Support Me on SociaBuzz

Support Me on SociaBuzz
Dukung Blog Ini

Jejak Langkahku di 2015 : Tahun Terkabulnya Doa dan Perenungan (bag.2)



Tulisan ini adalah lanjutan dari catatan awal tahun saya sebelumnya (baca : Jejak Langkahku di 2015, Tahun Terkabulnya Doa dan Perenungan.)

Awalnya saya sempat bingung, bagaimana saya harus memulai tulisan ini.  Berbeda dengan catatan sebelumnya yang merangkum pencapaian-pencapaian saya di dunia menulis pada tahun 2015, pada catatan kali ini, saya bermaksud menuliskan sesuatu yang tak kasatmata, tak bisa diukur dengan angka-angka, dan hanya hati kita yang bisa merasakannya : perenungan.


Ya. Tahun 2015 sekaligus menjadi tahun perenungan buat saya. Sebelumnya, (bahkan mungkin masih ada yang tersisa sampai sekarang), jujur saya akui, saya adalah orang yang paling terobsesi dengan prestasi. Saya selalu menganggap prestasi sebagai bagian pencapaian dalam hidup. Termasuk prestasi dalam hal materi. Mereka yang bisa meraih materi dalam jumlah besar dari kerja keras dan prestasinya, saya yakin, akan berbanding lurus dengan kesuksesan yang mereka capai.

Mungkin, hal ini tak terlepas dari “iklim” yang membesarkan saya sejak kecil. Ya. Dulu, almarhum kakek sering mengadakan lomba cerdas cermat untuk cucu-cucunya. Yang bisa menjawab banyak pertanyaan akan mendapat pujian dan menjadi cucu kesayangan. Saat duduk di bangku sekolah mulai dari SD sampai SMU, sayapun selalu akrab dengan dunia kompetisi dan prestasi. Macam-macam lomba saya ikuti, dan Alhamdulillah banyak juga yang menuai prestasi. Mulai dari lomba mengaji, lomba pidato, hingga siswa teladan.

Jadi, sampai di usia saya yang sekarang pun, prestasi selalu menjadi bagian terpenting dari mimpi-mimpi saya. Rasanya, hidup saya benar-benar monoton jika tak diwarnai lika-liku dan kerja keras untuk mengejar prestasi. Tetapi, tahun 2015 silam, sudut pandang saya terhadap prestasi sontak berubah.

Jadi, tahun lalu itu, sepertinya menjadi tahun dengan lomba terbanyak pernah saya ikuti. Mulai dari kuis kecil-kecilan sampai yang hadiahnya bergengsi, tak kurang dari 20-an lomba saya ikuti. Tetapi hasilnya? Hmm, hanya 3 lomba yang berhasil saya menangi. Itupun bukan lomba-lomba yang disponsori perusahaan besar dan memberi reward yang mahal.

Kecewa? Jelas ada. Paling berat kekecewaan saya rasakan saat mengikuti lomba blog yang disponsori perusahaan air minum. Saking semangatnya, saya sampe beli buku referensi, 4 (empat) artikel saya ikutkan, bahkan di menit-menit jelang dateline saya masih berjuang keras menyelesaikan artikel untuk lomba.

Tetapi? Tak satupun artikel saya nyangkut di daftar pemenang. Lebih kecewa lagi saat membaca artikel pemenang pertama, yang hanya memuat kisah pengalamannya melakukan perjalanan dengan ditemani air mineral tersebut. Tahu begini, ngapain juga saya harus susah-susah cari referensi, toh yang dicari juri adalah yang menekankan pada testimoni. Saya bahkan dengan begonya sempet mogok minum air mineral merk perusahaan itu.

Lalu.....entah pada lomba keberapa yang menuai kegagalan, saya mengambil jeda sejenak. Sepertinya, ada yang salah dengan proses yang saya tekuni. Atau mungkin juga, pada niat yang saya sertakan. Ya. Saya memang getol mengikuti lomba di tahun itu dengan harapan, dapat mengumpulkan uang dari hadiah lomba untuk mempercepat proses membangun rumah.

Mungkin, disinilah faktor “non x” tersebut. Ketika saya melakukan sesuatu dengan meletakkan materi pada harapan tertinggi, maka saat gagal mendapatkannya, saya akan merasa sangat kecewa dan bahkan marah.

Dalam hati saya kemudian muncul banyak pertanyaan : kenapa saya harus kecewa? Bukankah rezeki di tangan Allah? Dia-lah yang berhak memberi kepada siapa yang Dia inginkan. Apa yang sesungguhnya saya cari? Kebahagiaan? Atau “sekadar” pengakuan eksistensi dan pemenuhan obsesi? Apakah pencapaian demi pencapaian akan membawa saya pada kebahagiaan sejati? Atau justru, hanya kebahagiaan semu saat meng-upload hasil kemenangan dan memperoleh puja-puji? Kebahagiaan yang akan dengan cepat berlalu tak berbekas. Inikah kebahagiaan yang saya cari?

Dan rentetan pertanyaan ini....ternyata mengantarkan saya pada perenungan lain yang lebih berarti : perenungan akan makna kebahagiaan. Ya. Kebahagiaan sejati yang akan membuat hati dipenuhi kelapangan dan ketenteraman meski hanya oleh sesuatu yang sederhana. Kebahagiaan yang akan membebaskan kita dari obsesi duniawi, menjauhkan kita dari rasa iri berlebihan pada pencapaian orang lain, dan selalu bersyukur pada apa yang sudah Allah berikan kepada kita dan kehidupan kita.

