dilakukan Anita setiap kali ia pulang sekolah. Mencampakkan tasnya begitu saja ke tempat tidur, membuka seragamnya, lalu membuka dan menutup lemari pakaiannya dengan cara membanting, terakhir.…menghidupkan televisi dan memutar musik di CD player bersamaan! Yeah. Telah setahun aku ‘menumpang’ di kamarnya, namun sampai hari ini ia seakan tak pernah menganggap aku ada.
Sampai hari ini aku bahkan masih dapat menghitung dengan jari berapa kali ia pernah berbicara denganku. Mungkin saja sesungguhnya ia merasa kesal atau muak dengan kehadiranku. Merasa tak rela saat satu bagian rak dari lemarinya harus ia sisihkan untuk berbagi denganku. Atau karena privasinya yang menjadi sedikit terusik saat aku juga tengah berada didalam kamar. Satu yang pasti, aku tak pernah sudi berbagi ranjang dengannya. Lebih baik aku tidur di lantai, diatas extra bed yang kutarik setiap malam dan kudorong kembali ke kolong tempat tidur di pagi harinya.
“Anita, darimana saja kamu? Malam sekali baru pulang?” Aku mengurungkan niat untuk keluar kamar. Suara paman Fuad terdengar lantang dan nadanya juga sama sekali tidak ramah. Kebiasaan Paman Fuad kalau sudah marah-marah, mengerikan! Sekurang-kurangnya kau akan mendengar lebih dari tiga kali bunyi barang yang pecah karena dibanting ataupun dilemparkan ke dinding. Dan dari volume suaranya barusan, firasatku mengatakan bahwa malam ini gendang telingaku akan kembali mendengar bunyi sesuatu yang pecah.
Aku tak mendengar jawaban Anita. Ia pasti tak berani menatap mata papanya yang saat marah akan mengilat seperti belati. Selanjutnya apa yang terdengar adalah suara paman Fuad yang terus meningkat, mengeras, bahkan sesekali berteriak. Aku tak begitu jelas mendengar semua yang ia katakan, tapi telingaku sempat mendengar ucapan ‘gadis liar’, ‘anak nakal’, ‘bunting’, ‘memalukan’, lalu ….praangg! Bunyi pecahan pertama.
Tak perlu menunggu lama untuk mendengar bunyi susulan berikutnya. Pecahan kedua, ketiga, terakhir…kudengar suara Anita yang mengaduh kesakitan. Mungkin saja Paman Fuad sudah menampar atau memukulnya dengan keras.
Pintu kamar terbuka, didorong oleh kekuatan penuh hingga membentur dinding dan Anita yang masuk dengan terisak. Aku masih bergeming saat Anita kemudian membuka lemari, meraih kimononya dan berlari keluar.
Sampai sekian menit berlalu akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari kamar. Diluar gelap. Lampu di ruang keluarga mati total. Aku tak bisa melihat apa-apa juga siapapun. Ini sudah menjadi kebiasaan Zai, anak tertua paman Fuad saat ia ada di rumah untuk memadamkan semua sumber penerangan hingga aku pernah menyangkanya seorang yang sangat terobsesi dengan suasana magis. Satu-satunya sumber cahaya saat ini adalah lampu yang bersinar kuning redup dari arah dapur.
Aku meraba dinding dan menekan saklar. Tampak olehku Zai yang tengah berselonjor di sofa dengan mata memerah. Warna mata yang menyerupai mata ikan busuk itu selalu membentuk asumsi di benakku bahwa pemiliknya tengah mabuk ataupun baru mengonsumsi sesuatu yang membuatnya serasa terbang ke nirwana. Tak kulihat paman Fuad. Mungkin sudah pergi atau masuk ke kamarnya. Terdengar suara shower dari arah kamar mandi yang letaknya persis di sebelah dapur. Itu pasti Anita.
Apa yang harus kulakukan sekarang? Berada di luar ataupun kembali masuk ke kamar, keduanya adalah pilihan yang sama-sama tidak menyenangkan. Tak terbayang olehku bagaimana harus berpura-pura tidur dengan seorang gadis belia yang tengah tersedu-sedu di ranjangnya seraya menyumpah serapah papanya atau justru menyetel volume CD playernya keras-keras seperti yang selama ini sering ia lakukan saat usai dimarahi habis-habisan.
