Support Me on SociaBuzz

Support Me on SociaBuzz
Dukung Blog Ini

Dari Launching novel Love Catcher ; Saat Jiwa Saya Tak Berada Di sana

“Kenapa setelah 24 buku, baru sekarang menggelar launching di kota kelahiran sendiri?”
Pertanyaan ini tercetus di sela-sela wawancara, dari seorang rekan penyiar RRI.

Sebelum saya menuliskan jawaban atas pertanyaan itu, saya mau mengilasbalik sejenak (maafkan jika sedikit panjang dan beraroma curhat) :

Suatu hari di tahun 2010, selang beberapa bulan setelah novel perdana saya terbit, saya mengirim inbox kepada seorang yang lewat status-statusnya, sepertinya dia salah seorang penggiat literasi senior di kota ini. Saya tidak ingat persis apa isi inbox saya, juga malas untuk membuka messenger sekarang, saya mengabarkan bahwa saya baru menerbitkan buku, saya sempat sedikit curhat tentang kondisi literasi di kota ini yang saya dengar dari beberapa orang terpercaya, dan minta saran beliau tentang bagaimana agar buku saya bisa dikenal para penikmat literasi di kota ini.

Waktu itu, saya mendapat jawaban singkat : saya tahu, dan saya mengerti.
Setelah itu, tidak ada lanjutan apapun. Tidak ada saran masukan, dan saya pun tak menghubungi beliau lagi.

Next time, saya meng-inbox pula penggiat literasi senior lainnya, yang juga saya ketahui lewat status-status facebook-nya. Kali ini, gayung lumayan bersambut. Beliau (almarhum) mengajak saya mengirim tulisan ke kolom literasi yang diasuhnya di sebuah koran, meski tanpa honor sepeser pun.

Tulisan-tulisan saya sempat beberapa kali mengisi kolom tersebut, baik dalam bentuk puisi maupun opini. Sempat pula mendapat kritik dari seorang penulis muda, karena saya sedikit menyentil minimnya regenerasi sastrawan di kota ini dalam sebuah opini. Saya terima kritikannya, meski dalam hati saya tetap meyakini, bahwa apa yang saya tulis itu benar adanya.

Tak lama kemudian, di Tanjungpinang digelar temu sastrawan IV. Semua penulis yang telah memiliki karya diminta mengirimkan / mengantarkan karyanya ke panitia serta menulis satu buah cerpen untuk dimuat dalam antologi temu sastrawan.

Saya pun melakukan keduanya, dengan harapan yang membubung. Maklumlah, namanya juga baru menerbitkan buku. Waktu itu, saya mengantarkan langsung karya saya berupa 1 novel, 1 antologi dan copian cerbung saya yang menang di majalah Femina.

Tak lama berselang, sang bapak penggiat literasi  yang mengasuh kolom tulisan mengundang saya dan beberapa penulis lokal lainnya ke rumahnya. Di sana, beliau mempersilakan kami untuk berdiskusi tentang betapa sulitnya mengembangkan diri untuk menjadi penulis yang “diakui” di kota sendiri. Ada banyak problema yang menyebabkan demikian, problema yang sampai hari ini pun nyatanya tetap berlangsung.

Sang bapak kemudian mengeluarkan SK berisi nama-nama “sastrawan” yang terpilih untuk menghadiri temu sastrawan ke IV. Dan.... saya sempat terhenyak dan kecewa, saat tak menemukan nama saya dalam daftar nama di situ. Bukankah saya sudah mengirimkan buku saya? Juga cerpen saya untuk dimuat di antologi? Apa kedua syarat yang sudah saya penuhi itu tetap tak cukup layak memasukkan saya dalam daftar nama “sastrawan” lokal di situ, yang sebagian besarnya saya tahu, bahkan belum pernah menulis satu buku pun?

Sang bapak dan seorang rekannya kemudian menghibur saya, tak mengapa tak masuk dalam SK, yang penting terus sajalah berkarya.