Saya lalu mengawalinya dengan beristigfar. Memohon ampun kepadaNya atas langkah saya yang tersilaf, pun atas niat saya yang keliru. Dan benarlah, bahwa istigfar yang sungguh-sungguh, adalah kunci pembuka dari kebahagiaan itu.

Setelahnya, tahu-tahu saja langkah dan pikiran saya terasa lebih ringan. Dan hal-hal kecil di sekeliling saya ternyata sudah cukup untuk membangkitkan rasa bahagia. Melihat senyum dan tawa anak-anak, saya merasa bahagia, dapat mengejar bis ke kantor tanpa terlambat, itupun sudah membahagiakan. Ya. Bahagia itu sesungguhnya sederhana. Asalkan kita bisa menjadikan Allah sebagai prioritas utama. Juga bisa melepaskan diri dari segala yang berorientasi pada dunia. Maka saat terbangun di pagi hari dan merasakan sejuknya udara pagi pun, itu sudah bisa membuat kita merasa bahagia.

Ya. Pencapaian apa yang lebih tinggi daripada kebahagiaan?
Milyaran pun uang di tangan, tapi hati kita selalu diliputi rasa sedih, kecewa dan kebencian, di mana letak bahagianya?

Berderet pun prestasi mengisi perjalanan hari-hari, tetapi pikiran kita tetap disibukkan dengan obsesi untuk meraih prestasi yang lebih tinggi dan tinggi lagi, kapan kita sempat merasakan kebahagiaan?

Di akhir perenungan itu, saya bersyukur atas kekalahan demi kekalahan yang Allah takdirkan untuk saya di tahun lalu. Karena dari sana, saya memperoleh pelajaran luar biasa akan makna hidup yang lebih berharga.

Kalaupun sekarang saya masih tetap setia mengikuti lomba demi lomba, saya singkirkan dulu niat yang semata-mata berorientasi pada perolehan hadiah, materi dan juga prestasi. Sebisa mungkin saya mencari dan mengikuti lomba yang didalamnya memberi peluang untuk berbagi kisah inspirasi dan motivasi. Kalaupun kalah, at least ada inspirasi yang bisa dibagikan dan mudah-mudahan bisa menjadi motivasi bagi yang membacanya. Dan itu sesungguhnya adalah pencapaian yang lebih besar dari hadiah atau prestasi.

Sampai sekarang pun, saya masih terus belajar untuk memaknai kebahagiaan dan menata keikhlasan. Jujur saja, keikhlasan itu tak semudah  saat mengucapkan. Saya mungkin sudah bisa ikhlas saat kalah, tetapi tetap tidak bisa langsung ikhlas saat melihat pencapaian orang lain. hehe.

Adakala, rasa iri juga muncul saat melihat prestasi seseorang yang luar biasa. Tetapi, cepat saya munculkan pertanyaan ini dalam benak saya : kamu pingin prestasinya? Kira-kira siap nggak kalo dikasih sepaket dengan cobaan yang pernah dia hadapi? Kamu kepingin jadi seperti dia, rela nggak jika kehidupan yang dia jalani, ditukar dengan kehidupan yang kamu miliki sekarang?

Biasanya, saya akan cepat menggeleng, juga cepat-cepat beristighfar. Belum tentu saya bisa menanggung cobaan yang dihadapi orang lain, dan sudah tentu, saya tak ingin menukar kebahagiaan hidup saya dengan kehidupan orang lain.

Sebagai penutup, inilah quote yang saya temukan di lintasan facebook, yang saya rasakan paling pas dengan apa yang sudah saya alami di tahun silam, juga yang telah menginspirasi saya untuk menuliskan catatan ini :
 
sumber : id.nametest.com

Ya. Benarlah bahwa hasil yang luar biasa dari proses dan kerja keras, adalah bagaimana proses itu dapat mengubah cara pandang kita terhadap hidup (dan mengubah kita) menjadi lebih baik. Dan benarlah bahwa sekecil apapun pengalaman hidup, pasti ada hikmah yang dapat mendewasakan kita, sepanjang kita pun mau meluangkan waktu dan merendahkan hati untuk menggali hikmah didalamnya.

Jadi, sudahkah kalian rasakan perubahan berarti dari kerja keras yang kalian jalani selama ini?

12 comments

  1. Makasih banyak sharingnya mba :D inspiring :")

    ReplyDelete
  2. Hihihi, aku dulu juga terobsesi dengan prestasi. :D

    ReplyDelete
  3. Tak salah kok, terobsesi dengan prestasi... asal diimbangi dengan kesiapan untuk kalah :-D *podo wae ya...

    ReplyDelete
  4. soal lomba, kadang kita harus tahu maunya brand.

    ReplyDelete
  5. Bagus dong obsesi pada hal yang baik ;)

    ReplyDelete
  6. tahun 2015 saya malah agak jarang ikutan lomba dibanding tahun sebelumnya. Semangat ikut lomba menurun drastis :)

    ReplyDelete
  7. sama mak, tp taon 2015 harus kurangi nulis demi baby di dalam perut, alhamdulillah udah 5 bulan sekarang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah gak terasa ya..kayanya baru kemaren lahiran hehe

      Delete
  8. Aqua itu ya mbak... Oo, aku mlh jadi penasaran tulisan sprti apa yang menang..

    ReplyDelete