Sementara makhluk bermata merah itu – Zai  - belum juga beranjak dari sofa. Ia bahkan meraih remote dan menghidupkan televisi. Dalam kebingungan hendak kemana aku menyeret langkah menuju dapur. Mengambil sebotol air dingin dari dalam kulkas, menuangnya ke dalam gelas lalu meneguknya sampai tandas.
“Mana dia?” Aku menoleh. Bibi Salma melongokkan kepala dari balik sekat dapur sebelum menampakkan diri seutuhnya didepanku. Ia mengenakan daster dan mengikat rambut ikalnya tinggi-tinggi. Pertanda bahwa ia tengah berada di kamar, mungkin juga tengah bersiap-siap untuk tidur sebelum peristiwa lemparan ‘UFO’ berupa piringan kaca yang melayang lalu pecah berkeping-keping saat menghantam dinding itu terjadi.
“Siapa, bi? Anita?” tanyaku, nyaris berbisik. Bibi Salma mengangguk. Aku menunjuk ke arah kamar mandi. Bibi Salma mendengus. “Biarkan. Anak itu memang bebal. Sudah berkali-kali dimarahi, tetap juga tidak mempan.” Ucap bibi Salma lalu meraih botol yang sama dan menuang isinya yang tinggal separuh ke dalam gelas.
Aku perlahan menarik kursi. Lampu di ruang keluarga telah kembali padam. Pasti Zai yang sudah mematikannya. Bunyi pintu kamar mandi yang digeser diikuti dengan Anita yang melangkah keluar tanpa menoleh padaku dan bibi Salma, membuat suasana redup  ini  sesaat terasa membeku di udara.
Brak! Kebekuan terpecah oleh bunyi pintu yang dibanting sangat keras. Diikuti oleh teriakan Zai yang memaki Anita.
“Kupikir sebentar lagi aku akan gila! Karena hampir semua penghuni rumah ini memang sudah begini,” ujar bibi Salma, sinis dan lantang seraya menyilangkan telunjuknya pada kening.
“Lihatlah! Yang satu hobinya mematikan lampu saja. Tak peduli kita tengah ada di rumah, tengah mengobrol atau menonton televisi. Yang seorang lagi menganggap rumah seperti hotel, datang hanya untuk mandi, makan dan tidur (ini omelan bibi Salma tentang putra kedua, Zein, yang memang paling jarang terlihat batang hidungnya), dan si perempuan pula, masih ingusan tapi tabiatnya sudah seperti betina jalang!”
Kalimat terakhir bibi Salma yang terucap dalam nada ketus itu membuat tarikan nafasku berhenti sesaat. Lidahku pun ikut menjadi kelu sehingga tak bisa berkata apa-apa selain hanya diam. Perlu kujelaskan disini kenapa bibi Salma sampai bicara sekasar itu. Karena ketiga anak manusia yang baru saja ia ceritakan dengan raut setengah frustasi itu, tak lain adalah anak-anak paman Fuad dari hasil pernikahannya yang terdahulu. Sejak pertama kali datang ke apartemen ini, seingatku mereka bertiga memang jarang sekali bersikap sopan, apalagi menghargai bibi Salma. (Oh ya, bibi Salma juga telah memiliki seorang anak sebelum menikah dengan paman Fuad, namanya Aida. Tentang Aida, akan kuceritakan kemudian).
“Dan kau lihat? Papa mereka sendiri tak kurang bebal! Bukankah hampir setiap malam anak gadisnya itu pulangnya malam terus, tapi yang bisa ia lakukan hanya memarahi dengan membabi buta! Lalu keesokan malamnya hal yang sama terulang lagi, dimarahi lagi. Hah! Sampai kapan mau begitu terus?”
Bibi Salma bangkit dari duduknya, membilas gelas minumnya di wastafel lalu meletakkannya kembali ke rak piring. “Kuharap kau jangan terlalu peduli. Dari dulu juga sudah begini. Beberapa kali aku mencoba menegur, aku malah diadukan anak-anak nakal itu pada ibunya. Mereka bilang aku ibu tiri yang jahat. Tapi yang kuherankan, tak satupun dari mereka mau tinggal bersama ibunya. Jangan-jangan, ayah tirinya jauh lebih galak dan menyeramkan daripada aku, hehe.”