Saya mengiyakan penghiburan itu. Namun saya memutuskan untuk tak hadir pada acara temu sastrawan tersebut, meski panitia sempat menghubungi dan mengatakan tidak apa-apa ikut hadir, dan nama saya tak tercantum didalam SK.

Meski kemudian saya mendapat honor atas cerpen saya yang termuat dalam antologi Temu Sastrawan, juga honor sebagai peserta acara yang tak saya hadiri, apa yang terjadi itu sudah telanjur terekam dalam benak saya.

Setelah peristiwa itu, saya sempat diajak diskusi seorang kenalan yang peduli pada literasi, untuk me-launching Tarapuccino, novel perdana saya. Namun, rencana tinggal rencana. Ada sebab yang tak bisa kami lawan.

Tahun demi tahun berlalu, saya semakin larut dalam keasyikan menulis buku. Beberapa kali saya menyaksikan spanduk informasi maupun pengumuman di socmed tentang gelaran even literasi di kota ini, hilir mudik dalam tahun-tahun yang saya lewati. Waktu itu saya mencoba berprasangka baik, kalau itu memang diadakan oleh pemerintah, dengan melibatkan para sastrawan yang juga dikenal publik dan pemerintah daerah sendiri, ataupun atas prakarsa sang penggiat literasi itu sendiri.

Meski kemudian cukup sering saya mendengar selentingan tentang seniman proyek, seniman yang baru muncul saat ada proyek pemerintah yang mengadakan even literasi, saya memilih untuk tak terlalu peduli.

Saat melihat info tentang  gelaran launching buku oleh sosok-sosok tertentu di kota ini, saya pun sudah tak lagi menaruh atensi. Bukan berarti saya tak menghargai. Namun bagi saya, tidaklah terlalu penting menghargai mereka yang tak menganggap penting eksistensi penggiat-penggiat sastra yang lain (ya, situasi yang tercipta kala itu dan juga mungkin sampai hari ini, mengesankan bahwa yang layak diakui sebagai sastrawan kota ini hanyalah dari kalangan tertentu saja, dengan indikator yang mereka yakini kebenarannya). Padahal, eksistensi hanya akan “abadi” saat terjadi regenerasi. Seperti para atlet yang terus menyiapkan kader dari tahun ke tahun.

Tahun demi tahun berlalu, saya terus menulis buku. Bahkan saya sempat melewati masa booming penerbitan novel, sehingga ketika itu, justru penerbit-penerbit nasional yang memesan naskah dengan dateline yang cukup ketat. Di tahun 2013, saya menerbitkan 9 novel di penerbit yang berbeda. Seiring dengan itu, keinginan saya untuk mempublikasi diri dan karya di kota sendiri pun kian jauh meninggalkan benak.

Justru “perhatian” datang dari penggiat di kota lain dan penerbit. Dalam rentang waktu beberapa tahun, saya sempat tiga kali diundang ke Batam sebagai narasumber  materi tentang blog, feature, dan seminar wonderful life bersama Afifah Afra.

Launching novel Tarapuccino dan Jasmine edisi cetak ulang justru pertama kalinya digelar di Bandung pada tahun 2013 oleh penerbit. Saya juga sempat diundang untuk meet n greet di Jakarta setelah novel First Time in Beijing terbit, dan diundang untuk menjadi narasumber di Semarang, yang digagas oleh penerbit.

Namun, bukan berarti tak ada yang menaruh perhatian di kota sendiri. Beberapa rekan penulis, diantaranya Ruziana, adalah yang selalu “ngipasin” pihak-pihak penyelenggara literasi untuk menyertakan saya didalamnya. Seorang rekan PNS Badan Perpustakaan dan Arsip di Bintan, Isriyanti, juga termasuk yang aktif melibatkan saya dalam kegiatan-kegiatan meningkatkan minat baca di Bintan. Termasuk memperkenalkan saya dengan pihak pemerintah provinsi. Karena menurutnya, di pemprov ada dana untuk penerbitan buku bagi penulis lokal.

saya dan Ruziana
Namun, sampai hari ini saya tak mendapat info apapun tentang penerbitan tersebut. Entah masih ada, entah tidak.