Bibi Salma tertawa. Tak tampak lagi rona kemarahan di wajahnya. Memang, jika sudah mengobrol ataupun menumpahkan isi hatinya didepanku, bibi Salma biasanya akan kembali tenang, dan ia tampak merasa lebih senang bila aku ada di rumah. Mungkin, karena selama ini bibi Salma justru mengalami kesulitan pada saat mencoba bicara ‘baik-baik’ dengan para trouble maker itu, bahkan bibi Salma juga jarang ngobrol dengan Aida.
Tentang Aida – ah - menyesal sekali aku harus berkata jujur, bahwa putri tunggal bibi Salma ini, tabiatnya pun sesungguhnya tak jauh beda, bahkan dalam beberapa hal ia justru lebih parah dari Anita. Sepasang kakinya yang langsing dan selalu bergemerincing oleh bunyi rantai itu baru akan menjejakkan bayangan tubuhnya di muka pintu apartemen justru disaat semua penghuni rumah telah terlelap dan kegelapan telah sepenuhnya menyelimuti hari.
Pernah sekali, iseng-iseng kutanyakan pada bibi Salma mengapa Aida pulangnya larut malam terus, bibi mengatakan bahwa selain bekerja Aida juga masih melanjutkan kuliahnya di kelas karyawan yang jadwalnya khusus pada malam hari. Selain itu juga, karena Aida paling malas bertemu paman Fuad. Ya. Aku sendiri menyadari bahwa paman Fuad selalu memasang raut cemberut jika Aida ada di rumah bahkan jarang sekali mau mengajaknya bicara.
“Masih mau disini, Cha? Aku mau ke kamar dulu. Sudah ngantuk!” ujar bibi Salma seraya mengisi satu mug besar dengan air dingin untuk ia bawa ke kamar. “Ya, bi. Sebentar lagi aku juga mau masuk.” Jawabku.
Sepeninggal bibi Salma, aku kembali menuju kamar, tapi cepat berbalik lagi ke dapur saat dari balik pintu kamar kudengar suara musik dari CD player tengah diputar dengan volume yang sangat dahsyat.  Entah seperti apa gerangan kekuatan suara itu didalam kamar. Tidakkah Anita khawatir kalau gendang telinganya bisa saja kehilangan sensitivitas dan mendadak tuli?
Dan…bagaimana bisa kedua mataku terlelap di tengah keributan semacam itu? Satu hal lagi untuk kau ketahui, bahwa Anita, tergolong SANGAT parah dalam menjaga etika dan perasaan orang lain. Mungkin, itu disebabkan perceraian orang tuanya disaat usianya masih butuh bimbingan dan perhatian, atau mungkin juga, karena sebenarnya ia memang tak sudi sekamar denganku dan Aida, tapi, seharusnya ia masih cukup waras bukan? Untuk setidaknya mengecilkan volume musik dan mematikan televisi disaat aku akan tidur atau bahkan sedang sholat?
Lantas, bagaimana sekarang? Ikut menonton televisi bersama makhluk bermata merah yang hobi memadamkan lampu itu? Kurasa, ini alternatif yang lebih mengerikan. Siapa bisa menjamin kalau mata merah Zai hanya disebabkan ia kurang tidur dan bukan atas sebab yang lain?
Segera kutepis dugaan buruk yang mencoba berputar-putar di benakku sebelum dugaan itu membuatku bergidik. Bagaimana kalau mencari kesibukan saja di dapur? Kesibukan yang kumaksud tentu saja bukan acara beres-beres, karena dapur apartemen ini sudah sangat bersih dan rapi. Melainkan mencari kesibukan untuk menentramkan rongga dalam perutku yang telah kembali berteriak minta diisi.
Aku lalu mengambil buah apel dan pear dari dalam kulkas. Mengupas dan memotongnya seukuran dadu serta menyiramnya dengan plain yogurt. Lalu kuambil garpu, menusuknya satu demi satu, lantas mengunyahnya pelan-pelan  seraya merapatkan bibirku seakan-akan aku tengah melakukannya didepan kamera untuk sebuah iklan produk pelangsingan tubuh.
Dari dulu sudah begini. Berapa tahun sudah bibi Salma menjalani pernikahannya dengan paman Fuad, ya? Aku tak pernah tahu. Mama juga tak pernah cerita. Hm. Pernikahan terkadang menjelma begitu rumit. Dan betapa sabarnya bibi Salma menjalaninya selama ini.
Sedangkan aku, jujur, belakangan ini staminaku rasanya terus menurun. Aku jadi gampang pusing dan mengantuk. Semua pakaian yang kubawa sudah longgar semua. Oke. Aku memang tetap makan tiga kali sehari. Bedanya, disini aku jarang sekali makan nasi. Lengkap dengan lauk pauk dan sayuran yang dulu selalu tersaji secara rutin di meja makan rumahku. Ritme hidup kota metropolitan yang bergerak cepat akhirnya mempengaruhi alternatifku dalam memilih substitusi lain yang lebih praktis.
Tapi tetap saja tak menutup kemungkinan, bahwa masih ada faktor lain yang turut mempengaruhi perubahan itu. Maksudku, jika hanya sekadar mensubstitusi apa yang kita makan, itu tak seharusnya langsung menurunkan berat badanmu secara drastis, bukan? (believe me, I’ve lost 7 kg in a year!).
Jangan-jangan, suasana serba aneh di apartemen ini membuatku mengalami stress ringan tanpa aku benar-benar menyadari. Biarpun ringan namun efeknya ternyata paling cepat menyerang metabolisme tubuh dan kesehatan lambung.
Untuk kau ketahui, semua kejadian aneh yang kusaksikan di apartemen ini, tak pernah sekalipun terjadi didalam keluargaku. TIDAK SEKALIPUN. Bahkan terhadap Ady yang luar biasa jail dan hobi mengisengiku itu pun, aku tak pernah sampai memakinya dengan kasar, apalagi memukul, meski kemarahanku padanya sudah sampai di ubun-ubun.
Papa dan mama – seingatku - tidak pernah benar-benar bertengkar dihadapan kami. Betapa pintar mereka menyembunyikan permasalahan dan mengkondisikan suasana di rumah tetap senyaman biasa. Sesibuk apapun itu, mereka pasti menyempatkan diri untuk menikmati makan malam bersama aku dan Ady. Memanfaatkan waktu yang singkat namun penuh kehangatan itu untuk saling berbicara, bertukar pikiran dan mencurahkan uneg-uneg atas segala persoalan yang kami alami sepanjang hari itu.
Bisakah kau bayangkan itu? Dan wajar rasanya bukan? Jika aku telah lama menimbang-nimbang untuk pindah? Ya. Pindah. Secara diam-diam, tanpa sepengetahuan paman Fuad dan bibi Salma, sejak seminggu ini aku sudah bergerilya mencari kost-kostan yang tidak terlalu jauh dari kampusku.
Potongan terakhir buah pear meloncat masuk ke mulutku persis disaat Zai masuk ke dapur lalu menuang susu coklat ke dalam gelas bersama bongkahan es batu. Aku paling benci kalau para trouble makers ini tengah mengeluarkan es batu dari tempatnya. Karena bunyinya pasti ribut sekali. Seakan ada sekarung batu-batu kerikil tengah dituangkan ke atas lantai. Padahal pekerjaan sesederhana itu, sesungguhnya bisa mereka lakukan tanpa perlu mengeluarkan suara berlebihan bukan? Ah. Dasarnya pemicu keributan. Menuangkan es batu saja sudah memekakkan telinga dan membuat kesal setengah mati.
Segera kutinggalkan dapur, setelah mencuci piring buahku di wastafel dan meletakkannya kembali di rak. Syukurlah, lampu kamar Anita sudah redup. Tak ada lagi suara musik yang terdengar sampai keluar. Aku mendorong pintunya dengan hati-hati dan mendapati Anita yang sudah tidur tertelungkup bersama ponsel yang masih tergenggam erat di tangannya.
Aku lalu menarik extra bed dari kolong tempat tidur. Dalam sekejap aku sudah bergelung dibalik selimut. Angka 18’C adalah angka favorit Anita untuk suhu pendingin ruangan, lalu dengan ‘kejam’nya ia akan menyimpan rapat remote pengontrolnya dibawah bantal. Membuat tulang-tulang yang bersembunyi dibalik kulitku seakan tertusuk dengan tajam, oleh dingin yang menelusup dari permukaan lantai juga dari hawa yang berhembus dari kotak pendingin ruangan.