Saya pun pernah mengirimkan buku-buku karya saya untuk koleksi perpustakaan pemerintah daerah, namun, reaksi seorang pejabat saat saya bertemu dengannya di sebuah acara minat baca, sungguh mengecewakan saya. “Harusnya penulis itu menyumbangkan minimal tiga eks untuk setiap bukunya. Bukan hanya satu.”
Ahai...... untuk dua puluh judul yang saya sumbangkan itu, tak adakah sedikit pun artinya, Pak?

 Tidak. Ini bukan soal penghargaan atau materi. Insya Allah, menyumbang 3 eks kali 20 judul buku yang sudah terbit, saya masih mampu. Namun karena respon beliau yang seperti itu, detik itu pun saya berhenti berharap pada dukungan pemerintah. (tak perlu menyebut pemerintah daerah yang mana satu, yang pasti bukan pemerintah daerah tempat saya mencari nafkah, hehehe).

Apa yang saya tahu, dan yang terus saya lakukan, saya tetap menulis. Tak hanya menulis buku, tetapi juga menulis blog, artikel, membuka kelas menulis online, sambil sesekali mempromosikan buku-buku saya di social media.

Tahun demi tahun berlalu, tahu-tahu saja buku saya sudah 24. Dan pertanyaan dari seorang teman kantor sempat membuat saya tertegun. “Bukumu sudah 24. Kapan lagi mau launching di kota sendiri?”

Saat saya ceritakan pada suami, dia juga mendukung. Selama ini, suami tahu persis apa yang saya alami terkait semua cerita saya diatas. Dia juga yang selalu menguatkan saya untuk terus berkarya meski minim perhatian dari kalangan sendiri.

Akhirnya, bermodal support suami dan “komporan” sang teman, saya memberanikan diri menghubungi owner cafe yang juga sering menjadi EO, untuk menggelar launching Love Catcher.

Singkat cerita, launching pun terlaksana. Alhamdulillah, jumlah yang hadir tak meleset dari ekspektasi saya. respon audiens pun seru. Kuota 3 pertanyaan membengkak jadi 7 or 8, saya lupa. Untung stok hadiah cukup banyak. Acara yang semula dijadwal sampai pukul 09 something pun bergeser ke pukul 10-an malam.

Namun, tak ada yang tahu, dibawah sorot cahaya lampu dan berpasang-pasang mata, saya merasa tidak terlalu nyaman. Ini sama sekali bukan saya, yang harus mengekspos diri seperti ini. Beda halnya dengan situasi dimana saya diundang menjadi narasumber. Saya menganggapnya sebagai tugas. Namun, saat harus berbicara dalam rangka meng-eksis-kan diri sendiri dan karya saya, sungguh, saya merasa jiwa saya seakan tak berada di sana.

Saat sessi foto-foto dan book-signing berlangsung, mungkin sebagian besar orang melihat saya seperti artis dalam semalam, namun, jauh di lubuk hati, situasi itu justru membuat saya merasa tak pantas. Rasanya itu sesuatu yang terlalu muluk. Sesuatu yang sempat saya inginkan bertahun-tahun tahun lalu saat buku pertama saya terbit, hingga kesana kemari saya mencari dukungan, dan nyatanya baru terealisasi sekarang (di kota kelahiran saya sendiri), situasi hati saya justru sudah jauh berbeda.



Ya. Keinginan saya dikabulkan Allah justru saat saya sampai pada titik ketika saya tak terlalu menginginkannya lagi. Titik ketika saya merasa berada di depan laptop dan menghasilkan tulisan-tulisan yang berbaris di layar jauh lebih membahagiakan ketimbang berada didepan audiens. Jika ada motivasi lain yang menguatkan kaki saya untuk tetap berdiri malam itu, adalah sebersit keinginan untuk melihat generasi literasi kota ini terus bertumbuh, bergiat, hingga tak kalah dengan para penulis muda dari daerah lain.