Rasanya aku baru saja terlelap saat telingaku mendengar bunyi pintu yang didorong. Meski kelopak mata terasa berat, kuturunkan juga selimutku untuk mengintip. Dan sepasang kaki jenjang itu, yang berbunyi gemerincing setiap kali ia melangkah oleh rantai emas mungil yang melingkari pergelangan kaki kanannya, tampak terburu saat masuk ke kamar dan langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Itu Aida. Dan itu berarti, bahwa saat ini sudah lewat tengah malam.
Tapi…Masya Allah! Apa ini? Hidungku mendadak sempit. Ya. Indera penciumanku tak mungkin salah. Ini bau minuman alkohol. Sangat tajam dan menusuk. Mengekspansi kamar sempit ini dan nyaris tak menemui celah untuk lolos.
Aku spontan bangkit dan duduk. Bau alkohol itu, jelas berasal dari tubuh Aida. Lebih tepatnya, dari arah mulutnya yang menganga sementara posisi separuh kakinya menjuntai hampir menyentuh lantai.
Sesuatu terasa mendesak keluar dari rongga mulutku. Aku segera melempar selimutku dan membuka pintu. Aku yakin ini bukan pertama kali Aida pulang dalam keadaan mabuk. Aku sudah sering menemukan tubuhnya di pagi hari dengan masih belum menanggalkan pakaian terakhirnya dan menggeletak begitu saja di sebelah Anita. Tapi baru malam ini, aku masih terjaga disaat ia pulang.
Kulihat lampu dapur menyala terang. Sayup terdengar bunyi orang sedang memasak. Siapa pula gerangan yang sibuk-sibuk di dapur tengah malam begini? Ini kan bukan bulan puasa?
Sekali lagi, aku sangat kaget. Meski tidak sekaget sebelumnya ketika bibi Salma menyebut Anita betina jalang. Di dapur, tampak Zai tengah mengiris-iris bawang diatas talenan. Tapi Zai tidak sendirian. Ia ditemani Lilian. Kekasih barunya yang kulihat rajin sekali bertandang kemari sejak akhir-akhir ini.
Aku tak melihat Lilian sebelum meninggalkan dapur beberapa jam lalu. Lantas, jam berapa dia datang? Atau, jangan-jangan Lilian sudah ada di kamar Zai ketika paman Fuad memarahi Anita.
“Belum tidur?” tanya Zai saat menyadari kehadiranku. “Belum. Mau ke toilet.” Jawabku, seraya mengerling ke arah Lilian. Gadis berwajah oriental itu tersenyum padaku. Aku tidak membalas, hanya mengangguk. Karena saat ini aku tengah sekuatnya menahan rasa mual, ingin muntah dan sakit perut yang muncul bersamaan. Membuatku sedikit tergesa saat menarik pegangan pintu kamar mandi, lalu….huekk!
Huh. Aku mengusap peluh yang mulai mengembun di keningku. Kenapa ‘musibah’ ini harus terjadi sekarang? Setelah bertahun-tahun lamanya lambungku tak pernah sekalipun bertingkah aneh-aneh namun kini ia harus mengeluarkan semua isinya hingga tak ada lagi yang tersisa selain hanya berupa cairan bening? Dan… kenapa harus berlangsung ditengah canda tawa dua sejoli yang sedang memasak bersama hanya dalam jarak beberapa meter saja dari kamar mandi ini?
“Hm, clever….”  “…….delicious.”  “Ups, the smell is good!” Dan masih ada sederet pujian spontan meluncur riang dari bibir Lilian ditingkahi bunyi spatula yang memukul wajan berbaur desis minyak goreng. Aku memijit-mijit tengkukku, juga mengelus-elus perutku yang semakin dielus justru semakin melilit. Baru teringat kalau sepanjang malam tadi, aku hanya mengisi perutku dengan selapis sandwich dan potongan buah keras bersiram saus dingin. Ditambah dengan sengatan aroma alkohol yang mengekspansi habis indera penciumanku juga saluran pencernaanku. Lengkap sudah semuanya. Aku nyaris limbung saat keluar dari kamar mandi.
“Hey, kamu sakit ya? Wajahmu pucat sekali.” tegur Lilian heran. Aku menggeleng lemah. “Tidak. Hanya masuk angin. Sebentar juga sembuh.”