Itu sebabnya, saya menggunakan kesempatan malam itu untuk membuka peluang bagi audiens yang ingin belajar menulis artikel inspirasi bersama saya, gratis melalui WAG. Alhamdulillah, sebuah portal online mempercayai saya untuk menulis puluhan artikel inspirasi setiap hari. Dan meskipun saya sudah punya tim untuk itu, besar harapan saya bibit-bibit penulis di kota ini pun bisa terlibat didalamnya dan menghasilkan karya bersama-sama.

Lantas, apakah setelah ini, saya masih punya keinginan untuk melakukan launching lagi? Insya Allah, masih. Tetapi, mungkin evennya akan lebih berorientasi pada hal-hal seputar dunia kepenulisan itu sendiri, ataupun semacam bedah buku oleh para akademisi.

Alhamdulillah, melewati tahun demi tahun dengan terus menulis, Allah “mendidik” saya bahwa berkarya dan memotivasi orang lain untuk berkarya, itulah yang terpenting. Menggiring saya pada satu azzam, let’s the world know what I do more than what I am. Luka yang pernah ada dari jejak-jejak lampau – dari ketiadaan penghargaan, ketidakpedulian dan lain-lain – Alhamdulillah sudah sembuh. Mungkin, waktu itu bukan mereka yang salah. Tetapi, hati saya saja yang sedang bengkak. Bengkak oleh harapan yang terlalu tinggi kepada manusia dan apresiasi. Semoga saja, curhat panjang saya ini dapat menjawab pertanyaan di awal tulisan ini.

Sedikit mengutip syair WS Rendra : Nama itu hampa. Ketenaran itu kosong. Hanya karya yang nyata. 

Ya. Saat kita tiada, apa yang dikenang dari diri kita adalah apa yang kita perbuat dan hasilkan. Apa yang meninggalkan jejak, adalah sesuatu yang bermanfaat yang pernah kita lakukan. Semoga, Allah kuatkan diri ini untuk tetap istiqomah dalam berkarya.

12 comments

  1. Akhirnya tercurah juga
    Semoga segala keikhlasan atas apa yg dialami selama ini membuat kakak makin banyak menghasilkan karya karya bermutu.
    Semangaat kak ....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Trima kasih Ana...trima kasih untuk support nya selama ini...sukses dan semangat juga buat Ana...

      Delete
  2. Hampir sama di kota saya. Yang senior hanya berkawan dengan yang senior. Terus sukses Mbak.

    ReplyDelete
  3. Bismillah selalu ya Bun. Allah yang melihat perjuanganmu, di Kendal entahlah ak pun tidak sering dilibatkan.

    ReplyDelete
  4. Semoga Kak Lyta terus semangat menebarkan karya yang bermanfaat. Berbuat baik terus, biarkan Allah yang membalas. Keep istiqomah, Kak Lyta ��

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiiin.....trima kasih. Tetep semangat juga ya ryu...

      Delete
  5. Barokallah ya mbak. Semoga jerih payahnya dirahmati Allah dan makin bersinar dengan ide2nya yang melesatkan karya2 baik.

    Kalau saya pernah gabung dengan forum penulis muda di Blitar. Namun karena saya nggak pede dan keterbatasan waktu, akhirnya undur diri dari forum tsb.

    Meski karya hanya sedikiiiitttt sekali, nggak kayak mbak Ria. Frekuensi nulis juga jaraaaangg. Namun, saya juga sama ngerasainnya. Lebih nyaman nulis (status) di balik hp atau komputer. Dibandingkan harus menjawab pertanyaan orang tentang tulisan2 itu sendiri. Maluuu ��

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin....semoga sukses selalu di karir dan tetap semangat menulis ya anggi

      Delete
  6. Semoga istiqomah utk selalu menghasilkan karya indah dan berkah

    ReplyDelete