“Perlu obat?” Kali ini giliran Zai yang bertanya.
“Tidak.” Aku menggeleng lagi. “Tapi…boleh aku pinjam…pewangi ruangan?”
Zai dan Lilian saling tatap. Wajah mereka saling memancarkan kebingungan. Cepat-cepat kujelaskan, “Ada bau kurang sedap di kamar Anita. Tapi Anita, juga Aida sudah tidur. Mudah-mudahan setelah disemprot, baunya bisa hilang.”
Zai mengangguk-angguk. “Tunggu disini, biar kuambilkan.” 
“Eh, tidak usah, biar aku saja. Nanti omeletmu hangus. Dimana letaknya?” Lilian cepat menyela. “Diatas lemari pakaian, disamping buku-buku tebal milik Zein.”
Sepeninggal Lilian yang segera menuju kamar Zai, aku duduk di kursi dengan perasaan canggung. Membayangkan seorang gadis masuk ke kamar pacarnya malam-malam buta begini, bulu kudukku langsung berdiri, apalagi jika suatu hari nanti melihat mereka tidur bersama seperti yang pernah dipergoki bibi Salma? Wajar saja kalau bibi sering mengeluh.
Zai telah selesai dengan omeletnya. Lalu meletakkannya diatas piring datar. “Kamu mau?” tawarnya. Aku menggeleng. “Tidak. Terima kasih.” 
“Itu pasti si Salju yang sudah pipis sembarangan. Anita memang pemalas. Tidak pernah lagi mengajari si Salju untuk membuang kotoran ke kamar mandi.” Ujar Zai, berulang kali menyebut nama si Salju, kucing peliharaan mereka yang adalah campuran antara kucing Angora dan kucing domestik.
“Itu bukan bau kotoran kucing. Tapi bau….” Ups! Hampir saja aku keceplosan, menyebut bahwa itu tak lain adalah bau minuman beralkohol. Untung, disaat bersamaan Lilian muncul di pintu dapur dengan menggenggam sebotol pewangi ruangan dan memberikannya padaku. “Terima kasih.” Ujarku, lalu cepat-cepat meninggalkan dapur.
Sesampai di kamar, aku segera menyemprotkan pewangi itu secara merata ke setiap sudut. Termasuk menyemprotnya juga ke tubuh Aida. Peduli amat. Toh Aida dan Anita, masih sama pulasnya.
Aku lalu meletakkan pewangi ruangan itu didepan pintu kamar Zai. Meski aku tahu bahwa pintu kamar Zai tidak terkunci, tapi aku tidak mau masuk ke dalam, seperti Lilian. Sama sekali diluar kebiasaanku untuk nyelonong masuk ke kamar orang lain tanpa minta ijin terlebih dulu.
Perlahan kurebahkan tubuhku diatas kasur seraya menarik nafas dalam-dalam. Aroma alkohol perlahan tersingkir oleh wangi lavender. Namun tidak demikian halnya dengan pikiran kusut yang masih saja berputar-putar didalam benakku. Kedua mataku, sialnya turut sepakat untuk enggan terlelap. Entah telah berapa menit terperangkap dalam buntu dan kebimbangan, sampai akhirnya kudengar bunyi pintu depan yang dibuka lalu ditutup dan dikunci. Itu pasti Zai dan Lilian. Sekali lagi bertingkah anomali dengan bepergian di tengah malam buta.
Aku menghela nafas. Berusaha memejam mata dan mengosongkan pikiran. Namun kesadaranku tak segera sirna saat satu demi satu adegan itu kembali berseliweran.  Anita, berciuman, piring pecah, Zai dan Lilian, Aida…..
Keputusanku bulat sudah. Setahun, rasanya tak mungkin untuk bertahan lebih lama dari ini. Aku harus segera pindah. ASAP.

4 comments

  1. kenepong kok dibuang mbak ? ini kan bagus bangett...

    ReplyDelete
  2. Kunjungan pertama di rumahmu mb :) Dicut sepanjang ini? Memang lbh enak yg versi setelah revisi ya mb hehe.

    ReplyDelete
  3. makasih mbak vanda dah mampir, iya, lebih enak yg vrs pasca revisi, ini masih mentah bgt yak :)

    ReplyDelete